Puluhan tahun lalu, lakon pendekar sakti Brama Kumbara atau Arya Kamandanu pernah menjadi hit yang digandrungi masyarakat Indonesia. Judul-judul itu begitu dinanti pendengar, menjadi simbol sandiwara radio pernah mengalami era keemasan.
Masa kejayaan itu berlangsung setidaknya selama dua dekade, mulai dari kemunculan Misteri Gunung Merapi pada 1980-an, berlanjut dengan Saur Sepuh dan Tutur Tinular, hingga Catatan Si Boy.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian lakon populer itu bahkan diadaptasi ke medium lain, seperti film hingga sinetron. Sandiwara radio pun berkembang menjadi budaya pop yang mewarnai industri hiburan hingga sekitar 1990-an.
Meski demikian, gelombang kejayaan itu tampak surut seiring dengan perubahan industri hiburan di berbagai sektor. Pengamat budaya Hikmat Darmawan menilai kemajuan industri televisi pada era 2000-an seolah membuat radio seakan hilang dari peredaran.
Ia pun menduga perubahan model industri menjadi salah satu penyebab, meski sesungguhnya dunia radio tidak benar-benar mati pada masa itu.
"Memang banyak penyesuaian dan penyurutan dan sebagainya. Bahkan, tahun '90-an itu saya kira masih termasuk era sandiwara radio ya," ucap Hikmat saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"[Kemudian] TV yang sangat meningkat pada tahun 2000-an, seakan-akan radio kayak mati. Tapi mungkin itu karena model bisnis ya, model bisnisnya yang tidak ketemu," lanjutnya.
CEO Masima Corporation Malik Sjafei Saleh yang menaungi Prambors Radio juga membenarkan hal tersebut. Malik yang juga menjadi pendiri radio tersebut mengakui Prambors Radio sempat vakum membuat sandiwara radio setelah Catatan Si Boy usai.
Salah satu penyebabnya karena produksi sandiwara radio membutuhkan desain produksi yang lebih besar dibanding siaran reguler. Di sisi lain, teknologi radio juga beralih ke frequency modulated (FM) yang lebih jernih untuk memutar musik.
"Memang sebetulnya sempat kosong setelah Catatan Si Boy berhenti. Membuat sandiwara radio memang enggak terlalu mudah," ucap Malik dalam kesempatan terpisah. "Kemudian kami pindah ke FM, karenanya kita fokus ke musik karena sudah bisa menyajikan suara yang lebih bagus,"
Perubahan serupa juga dialami berbagai stasiun radio Indonesia. Walau masih ada yang memutar sandiwara radio, jumlahnya kalah banyak dibanding program musik atau program-program lain.
Hingga kemudian, sandiwara radio seolah mengalami reinkarnasi sekitar satu dekade terakhir. Perkembangan digital membuat sandiwara radio menjelma dalam bentuk baru, seperti drama audio atau radio play.
Berbagai judul drama audio di sejumlah radio kembali muncul, terutama ketika bulan Ramadan tiba. Prambors juga ikut andil dengan meluncurkan radio play Balada Cinta Ramadan yang kini berganti nama jadi Balada Cerita Ramadan.
Ada berbagai pertimbangan yang mendasari langkah radio kembali memproduksi sandiwara radio di era digital. Iqbal Tawakkal selaku Head of Digital Prambors Radio menyebut permintaan pendengar dan potensi bisnis menjadi alasan kuat sandiwara radio kembali lahir.
"Kami melihat ternyata potensi secara data dari tim Research and Data kami, ternyata konten radio play itu cukup dinanti," ucap Iqbal. "Alhamdulillah dari 2018 sampai 2023, secara bisnis dalam menawarkan ke advertiser alhamdulillah masih ada yang nyantol dan mau beriklan,"
Lanjut ke sebelah..