"Baik Gatotkaca ataupun Gundala itu dihadapkan dengan situasi masyarakat Indonesia yang secara sosio-kultural masih mengacu pada film AS atau Jepang untuk produk film superhero," kata Hikmat.
"Jadi tidak ada sejarahnya film genre superhero Indonesia itu jadi produk yang sangat laris, terutama film," lanjutnya.
Berkaca pada kasus flop yang dialami Gatotkaca, Hikmat Darmawan menjabarkan bahwa mengangkat kisah yang sudah akrab bagi masyarakat Indonesia bukan jaminan film superhero itu bisa disambut semeriah film Marvel atau DC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kata siapa kisah pewayangan atau Mahabarata ini akrab untuk orang Indonesia? Memang betul itu kisah yang sudah mengakar kuat di masyarakat, termasuk dari wayang, komik, ataupun film dan sinetron India yang sudah masuk sebelumnya," kata Hikmat.
"Padahal kan kita harus ingat kalau kisah yang dekat dengan masyarakat belum tentu bisa mendulang kesuksesan ketika diadaptasi menjadi film. Karena beberapa kali terbukti film adaptasi ataupun film yang nostalgik tidak cukup kuat untuk diadopsi menjadi sebuah produk film," lanjutnya.
"Nah untuk Gatotkaca, ini yang familiar siapa? Kreator atau calon penontonnya? Kalaupun calon penonton, yang merasa akrab pun paling ada di antara orang-orang seumuran saya," kata Hikmat sambil tertawa.
Meski begitu, Hikmat mengapresiasi para studio dan sineas yang sudah mendedikasikan diri mencoba membangun genre superhero dan menyemarakkan dunia film Indonesia.
Apalagi, kemampuan para sineas dan teknologi yang digunakan dalam dua film superhero lokal Indonesia itu sudah cukup membuktikan sineas lokal punya modal kapasitas membuat film penuh efek visual itu.
"Kemampuan teknis film superhero Indonesia tentu sudah sangat meningkat dan memadai. Saya pribadi juga senang sekali kalau genre superhero ini bisa berhasil di Indonesia," kata Hikmat Darmawan.
"Tapi kalau ingin meniru kesuksesan MCU atau DC, ya kondisinya di sini belum seperti itu. Marvel atau DC itu kan sejarahnya panjang sekali." lanjutnya.
(far/end)