Dalam budaya Jawa, papar Dwi Woro, gunungan dimaknai sebagai simbol yang berkaitan dengan Sang Pencipta. Hal itu digambarkan dari bentuknya yang lancip ke atas, menandakan keesaan Tuhan.
Jika mengacu pada pewayangan, terdapat banyak ornamen di dalam setiap gunungan. Dwi Woro menjelaskan, ornamen itu merupakan kiasan yang mengandung makna tentang kehidupan dan kaitannya dengan Tuhan.
Gunungan disebut sebagai cara memvisualisasikan konsep hidup dengan tujuan kembali kepada Tuhan. Ia menyebut satu istilah Jawa, 'sangkan paraning dumadi,' yang berarti 'kembali kepada yang Esa'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Untuk sampai ke sana [puncak] itu tidak hanya sekadar kosong. Tapi harus ada proses panjang kehidupan. Lahir, hidup, mati, [dan] kembali pada Sang Pencipta," ujar Dwi Woro.
Motif gunungan hingga saat ini telah diterapkan ke berbagai tempat dengan kegunaannya masing-masing. Selain dihadirkan dalam dunia wayang, gunungan juga kerap diadopsi dalam bentuk-bentuk atap rumah.
Selain itu, gunungan juga tak jarang dilihat sebagai suatu karya seni dan hiasan. Salah satunya kerap digunakan sebagai hiasan dalam suatu pernikahan.
"Seperti halnya tumpeng, itu pasti lancip. Gunungan juga lancip. Berarti hanya satu yang disembah, yaitu Gusti Allah," papar Dwi Woro.
Lihat Juga : |
"Jadi, gunungan pun berada pada satu makna filosofi yang mengacu kepada hanya satu yang disembah yaitu Gusti Allah," katanya.
Menurut Dwi Woro, penggunaan gunungan di berbagai tempat pada akhirnya mempunyai satu benang merah yang sama. Simbol itu dipakai untuk melambangkan suatu kehidupan dan dunia beserta isinya.
"Juga melambangkan sebuah hutan rimba, hidup itu penuh dengan godaan, penuh dengan ujian," kata Dwi Woro.
(frl/end)