Jakarta, CNN Indonesia --
Saya sebenarnya galau untuk menulis review ini lantaran Tuhan, Izinkan Aku Berdosa belum tayang secara terbuka di publik. Film ini baru tayang di Jakarta Film Week 2023 dan akan tayang di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2023 pada akhir November 2023.
Meski begitu, satu hal yang pasti adalah saya yakin untuk merekomendasikan film Hanung Bramantyo ini saat nanti MVP Pictures resmi merilisnya ke bioskop. Alasannya sederhana: Hanung is back!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa mungkin sedikit dari segambreng film karya Hanung yang membuat saya benar-benar bersemangat dan emosional, bahkan bikin merenung panjang usai menonton.
Beberapa film Hanung yang mungkin bisa meninggalkan bekas dalam benak saya adalah Catatan Akhir Sekolah (2005), Lentera Merah (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008), Sang Pencerah (2010), dan yang paling saya ingat adalah ? (2011).
Bagi saya pribadi, ? menjadi barometer saya akan Hanung Bramantyo. Sehingga ketika Hanung lebih banyak menggarap film soal drama cinta sampai ikut-ikutan ke superhero dan adaptasi film asing, saya tak mendapatkan rasa yang pernah ada itu.
Baru ketika saya duduk menyaksikan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa, rasa itu muncul lagi.
[Gambas:Instagram]
Bukan hanya karena berbagai adegan yang mampu membuat mulut saya ternganga, tetapi juga bagaimana cerita yang ditulis Ifan Ismail berdasarkan novel kontroversial 20 tahun lalu ini bisa dieksekusi dengan sangat baik.
Selain itu, film ini juga mampu beresonansi dengan mereka yang pernah mengalami cerita di dalamnya, entah sebagai penyintas kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan keagamaan, atau menghadapi berbagai serigala berbulu domba bertopeng agama.
Ifan yang dibantu oleh Hanung dengan mulus mengisahkan alur maju-mundur perjalanan hidup seorang pelacur kelas kakap, selingkuhan para pejabat, pemuas para budak dunia.
 Review Tuhan, Izinkan Aku Berdosa:Ifan dan Hanung menggambarkan paradoks dan ironi yang sangat kentara dalam perjalanan Kiran, yakni ketika kereta yang diharapkan melaju menuju surga justru malah menjadi neraka dalam perjalanannya. (Screenshot dari Instagram @hanungbramantyo ) |
Ifan dan Hanung menggambarkan paradoks dan ironi yang sangat kentara dalam perjalanan Kiran, yakni ketika kereta yang diharapkan melaju menuju surga justru malah menjadi neraka dalam perjalanannya.
Duet Ifan-Hanung juga tak sungkan menunjukkan bagaimana satu per satu kejadian membuat hati Kiran hancur hingga melepaskan imannya kepada Tuhan. Bahkan lebih jauh, marah, dan menantang Dia.
Terlepas dari pengalaman spiritual dan keimanan yang sebenarnya bukan topik utama dari review ini, kisah-kisah bagaimana seseorang yang semula dikenal alim kemudian jadi 'begajulan' banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat.
Saya pun yakin mereka yang 'banting setir' itu bukan karena kekurangan ibadah ataupun salah pergaulan, tapi memang itulah skenario spiritual yang harus dihadapi manusia.
Bukankah Tuhan akan menguji mereka yang mengaku beriman? Bukankah Tuhan dengan mudah membolak-balikkan hati manusia?
Namun ujian itu mungkin akan terasa jauh lebih berat dengan apa yang dialami oleh Kiran (Aghniny Haque). Baik berupa fitnah, hingga pelecehan seksual yang ia terima dari mereka yang tak pernah terbersit dalam benaknya.
Lanjut ke sebelah...
