Surat Protes Salman Rushdie ke PM India kala Satanic Verses Diboikot
Salman Rushdie pernah mengirimkan sebuah surat terbuka yang ditujukan untuk Perdana Menteri India pada 1988, Rajiv Gandhi, ketika The Satanic Verses terkena pelarangan impor.
Pelarangan impor itu menyebabkan The Satanic Verses yang aslinya terbit di Inggris tidak diperkenankan masuk dan beredar di India.
Pemicu larangan ini datang setelah jurnalis dan penulis India, Khushwant Singh mengulas novel tersebut. Ia kemudian mengusulkan India untuk melarang peredaran novel itu mempertimbangkan berbagai reaksi yang akan timbul dari buku tersebut.
Reaksi atas ulasan itu pun datang dari anggota parlemen India sekaligus editor majalah bulanan muslim, Syed Shahabuddin. Ia mengajukan petisi kepada perdana menteri India kala itu, Rajiv Gandhi, untuk melarang peredaran The Satanic Verses.
Petisi tersebut kemudian dikabulkan dan India menjadi negara pertama yang melarang The Satanic Verses mulai 5 Oktober 1988.
Salman Rushdie kemudian merespons keputusan India tersebut dengan sebuah surat terbuka yang terbit di New York Times pada 19 Oktober 1988.
Dalam surat tersebut, Rushdie tak menutupi rasa kecewa dirinya atas keputusan yang justru datang dari menteri keuangan.
Rushdie pun tak sungkan menuding para politisi yang mengajukan permohonan pelarangan The Satanic Verses sebagai "ekstremis" dan "fundamentalis".
Namun surat terbuka tersebut tidak digubris oleh Rajiv Gandhi. The Satanic Verses tetap dilarang bahkan menyusul pelarangan dari berbagai lainnya di dunia.
Berikut surat terbuka Salman Rushdie kepada PM India yang terbit di New York Times:
Dear Rajiv Gandhi.
Pada 5 Oktober, menteri keuangan India mengumumkan pelarangan dari novel saya, The Satanic Verses, menggunakan Pasal 11 Undang-undang Kepabeanan India.
Banyak orang di dunia akan merasa ini aneh bahwasanya menteri keuangan yang menentukan apa yang bisa dibaca oleh masyarakat India dan mana yang tidak.
Namun biarlah, karena di akhir pemberitahuan pelarangan tersebut bahkan punya pernyataan yang lebih aneh.
Menteri itu, saya mengutip dari laporan The Press Trust India, "menambahkan bahwa larangan tersebut tidak mengurangi nilai sastra dan artistik dari karya Rushdie". Yang mana saya hanya bisa menjawab: Terima kasih atas ulasan bagusnya.
Buku ini dilarang setelah perwakilan oleh dua atau tiga politisi muslim, termasuk Syed Shahabuddin dan Khurshid Alam Khan, keduanya adalah anggota Parlemen.
Orang-orang ini, yang saya tidak ragu menyebut mereka ekstremis, bahkan fundamentalis, telah menyerang saya dan novel saya sambil menyebut mereka sebenarnya tidak perlu membacanya.
Bahwa Pemerintah India ternyata menyerah pada tokoh-tokoh seperti itu yang sangat mengganggu.
Sebuah pernyataan resmi lebih lanjut datang sebagai pemberitahuan ke saya. Pernyataan itu menjelaskan bahwa The Satanic Verses telah dilarang sebagai langkah pencegahan.
Bagian-bagian tertentu telah dicap sebagai materi rentan distorsi dan penyalahgunaan, mungkin oleh fanatik agama yang tidak bermoral dan semacamnya.
Perintah pelarangan telah dikeluarkan untuk mencegah penyalahgunaan ini. Rupanya, buku saya tidak dianggap penistaan atau dianggap tidak menyenangkan, tapi dilarang untuk, bisa disebut, untuk kebaikannya sendiri.
Ini sangat mencengangkan. Seolah-olah, setelah mengecap orang tak bersalah sebagai kemungkinan target penyerangan oleh perampok atau pemerkosa, Anda harusnya memasukkan orang itu ke penjara untuk perlindungan.
Bukan seperti ini, Tuan Gandhi, sikap dari cara masyarakat yang bebas.
Jelas, Pemerintahan Anda merasa sedikit malu karena ulahnya sendiri dan, Tuan, itu memang sangat memalukan.
Bukan tanpa alasan bahwa hampir setiap surat kabar dan majalah terkemuka India menyesalkan larangan tersebut, misalnya, "keputusan Filistin" (The Hindu) atau "pengendalian pemikiran" (Indian Express).
Bukan tanpa alasan pula bahwa penulis terkenal seperti Kingsley Amis, Harold Pinter, dan Tom Stoppard bergabung dengan International PEN dan asosiasi penjual buku dan publisis India dalam mengutuk keputusan tersebut.
Hak kebebasan berekspresi adalah fondasi dari masyarakat demokrasi manapun, dan saat ini, di seluruh dunia, demokrasi India menjadi bahan tertawaan.
Lanjut ke sebelah...