Jakarta, CNN Indonesia --
Triangle of Sadness menjadi persembahan satire tiga babak yang memukau dari Ruben Östlund. Sutradara asal Swedia itu kembali membuktikan kemahirannya dalam mengemas dongeng satire dan komedi gelap.
Premis yang ditawarkan Östlund sebenarnya bukan hal baru. Film ini memotret satire kehidupan orang-orang borjuis dengan latar kapal pesiar mewah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun plot itu berkembang jadi begitu brilian ketika Östlund mulai menyinggung isu sosial dari berbagai sudut. Film ini menyentil banyak isu sosial dengan sentuhan komedi yang tak hanya jenaka, tetapi juga brutal.
Hal itu tertuang sejak babak pertama Triangle of Sadness berjudul Carl & Yaya. Babak pembuka ini seolah menjadi jaminan dari Östlund bahwa kisah satire yang disuguhkan bakal penuh ironi, tapi tetap menggelitik.
Seperti ketika Carl (Harris Dickinson) dan Yaya (Charlbi Dean) berdebat dari siapa yang mesti membayar tagihan makan malam, tapi malah jadi obrolan sengit soal uang dan peran gender.
 Review film: Triangle of Sadness menampilkan kemampuan sutradara Swedia itu dalam mengemas dongeng satire dan komedi gelap. (Imperative Entertainment via NEON) |
Triangle of Sadness terus berlanjut membahas berbagai isu sosial dengan gaya satire yang unik. Film ini cukup jitu dalam meramu cerita sehingga berbagai metafora yang muncul mudah dicerna.
Banyak dari metafora itu muncul ketika film ini menapaki babak kedua, The Yacht. Östlund dengan cermat menggunakan kapal pesiar bukan hanya sebagai latar plor ini.
Ia juga dengan cermat memakai kapal mewah tersebut sebagai penggambaran brilian tentang bagaimana cara kerja kelas sosial di masyarakat.
Seperti ketika tamu VIP leha-leha di geladak dan dilayani para pelayan, sementara buruh terpaksa terus bekerja di bagian bawah kapal demi keberlangsungan pelesir itu.
Namun, Östlund tak hanya menyinggung kelas sosial lewat penggambaran liburan mewah di kapal pesiar itu. Ia juga menyoroti geliat orang kaya yang seolah bisa melakukan segala hal karena memiliki kuasa yang berasal dari uang.
Sampai akhirnya, puncak babak ini ditampilkan lewat sesi makan malam bersama sang kapten kapal yang diperankan Woody Harrelson. Pada sesi ini, saya cukup puas bagaimana kumpulan orang kaya arogan itu 'membayar' atas tingkah congkak mereka.
Lanjut ke sebelah..
[Gambas:Video CNN]
Film ini juga memiliki banyak dialog hingga kutipan lucu yang menggelitik. Salah satunya ketika Dimitry (Zlatko Burić) dari Rusia tapi kapitalis dengan sang kapten yang dari Amerika tapi memuji sosialisme, berbincang dalam keadaan mabuk.
Mereka saling melontarkan kutipan ikonis dari tokoh dunia yang semakin membuat saya takjub. Kalimat satire penutup obrolan itu pun begitu puitis bagi saya, "A Russian capitalist and an American communist, on a 250 million dollar luxury."
Triangle of Sadness pun memberikan banyak kejutan saat menampilkan babak terakhir, The Island. Dalam babak ini, Östlund lagi-lagi menyoroti isu sosial dengan sudut pandang lain. Ia memotret sifat serakah manusia ketika mendapatkan kuasa.
Penggambaran tentang kuasa yang korup itu digambarkan secara unik. Pasalnya, pihak yang berkuasa pada babak ini justru seorang petugas kebersihan toilet bernama Abigail (Dolly de Leon).
Ia memiliki kemampuan bertahan hidup sehingga orang-orang yang terdampar bergantung kepada dirinya. Östlund kemudian menggambarkan orang 'kecil' seperti Abigail nyatanya tetap bisa korup dalam menggunakan kekuasaannya.
[Gambas:Photo CNN]
Rangkaian kisah satire itu diimbangi dengan penampilan menawan dari setiap aktor. Meski tidak bermodal nama besar kecuali Woody Harrelson, aktor-aktor itu tetap berhasil memberikan nyawa ke setiap karakter.
Film ini juga menawarkan sajian sinematografi dan scoring musik yang apik. Satu yang paling saya suka adalah gesekan biola yang mengalun mewah mengiringi kisah Carl dan Yaya di atas kapal pesiar.
Tak hanya itu, Triangle of Sadness memiliki banyak simbol dan metafora menarik lain yang patut digali. Saya percaya film ini mampu memberikan kesan yang beragam jika ditonton lebih dari sekali.
Keberhasilan Ruben Östlund dalam mengarahkan Triangle of Sadness memang patut diganjar penghargaan prestisius seperti Palme d'Or Cannes Film Festival.
Film ini bagi saya juga sangat layak bersaing sebagai nominasi Best Picture, Best Original Screenplay, dan Best Director Piala Oscar 2023.
Namun, saya tak yakin film ini mampu unggul dari pesaing sengit lainnya, seperti The Fabelmans, Everything Everywhere All at Once, atau The Banshees of Inisherin.
[Gambas:Youtube]