Pada saat itulah, Ifan dan Hanung menangkap gejolak manusiawi dalam sosok Kiran dan digambarkan dengan sempurna oleh Aghniny. Gejolak emosi, sakit tak terucap, kekecewaan mendalam, marah, dendam, putus asa, tapi masih ada sedikit rasa lelah, asa, hingga doa tersirat di sana.
Kiran menggambarkan perasaan setiap manusia yang menghadapi ujian tak terkira dalam hidupnya, sendirian.
Aghniny bukan cuma membawakan karakter Kiran dengan sangat apik, ia meningkatkan emosi manusiawi yang dialami Kiran hingga tembus keluar layar. Sedikit aksi laga yang jadi andalannya pun menjadi bumbu yang 'nonjok' dalam film ini.
Hanung terbilang berhasil menjaga alur dan komposisi tersebut dengan baik tanpa harus mengubah film ini menjadi film yang berat untuk dicerna penonton. Selain itu, Hanung, Ifan, dan Aghniny mampu membuat thriller film ini lebih intens dibanding yang saya duga sebelumnya.
Alur maju-mundur yang digunakan Hanung pun bisa dibilang masih sangat mudah untuk diikuti, bahkan bagi mereka yang belum pernah membaca novelnya.
Saya sepakat dengan yang dikatakan Hanung usai pemutaran perdana film ini di Jakarta Film Week 2023 soal keputusan dirinya mengubah nama film menjadi tidak plek-ketiplek judul novel karya Muhidin M Dahlan.
 Review Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa: Aghniny Haque bukan cuma membawakan karakter Kiran dengan sangat apik, ia meningkatkan emosi manusiawi yang dialami Kiran hingga tembus keluar layar.(dok. MVP Pictures) |
Hanung kala itu mengatakan ia merasa seperti mencederai Muhidin dengan mengambil judul novel sebagai judul film ini. Karena menurutnya, film adaptasi novel tak ada yang 100 persen sama dengan versi aslinya.
Saya jadi penasaran, apakah Hanung sudah merasa seperti itu semenjak dulu kala? Atau akhirnya tersadar ketika sejumlah karya adaptasi novel dan film yang ia garap menuai banyak kritikan?
Terlepas dari itu, Hanung saya anggap bersikap bijak dan tegas untuk membedakan film ini dengan versi novelnya. Karena saya yakin, versi novel akan jauh lebih kompleks dan detail soal perjalanan Kiran.
Hanung, Ifan, dan seluruh kru film ini jelas sudah bekerja keras membungkus kisah yang sensitif bin calon kontroversi ini dengan menjaga harkat dan martabat pesan cerita novelnya. Itulah yang mestinya dipahami oleh siapapun saat menggarap ataupun menyaksikan film adaptasi novel.
Meski begitu, film ini tidak lepas dari kekurangan di luar saya memberikan tepuk tangan sepenuh hati. Hanya ada bagian dari film ini yang saya rasa mestinya bisa diganti dengan lebih baik, yakni visual efek guntur yang masih terlihat palsu.
Saya rasa Hanung mestinya bisa memberikan alternatif pengadeganan terkait cerita itu. Saya mungkin lebih bisa membayangkan saat angle kamera menyorot wajah Kiran dengan pantulan pancaran sinar dan suara guntur saat ia menyumpah serapah.
[Gambas:Instagram]
Karena jujur saja, penggunaan visual efek yang terlalu komputerisasi bila dilakukan secara sembarangan, tidak cermat, dan dengan standar seadanya seperti opera sabun, hanya akan merusak visual film. Apalagi bila sinematografi yang dilakukan Satria Kurnianto sudah terbilang pas sejak awal.
Saya punya optimisme akan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa bila nanti sudah waktunya tayang. Meski, saya tak bisa pungkiri, saya juga ikut penasaran bagaimana film ini akan direspons oleh masyarakat Indonesia yang dikenal sentimental bin emosional bila terkait dengan agama.
Namun itulah nasib film sebagai karya seni, akan selalu ada sudut pandang berbeda dalam menafsirkan sebuah gambar bergerak.