Jerih Lelah Pertahankan Keroncong Tugu dari Gerusan Zaman

CNN Indonesia
Minggu, 14 Agu 2022 15:40 WIB
Sejumlah upaya dilakukan musisi keroncong Tugu untuk memastikan musik itu tetap eksis hingga kini.
Sejumlah upaya dilakukan musisi keroncong Tugu untuk memastikan musik itu tetap eksis hingga kini. Foto: (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia --

Perkembangan zaman dan teknologi membuat arus masuk informasi dan budaya dari luar ke Indonesia terjadi begitu cepat. Pop dari Barat, Asia Timur, serta kawasan dunia lainnya digemari masyarakat Indonesia beberapa dekade terakhir.

Kondisi tersebut membuat keroncong, terutama keroncong Tugu, yang pernah menjadi primadona perlu bersusah payah untuk bisa bertahan. Sejumlah hambatan mengancam eksistensi mereka, seperti larangan Jepang hingga gerusan zaman. 

Keroncong sempat mendapatkan sorotan bahkan menjadi hiburan kaum elite pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, musik itu awalnya hanya jadi sarana warga Kampung Tugu membunuh kesunyian karena ditempatkan jauh dari hingar bingar pusat kota Batavia. Tak hanya itu, keroncong juga digunakan mempertahankan identitas diri.

Peneliti musik populer dari Belanda Lutgard Mutsaers dalam tulisannya mengatakan keroncong pertama kali mendapatkan perhatian di Batavia pada 1880.

"Melalui panggung parodi dari sekelompok orang lokal yang menggunakan pakaian Eropa, mereka memetik gitar mereka dan menyanyikan Morisco, lagu-lagu indah yang berasal dari Portugal," tulis Mutsaers.

Hal itu ia tuangkan dalam penelitian bertajuk Barat Ketemu Timur: Cross-Cultural Encounters And The Making of Early Kroncong History, seperti dikutip dari Portal Informasi Indonesia.

[Gambas:Video CNN]





Dalam penelitian itu pula, ia mengatakan orang-orang Tugu menampilkan keroncong di kawasan Weltevreden, daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, Hindia Belanda.

Kini, kawasan itu terbentang di sekitar RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Nasional, Jakarta Pusat.

Mati Suri karena Jepang

Keroncong Tugu pun sempat mati suri akibat kependudukan Jepang pada awal 1940-an. Sejumlah penelitian menuliskan bahwa Badan Kebudayaan milik Jepang di Indonesia atau Keimin Bunka Shidoso melarang keroncong.

Hal itu tertulis dalam penelitian Victor Ganap dalam buku Krontjong Toegoe in Tugu Village: Generic Form of Indonesian Keroncong Music dalam Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni (2007).

Hasil yang sama juga terdapat dalam penelitian FIB UI yang ditulis Agus Syamsudin & Rokhmani Santoso pada 1994.

Arthur Michiels, Anggota grup Krontjoeng Toegoe saat ditemui di Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).(CNN Indonesia/Endro Priherdityo)Arthur Michiels, anggota grup Krontjoeng Toegoe saat ditemui di Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).(CNN Indonesia/Endro Priherdityo)

Arthur Michiels selaku pewaris keroncong Tugu juga mengungkapkan musik keroncong yang sangat digemari masyarakat saat masa kolonial benar-benar berhenti karena Jepang.

"Ketika Jepang datang, seluruh kesenian musik keroncong ini dihentikan," kata Arthur Michiels kepada CNNINdonesia.com.

"Akhirnya seluruh kegiatan berkesenian di Nusantara, di Maluku, di Batavia, itu dihentikan," cetus pemusik Krontjong Toegoe ini. 

Namun, keroncong Tugu bangkit kembali seiring dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia.

"Ya kemudian pascakemerdekaan, tahun-tahun '47 gitu baru mulai lagi. Karena Belanda sudah datang lagi kan? Jadi kami sudah enggak terlalu dibatasi," tutur anak Arend J. Michels, pendiri Krontjong Toegoe.

Lanjut ke sebelah...

Upaya Keras Pertahankan Keroncong Tugu

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER