Pengamat musik yang juga orang Dermayon, Galih Nugraha, adalah salah satu saksi hidup yang merasakan ajang "curhat" oleh rakyat di lagu dangdut dan tarling tersebut.
Masalah ranjang dituang jadi lagu berbahasa Dermayon dinilai agar masyarakat akar rumput tetap bisa merasa relevan dengan lagunya. Namun lebih dari itu, pencipta lagu mestilah bisa bikin pendengar lagunya berjoget dan melupakan sejenak beban hidup.
"Tarling juga sebenarnya enggak jauh-jauh dari dangdut (tema lagunya) karena menertawai nasib dan kekalahan," ujar Galih. "Bahkan itu jadi kemenangan, karena kapan lagi orang dengan rasa susah bisa bernyanyi dengan senang atau berjoget."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Menurut Galih, tema-tema persoalan ranjang ini tak lepas dari kebiasaan masyarakat yang bertukar kisah saat berkumpul bersama, alias nongkrong, di warung. Biasanya pun, yang nongkrong di warung adalah laki-laki.
Wadi Oon adalah salah satu musisi yang tumbuh dari kebiasaan tersebut. Pengalaman bertukar cerita dan ilmu saat bertemu orang lain itulah yang membuat dirinya bisa menggarap dan membuat lagu tarling.
Ia mengaku belajar dari nol dan semua bermula ketika dirinya memutuskan merantau dari Indramayu ke Bekasi Timur demi mencari sesuap nasi. Dalam perantauan, ia bertemu dengan banyak teman baru, termasuk para pengamen.
"Kami kenal sama pengamen, 'kan cakep-cakep. Dari notasi, dari suaranya dia, kami belajar dari mereka," kata Wadi.
Setelah transfer ilmu itu, Wadi mulai mencoba membuat lagu sendiri dan menemukan kesenangan di dalamnya. Ia pun banting setir jadi pencipta lagu.
![]() |
Usai lima tahun merantau di Bekasi, Jakarta, dan sekitarnya, Wadi pun pulang ke kampung halaman dan melanjutkan karier sebagai pembuat lagu tarling. Bila otak 'sedang encer' dan mood mendukung, ia bisa bikin satu lagu dalam sehari.
Wadi biasanya membuat bagian musik terlebih dahulu, baru kemudian liriknya. Kini, Wadi mengaku sudah ada ratusan lagu yang ia hasilkan.
"Liriknya yang paling susah. Ceritanya gitu-gitu aja kalau Indramayu mah," lanjutnya sambil berkelakar.
Keberadaan laki-laki yang banyak membahas soal rumah tangga ini tak lepas dari kebiasaan masyarakat tradisional yang menempatkan perempuan untuk mengurus sumur, dapur, dan kasur. Sementara laki-laki, mereka 'diwajibkan' ke luar untuk mencari nafkah.
"Agak bingung juga (mereka) ini bergosip baik atau tidak. Tapi yang jelas, pasti diterima karena (warung) itu pusat informasi. Yang paling banyak di warung bisa nongkrong itu laki-laki, bukan perempuan," kata Galih.
"Warung itu mesti dilihat sebagai titik temu orang-orang," tambahnya. "Karena, di situ pusatnya cerita."