Perjanjian pranikah sejatinya merupakan perjanjian yang dibuat oleh kedua calon mempelai sebelum menikah secara sah. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perjanjian yang akan mengikat suami istri biasanya berisi tentang pembagian harta benda masing-masing jika di kemudian hari terjadi perceraian atau kematian.
Harta tersebut meliputi harta bawaan, hibah, warisan, dan utang yang dibawa oleh suami atau istri selama perkawinan dan hal-hal lain yang disepakati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pengacara Minola Sebayang saat wawancara dengan CNN Indonesia TV tahun lalu, perjanjian ini umumnya dilakukan untuk mengamankan harta pribadi dari masing-masing calon mempelai sebelum menikah.
"Kalau tidak ada perjanjian pranikah, tidak peduli harta itu merupakan andil siapa untuk mendapatkannya, dan tidak peduli diatasnamakan siapa. Kalau ada perjanjian pranikah, otomatis suami atau istri berhak melakukan apapun atas itu," kata Minola Sebayang.
Namun, perjanjian ini juga bisa mengatur hal-hal lain yang disepakati bersama. Hal-hal lain itu bisa ditetapkan selama tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian.
Syarat itu antara lain adanya kesepakatan bagi mereka yang mengikat diri, kecakapan para pihak untuk membuat sebuah perikatan, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan perundang-undangan atau kausa yang halal, serta hal yang diperjanjikan jelas dan tegas, tanpa perlu penafsiran di dalamnya.
Bila terjadi pelanggaran atau wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan juga bisa melakukan tindakan hukum.
"Awalnya mungkin bisa menegur pasangannya, lebih lanjut mungkin bisa melakukan somasi atau teguran lewat bantuan hukum yakni pengacara," lanjut Minola.