Review Film: Ivanna
Ivanna sebenarnya memiliki potensi yang menjanjikan, tapi sayangnya film ini terasa kurang spesial meski sudah disokong oleh kerja keras Kimo Stamboel dan nama besar Risa Saraswati.
Diangkat dari novel karya Risa Saraswati yang sudah memiliki basis penggemar dan nama besar Kimo Stamboel yang dikenal punya selera yang menggetarkan nyali, jelas jadi kunci Ivanna tetap bisa bertahan di layar.
Walau, ibarat setan dalam film ini yang muncul tanpa kepala, film ini juga terasa berjalan tanpa arah. Bahkan yang membuat lebih berat lagi menyaksikan Ivanna adalah tampilan hingga ceritanya begitu tipikal film horor MD Pictures.
Saya memahami bahwasanya penulis Ivanna, Lele Laila, juga menggarap banyak film horor MD Pictures lainnya, seperti KKN di Desa Penari, tiga film Danur sebelumnya, termasuk Asih. Namun entah mengapa, hasil akhir dari film-film horor ini serupa meski sutradara dan ceritanya berbeda.
Ivanna pada satu sisi masih memiliki ciri khas Kimo Stamboel, tapi di sisi lain membuat saya seperti melihat KKN di Desa Penari ditambah pemenggalan kepala dan mata yang copot.
Premis yang disajikan juga sebenarnya punya potensi eksplorasi lebih. Kisah Ivanna yang berlatar pada 1990-an dan 1943, mestinya bisa membawa efek horor yang lebih besar, ditambah Kimo yang memang obsesi dengan adegan-adegan yang bikin nafas tertahan.
Cerita berjalan begitu lambat meski Kimo sudah bermain-main dengan sudut pandang kamera dan efek-efek horor lainnya. Apalagi bagi mereka yang sering menyaksikan film-film horor MD Pictures beberapa waktu terakhir, bisa jadi serasa deja vu saat melihat Ivanna.
Hal itulah yang membuat separuh pertama film ini terasa perjuangan berdarah-darah untuk bisa tetap bertahan anteng di kursi bioskop. Seandainya ini adalah film di layanan streaming, saya yakin sudah tertidur atau membuka TikTok karena mati gaya.
Apakah salah bila studio ataupun penulis naskah memiliki ciri khas saat membuat film? Tidak, justru menjadi nilai lebih. Namun ciri khas ini dalam konteks Ivanna terasa seperti kotak kaku yang membatasi ruang eksplorasi dan cara-cara baru dalam menyajikan film horor.
Padahal, ada banyak cara dalam menyajikan kisah Ivanna. Kembali lagi, mungkin ciri khas itu terpantek bahwa ini berasal dari novel laris yang memiliki basis penggemarnya sendiri. Selain itu biasanya, mereka meminta sama persis seperti yang sudah akrab atau diketahui.
Bila memang benar begitu, ya keputusan membangun film ini adalah sepenuhnya urusan bisnis yang mengedepankan permintaan pasar. Maka rasanya saya cukup sekali saja melihat film ini.
Terlepas dari rasa film Ivanna yang tanpa kepala, kerja keras Kimo Stamboel dalam menghidupkan film ini patut diberi pujian. Kimo dengan santai menampilkan adegan-adegan gore yang jujur saja membuat saya memegang leher berkali-kali.
Lanjut ke sebelah...