Jika tidak menemukan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan persetujuan dari pencipta atau musisi atas karyanya, maka label akan menemui jalan buntu.
"Dia [label] ingin mencabut pasal itu sehingga mereka masih bisa mengeksploitasi karya-karya yang mereka beli putus itu sampai 50 tahun tanpa harus bernegosiasi ulang dengan pemilik hak cipta, pemilik hak terkait penyanyi atau performer," tutur Cholil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cholil tidak heran jika musisi-musisi yang menolak aksi dari Musica ini adalah musisi generasi lama, seperti Indra Lesmana hingga Ikang Fawzi.
Menurut Cholil, mungkin ada alasan di balik para musisi ini menjual putus karyanya kepada label padahal hal tersebut merugikan mereka.
Maka dari itu, Cholil menyarankan agar pencipta lagu atau musisi generasi saat ini jangan sampai terlena dengan tawaran jual putus dari label.
"Jadi harusnya punya posisi power yang lebih bagus dibanding zaman dulu yang sangat sulit untuk menembus dunia rekaman, lalu lagunya bisa dijual di pasar. Itu sangat sulit aksesnya," ujarnya.
"Itu mungkin salah satu pertimbangan kenapa orang akhirnya setuju dengan kontrak-kontrak yang enggak imbang dan enggak menguntungkan buat mereka," lanjutnya.
Musica Studio sebelumnya meminta MK untuk membatalkan pasal 18, 30, dan 122 UU Hak Cipta. Ketiga pasal tersebut mengatur perlindungan hak cipta bagi pencipta karya.
Pada gugatan itu, Musica Studio ingin MK membatalkan pasal-pasal tersebut. Mereka menilai pasal-pasal itu merugikan karena membuat label hanya berstatus sebagai penyewa karya dan tidak bisa beli putus hak cipta lagu.
MK menilai permohonan pemohon dalam hal ini Musica Studio untuk menghapus tiga pasal UU Hak Cipta tak beralasan menurut hukum. Mahkamah menyatakan pasal 18, 20, dan 122 sesuai dengan UUD 1945.
(pra/end)