Jakarta, CNN Indonesia --
Perkembangan zaman dan teknologi membuat arus masuk informasi dan budaya dari luar ke Indonesia terjadi begitu cepat. Pop dari Barat, Asia Timur, serta kawasan dunia lainnya digemari masyarakat Indonesia beberapa dekade terakhir.
Kondisi tersebut membuat keroncong, terutama keroncong Tugu, yang pernah menjadi primadona perlu bersusah payah untuk bisa bertahan. Sejumlah hambatan mengancam eksistensi mereka, seperti larangan Jepang hingga gerusan zaman.
Keroncong sempat mendapatkan sorotan bahkan menjadi hiburan kaum elite pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, musik itu awalnya hanya jadi sarana warga Kampung Tugu membunuh kesunyian karena ditempatkan jauh dari hingar bingar pusat kota Batavia. Tak hanya itu, keroncong juga digunakan mempertahankan identitas diri.
Peneliti musik populer dari Belanda Lutgard Mutsaers dalam tulisannya mengatakan keroncong pertama kali mendapatkan perhatian di Batavia pada 1880.
"Melalui panggung parodi dari sekelompok orang lokal yang menggunakan pakaian Eropa, mereka memetik gitar mereka dan menyanyikan Morisco, lagu-lagu indah yang berasal dari Portugal," tulis Mutsaers.
Hal itu ia tuangkan dalam penelitian bertajuk Barat Ketemu Timur: Cross-Cultural Encounters And The Making of Early Kroncong History, seperti dikutip dari Portal Informasi Indonesia.
[Gambas:Video CNN]
Dalam penelitian itu pula, ia mengatakan orang-orang Tugu menampilkan keroncong di kawasan Weltevreden, daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, Hindia Belanda.
Kini, kawasan itu terbentang di sekitar RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Mati Suri karena Jepang
Keroncong Tugu pun sempat mati suri akibat kependudukan Jepang pada awal 1940-an. Sejumlah penelitian menuliskan bahwa Badan Kebudayaan milik Jepang di Indonesia atau Keimin Bunka Shidoso melarang keroncong.
Hal itu tertulis dalam penelitian Victor Ganap dalam buku Krontjong Toegoe in Tugu Village: Generic Form of Indonesian Keroncong Music dalam Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni (2007).
Hasil yang sama juga terdapat dalam penelitian FIB UI yang ditulis Agus Syamsudin & Rokhmani Santoso pada 1994.
 Arthur Michiels, anggota grup Krontjoeng Toegoe saat ditemui di Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).(CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Arthur Michiels selaku pewaris keroncong Tugu juga mengungkapkan musik keroncong yang sangat digemari masyarakat saat masa kolonial benar-benar berhenti karena Jepang.
"Ketika Jepang datang, seluruh kesenian musik keroncong ini dihentikan," kata Arthur Michiels kepada CNNINdonesia.com.
"Akhirnya seluruh kegiatan berkesenian di Nusantara, di Maluku, di Batavia, itu dihentikan," cetus pemusik Krontjong Toegoe ini.
Namun, keroncong Tugu bangkit kembali seiring dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia.
"Ya kemudian pascakemerdekaan, tahun-tahun '47 gitu baru mulai lagi. Karena Belanda sudah datang lagi kan? Jadi kami sudah enggak terlalu dibatasi," tutur anak Arend J. Michels, pendiri Krontjong Toegoe.
Lanjut ke sebelah...
Seiring berjalannya waktu, pemerintah kawasan yang sudah disebut sebagai Jakarta itu pun berniat memperkuat keroncong Tugu sebagai budaya lokal.
Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dirilis pada 2019, Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, menginstruksikan warga Tugu untuk meningkatkan potensi budaya setempat.
"Ali Sadikin menginstruksikan masyarakat Tugu untuk menunjukkan kembali potensi yang ada di Kampung Tugu, termasuk musik keroncong Tugu," tulis keterangan resmi Kemdikbud.
Sayangnya, instruksi itu tidak sejalan dengan antusiasme publik terhadap musik keroncong, bahkan dari warga Tugu. Hal ini diakui Guido Quiko, pemusik Keroncong Tugu Cafrinho, yang kini meneruskan fitrah klan Quiko dalam bermusik keroncong Tugu.
"Orang-orang Tugu ini kan dulu males (memainkan keroncong), kalau mau minum-minum malah mau, disuruh main keroncong susahnya minta ampun," cerita Quiko sembari tertawa kala berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Sejumlah upaya ia lakukan untuk memastikan eksistensi keroncong Tugu, seperti rutin latihan bersama tim hingga menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga pemerintahan untuk memelihara budaya tersebut.
"Mendekatkan diri kepada pemerintah DKI Jakarta, terutama di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di suku dinas kebudayaan di pemerintah Kotamadya Jakarta Utara, termasuk lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan kesenian keroncong Tugu," cetus Guido.
Upaya lain juga dilakukan Krontjong Toegoe, salah satu grup yang masih melestarikan musik keroncong Tugu hingga kini selain Keroncong Tugu Cafrinho.
 Juliette Angela Ermestine, Anggota grup Krontjoeng Toegoe saat ditemui di Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022). (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Juliette Angela Ermestine Bekkema atau Angel selaku vokalis mengatakan Krontjong Toegoe aktif mengikuti perkembangan zaman dan teknologi demi membuat keroncong bisa dinikmati semakin banyak orang saat ini.
"Dari musik-musik zaman sekarang, mungkin lagunya Pamungkas? Mungkin lagunya siapa, Maroon 5 atau siapa, kami kreasikan, aransemen ulang, bikin dengan irama keroncong. Kami taruh di YouTube! Gitu lho," kata Angel bersemangat.
Ia pun berharap banyak pihak mendukung hal itu, seperti membuat keroncong semakin masif, tak hanya dipertontonkan di acara-acara pemerintahan seperti yang terjadi saat ini.
"Aku pengin keroncong tuh jadi punya festival sendiri gitu. Aku pingin keroncong itu setara dengan pop dan R&B," ungkapnya.
[Gambas:Infografis CNN]
Hal senada disampaikan peneliti musik tradisional dan etnomusikolog Rayhan Sudrajat. Menurutnya, Kampung Tugu perlu untuk disorot kembali untuk membuat keroncong Tugu semakin dikenal publik.
"Ikon keroncong Tugu ini harus disorot lagi, apakah itu mungkin Kampung Tugunya? Mungkin bisa dibuatkan mini museum yang berisikan ruang konser, foto-foto, dan juga sisa arsip ditampilkan sehingga ceritanya bisa diangkat kepada khalayak," kata Rayhan.
Pada akhirnya, Arthur Michiels juga buka suara, Ia berharap keroncong Tugu bisa terus dilanjutkan dari generasi ke generasi hingga bisa kembali berjaya seperti di masa lampau.
"Terus untuk masyarakat, terutama anak muda, silakan kalian bermain musik atau berbudaya apapun, tapi jangan lupakan budaya bangsa sendiri. Karena pertahanan terakhir kalian adalah mempertahankan budaya," sambungnya.
"Karena kami yakin, suatu saat, keroncong ini akan kembali berjaya seperti masanya," pungkas Arthur.