Jakarta, CNN Indonesia --
Aksi saling klaim dan tuding terjadi di antara Amber Heard dan Johnny Depp dalam rangkaian persidangan beberapa waktu terakhir. Hal itu bermula dari opini Amber Heard di The Washington Post pada 2018.
Dalam opininya, Heard berkata dirinya sempat mengalami pelecehan semasa kuliah dan dijadikan figur publik yang mewakili kekerasan dalam rumah tangga.
"Seperti banyak perempuan, saya telah dilecehkan dan diserang secara seksual pada saat saya masih kuliah. Namun, saya diam - saya tidak berharap bahwa mengajukan keluhan bisa mendatangkan keadilan. Saya jadinya tidak melihat diri saya sebagai korban," tulis Amber Heard.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian, dua tahun lalu, saya menjadi figur publik yang mewakili kekerasan dalam rumah tangga, dan saya merasakan tekanan dari budaya kemarahan terhadap perempuan yang berani berbicara."
Tulisan di The Washington Post itu berujung pada gugatan Johnny Depp atas dugaan pencemaran nama baik. Bintang utama Pirates of the Caribbean tersebut menggugat Heard dan meminta ganti rugi sebesar US$50 juta.
Amber Heard tidak menuliskan nama Johnny Depp atau oknum mana pun dalam opini tersebut.
Namun, Amber Heard dan Johnny Depp menikah pada Februari 2015 dan kandas 15 bulan kemudian. Dalam gugatan cerai, Heard menuding Johnny Depp melakukan kekerasan verbal dan fisik akibat pengaruh obat-obatan dan alkohol.
Kala itu, Johnny Depp membantah klaim tersebut dan menuduh bahwa Heard 'berusaha untuk mendapatkan resolusi keuangan prematur'.
Konflik tersebut selesai pada Agustus 2016 dengan uang US$7 juta yang kemudian disumbangkan Amber Heard untuk amal.
Namun, permasalahan berlanjut pada 2018 usai Heard menulis opini berjudul "I spoke up against sexual violence - and faced our culture's wrath. That has to change" dan membuat Johnny Depp menggugatnya atas dugaan pencemaran nama baik.
Tak tinggal diam, Heard menggugat balik Johnny Depp dengan meminta US$100 juta dan mengklaim telah menderita kekerasan dan pelecehan.
Lanjut ke sebelah...
Berikut terjemahan lengkap opini Amber Heard yang terbit di The Washington Post pada 18 Desember 2018.
OPINI | Amber Heard: Saya berbicara menentang kekerasan seksual - dan menghadapi kemarahan budaya kita. Itu harus berubah.
Amber Heard adalah aktivis dan duta hak-hak perempuan di American Civil Liberties Union.
"Saya mengalami pelecehan saat berusia begitu muda. Saya mengetahui hal-hal tertentu sejak awal, tanpa harus diberi tahu. Saya tahu bahwa laki-laki memiliki kekuatan - secara fisik, sosial, dan finansial - dan banyak institusi mendukung pengaturan itu.
Saya tahu ini jauh sebelum kata-kata ini keluar, dan saya yakin Anda juga mempelajarinya saat masih muda.
Seperti banyak perempuan, saya telah dilecehkan dan diserang secara seksual pada saat saya masih kuliah. Namun, saya diam - saya tidak berharap bahwa mengajukan keluhan bisa mendatangkan keadilan. Saya jadinya tidak melihat diri saya sebagai korban.
Kemudian, dua tahun lalu, saya menjadi figur publik yang mewakili kekerasan dalam rumah tangga, dan saya merasakan tekanan dari budaya kemarahan terhadap perempuan yang berani berbicara.
Teman dan penasihat memberi tahu saya tidak akan pernah lagi bisa bekerja sebagai aktris - saya akan masuk daftar hitam. Sebuah film yang saya bintangi jadi mengatur ulang pemerannya.
Saya baru saja berkampanye dua tahun sebagai wajah dari merek fesyen global, dan perusahaan itu kemudian membuang saya.
Muncul pertanyaan apakah saya akan mampu mempertahankan peran sebagai Mera dalam film Justice League dan Aquaman.
Saya memiliki sudut pandang langka dalam melihat hal ini, secara real time, bagaimana institusi melindungi laki-laki yang dituduh melakukan pelecehan.
Bayangkan seorang pria kuat sebagai kapal, seperti Titanic. Kapal itu adalah perusahaan besar. Ketika kapal itu menabrak gunung es, banyak orang yang putus asa berusaha menambal lubang - bukan karena mereka percaya atau peduli dengan kapal tersebut, tapi karena nasib mereka bergantung pada perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan #MeToo telah mengajari bagaimana kekuatan bekerja seperti ini, tidak hanya di Hollywood tapi juga di semua jenis institusi - tempat kerja, tempat ibadah, atau hanya di komunitas tertentu.
Dalam setiap lini kehidupan, perempuan menghadapi situasi laki-laki yang ditopang kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya. Lembaga-lembaga ini mulai berubah.
Kita berada dalam momen politik transformatif. Presiden kita (AS) telah dituduh lebih dari selusin wanita melakukan pelanggaran seksual, termasuk penyerangan dan pelecehan.
Kemarahan terhadap pernyataan dan perilakunya (Presiden) telah memberi energi kepada oposisi yang dipimpin perempuan. #MeToo memulai percakapan tentang seberapa besar pengaruh kekerasan seksual terhadap perempuan dalam setiap bidang kehidupan.
Lanjut ke sebelah...
[Gambas:Photo CNN]
Bulan lalu (November 2018), lebih banyak perempuan terpilih menjadi anggota Kongres daripada sebelumnya dalam sejarah kita (AS), dengan mandat menangani masalah perempuan secara serius. Kemarahan dan tekad perempuan untuk mengakhiri kekerasan seksual berubah menjadi kekuatan politik.
Kami memiliki kesempatan sekarang untuk memperkuat dan membangun institusi yang melindungi perempuan. Sebagai permulaan, Kongres dapat mengesahkan ulang dan memperkuat Undang-Undang Kekerasan Terhadap Perempuan.
Pertama kali disahkan pada 1994, UU tersebut menjadi salah satu bagian paling efektif dari undang-undang yang diberlakukan untuk memerangi kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.
Itu menciptakan sistem dukungan bagi orang-orang yang melaporkan kekerasan, dan menyediakan dana untuk pusat krisis pemerkosaan, program bantuan hukum, dan layanan penting lainnya.
Itu juga meningkatkan tanggapan oleh penegak hukum, dan melarang diskriminasi terhadap penyintas LGBTQ. Pendanaan untuk itu berakhir September dan hanya diperpanjang sementara.
Kita harus memerangi kekerasan seksual di kampus-kampus, sambil menuntut proses yang adil dalam mengadili pengaduan di saat bersamaan.
Bulan lalu, Menteri Pendidikan (AS) Betsy DeVos mengusulkan perubahan pada aturan Title IX yang mengatur penanganan terhadap pelecehan dan pelecehan seksual di sekolah.
Sementara beberapa perubahan dibuat demi penanganan yang lebih adil, lainnya malah akan melemahkan perlindungan bagi pada penyintas kekerasan seksual. Contohnya, peraturan baru mewajibkan sekolah untuk menginvestigasi hanya untuk aduan paling ekstrem, dan kemudian hanya diajukan kepada pejabat yang ditunjuk.
Perempuan di universitas sudah mengalami kesulitan untuk bersuara mengenai kekerasan seksual - mengapa kita mengizinkan institusi untuk mengurangi dukungan?
Saya menulis ini sebagai seorang wanita yang harus mengganti nomor telepon setiap minggu karena saya mendapatkan ancaman pembunuhan.
Selama berbulan-bulan, saya jarang meninggalkan apartemen, dan ketika melakukannya, saya dikejar drone kamera dan fotografer dengan berjalan kaki, sepeda motor, dan di dalam mobil.
Outlet tabloid yang mengunggah foto saya memutarnya (keadaan) secara negatif. Saya merasa seolah-olah diadili di pengadilan opini publik - dan hidup serta mata pencaharian saya bergantung pada banyak sekali penilaian yang jauh di luar kendali saya.
Saya ingin memastikan bahwa perempuan yang berani bersuara tentang kekerasan bisa menerima lebih banyak dukungan. Kami memilih perwakilan yang tahu seberapa dalam kepedulian kami terhadap masalah ini.
Kita dapat bekerja sama untuk menuntut perubahan pada hukum dan aturan serta norma sosial - dan untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang telah membentuk kehidupan kita."