Jakarta, CNN Indonesia --
Butuh waktu bagi saya memberanikan diri mendengar album terbaru Weyes Blood yang rilis pada 18 November 2022, And In The Darkness, Hearts Aglow.
Pasalnya, narasi dan pesan album ini begitu eksplisit: penerimaan diri atas ketidaksempurnaan, dalam lirik demi lirik di 10 lagu. Konsep itu, bagi saya, hal nyaris mustahil yang nyatanya mesti dihadapi seluruh manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat 10 lagu, Blood begitu konsisten meramu pedihnya pesan itu dengan gayanya yang anggun nan mempesona.
Pada September lalu, perempuan bernama asli Natalie Laura Mering ini sejatinya telah merilis single pembuka yang bertajuk It's Not Just Me, It's Everybody. Lantunan mendayu khas Blood masih belum menggoyahkan saya kala itu.
Namun begitu memasuki bagian akhir, saat ia melantunkan "Mercy is the only cure for being so lonely / Has a time ever been more revealing / That the people are hurting?", bulu kuduk pun merinding dengan memori kelam masa lalu berhembus.
[Gambas:Youtube]
Hanya dengan satu lagu itu, Blood berhasil memadukan pahitnya kenyataan dengan manisnya menertawakan diri sendiri menjadi sebuah formula yang tepat.
Ia dengan magis mengajak pendengar untuk sadar, bahwa romansa bukan cuma hubungan satu sama lain melainkan memprioritaskan diri sendiri.
Ketika lagu kedua, Grapevine, rilis pada Oktober, manifestasi itu benar-benar terukir. "Sedih terus tapi tetap keren" adalah kesan pertama yang saya rasakan dari Weyes Blood karena lagu itu.
Grapevine bermakna tak berbeda dari lagu sebelumnya. Alih-alih pakai kalimat eksplisit, Blood justru menyisipkan sebuah kebun anggun sebagai simbol kesendirian tiada tara. Sebuah hal yang manusiawi, tapi amat pahit diterima.
[Gambas:Youtube]
Gaya penulisan lirik dari Natalie Laura Mering memang tak banyak berubah sejak album keempat, Titanic Rising (2019). Perpaduan satire, klise romansa, serta rima yang terukur jadi gaya utama Mering kala menuliskan syair lagunya.
Ketika album And In The Darkness, Hearts Aglow rilis pekan lalu, banyak ulasan memuji keberanian Weyes Blood dalam melantunkan syair penuh kejujuran. Hal ini menandakan lagu yang lain tak banyak beda dari dua single sebelumnya.
Saya pun akhirnya merasakan 'siksaan indah' dari album ini. Mendengarkan album ini bagai menjadi momen kontemplasi pribadi, dengan visualisasi imaji pertama yang muncul usai 10 lagu diputar tanpa henti adalah serasa diri ini merekah.
Lanjut ke sebelah...
Pesan Weyes Blood akan penerimaan diri nyatanya tak sesempit itu. Maknanya menjadi begitu luas, berjalan beriringan dengan aransemen musik yang tak main-main.
Produser yang telah lama bekerja sama dengan Weyes Blood, Jonathan Rado, kembali berandil besar dalam meracik nomor-nomor perayaan self-deprecation kali ini.
Namun dalam And In The Darkness, Hearts Aglow, Weyes Blood punya porsi jauh lebih besar. Bersama dua produser lainnya, Rodaidh McDonald dan Ben Babbitt, Blood terdengar berani mengeksplorasi progresi nada yang cukup masif.
Upaya itu berhasil. Lagu demi lagu dijahit dengan rapi sesuai dengan porsi dan pesan yang ingin disampaikan.
Hearts Aglow misalnya yang ditempatkan tepat setelah God Turn Me Into a Flower. Kedua lagu ini menilik masa-masa tak mengenakkan dari proses penerimaan diri yang menyesakkan hati.
Dari segi aransemen, dua lagu ini seakan menunjukkan wujud sesungguhnya dari Weyes Blood. Nada-nada vokal nan elektrik khas anti-folk bersanding sepadan dengan bagan lagu yang didominasi oleh crescendo yang elegan.
Pada nomor-nomor selanjutnya, Blood memilih membawa perjalanan penuh kontemplasi ini sedikit berenergi. Ia menggambarkan bahwa setiap perasaan manusia adalah valid dan tak layak tuk disesali.
Usai memberondong dengan beberapa aransemen enam menitan, Mering menjembataninya lewat track empat menit Twin Flame yang diapit dua nomor instrumental pendek sarat arti tersirat.
Twin Flame yang bersuasana elektronika ini jadi anomali dalam keseluruhan album, tapi justru jadi salah satu lagu favorit di album ini. Bukan hanya karena aransemen yang cerdas, melainkan penulisan lirik Mering --yang lagi-lagi-- amat fenomenal.
"Cause we are more than our disguises // We are more than just the pain // And I'm standing here laughing at my shame"
Siapa yang tak merasa tertampar usai mendengarkan lantunan itu dengan nada lirih nan lembut, tapi tetap tajam menikam?
Secara keseluruhan, fleksibilitas dan kelembutan gaya vokal Weyes Blood jadi kekuatan utama dari album ini. Selain itu, struktur penulisan lagu dan instrumentasi tiap lagunya juga menawarkan kebaharuan serta kekayaan yang tak mudah ditemukan setiap hari.
Intuisi Mering sebagai seorang penulis yang apik jelas tergambar nyata melalui lirik-liriknya yang didominasi kekuatan diri sendiri.
Sebagai andalan, lagu Twin Flames, Grapevine, serta It's Not Just Me, It's Everybody adalah pilihan yang tepat untuk mewakili album And In The Darkness, Hearts Aglow.
Hingga pada akhirnya, And In The Darkness, Hearts Aglow dari Weyes Blood tak hanya menawarkan sajian bermutu penuh gizi bagi telinga, tapi juga sebagai kawan setia menikmati sesi kontemplasi diri penuh arti.
[Gambas:Youtube]