
Review Film: Noktah Merah Perkawinan

Memang Noktah Merah Perkawinan merupakan hasil adaptasi dari sinetron era '90-an, tapi sutradara Sabrina Rochelle Kalangie mampu mengambil kisah itu dan mengemas ulang menjadi sesuatu yang baru dan indah.
Walau konflik yang ditampilkan bisa dibilang tak berbeda dengan versi sinetron, yakni permasalahan antara pasangan suami-istri, versi remake ini sangat realistis dan relevan dengan saat ini, baik dari segi watak maupun tingkah laku dalam setiap adegan.
Menonton Noktah Merah Perkawinan pun bukan hanya melihat bagaimana Marsha Timothy sebagai Ambar dan Oka Antara sebagai Gilang bertengkar, tetapi memahami bagaimana sebuah rumah tangga menghadapi berbagai badai yang menerpa.
Badai itupun bisa terjadi dari banyak faktor, baik internal ataupun eksternal, serta bagaimana penonton melihat celah yang membuat kapal sebuah perkawinan bisa terancam karam.
Misalnya, bagaimana ketika perbedaan sikap pasangan dalam menghadapi masalah yang datang, apakah sikap tersebut membantu menyelesaikan masalah atau justru bikin makin ruwet dan membara.
Namun yang membuat kisah Noktah Merah Perkawinan versi film ini menjadi lebih relevan dengan dunia nyata adalah, bagaimana Sabrina bersama penulis Titien Wattimena menggambarkan para karakternya.
Sabrina dan Titien tak membuat salah satu karakter sebagai korban dengan yang lainnya sebagai 'orang jahat'. Tak ada yang benar-benar jadi 'orang jahat' dalam film ini. Pasangan utama dalam film ini sungguh digambarkan sebagai dua orang yang saling memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti manusia biasa pada umumnya.
![]() |
Sementara dengan kehadiran orang ketiga yang biasanya jadi bumbu gurih dalam balutan stereotipe yang sudah 'pakem' dalam sinetron, justru ditampilkan berbeda dalam Noktah Merah Perkawinan versi layar lebar ini.
Sabrina dan Titien tidak menghakimi Yulinar (Sheila Dara Aisha) mutlak sebagai pengganggu rumah tangga Ambar dan Gilang. Justru, Sabrina dan Titien menggambarkan bagaimana Yuli menjadi tempat singgah yang tenang bagi Gilang di tengah perkawinannya yang penuh badai.
Sabrina dan Titien memberikan sudut pandang yang humanis akan sosok orang ketiga, ketika rasa cinta yang fitrah bagi seorang manusia justru tumbuh untuk seseorang yang sudah mengikat janji suci dengan orang lain.
Apakah Yuli sebagai orang di luar perkawinan Ambar dan Gilang tidak boleh mencintai pria itu hanya karena dirinya 'datang lebih lambat' dari Ambar? Apakah Yuli kemudian menjadi yang tersalah ketika bisa memberikan hal yang Gilang rasakan hilang dari Ambar?
Lanjut ke sebelah...