Jujur saja, kabar bujet produksi Rp5 miliar untuk film ini sebenarnya tak terbilang 'raksasa' pada skala industri film Indonesia saat ini.
Bila memang benar Siksa Neraka berbujet demikian, sebenarnya produksi masih bisa disiasati dengan menyederhanakan cerita dan membuat film ini fokus pada cerita bagian neraka alih-alih bertele-tele di bagian dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya merasa kisah bagian dunia yang memakan waktu lebih dari separuh durasi masih bisa banyak dipotong. Toh selain bukan jualan utama, ceritanya juga tidak menyentuh, dan penampilan para pemain sama sekali tidak menolong kualitas ceritanya.
Bahkan menurut saya, mestinya Anggy Umbara bisa memaksimalkan teror kengerian di neraka di luar modal adegan gore dan kesadisan semata. Nilai emosi dan horor dengan mengikutsertakan permainan psikologis bisa disertakan untuk babak ini.
Namun agaknya Anggy lebih sibuk menunjukkan bagaimana mata dicolok, lidah dipotong, dan tubuh disetrika, yang mana menurut saya tidak memiliki dampak psikologis signifikan.
Padahal, Anggy bisa belajar dari bagaimana Saw dan film gore lain membuat penontonnya begidik, gelisah, hingga ketakutan dengan adegan di layar.
![]() |
Hal ini membuat prostetik dan CGI yang sudah 'mati-matian' dibangun seolah jadi gimik semata. Jadinya, pertunjukan babak neraka dalam film ini cuma sekadar menyeramkan tanpa ada esensi penting di baliknya.
Selain itu, saya kecewa ketika Anggy Umbara dan Lele Laila memilih menayangkan adegan hukuman time-loop untuk kasus bunuh diri. Terlepas dari persoalan kebebasan berekspresi dan kreativitas, ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ditunjukkan secara gamblang.
Jangan salah, saya tidak memihak pada sensor. Saya pun menolak keberadaan sensor film seperti dulu kala.
Namun mengingat lembaga sensor saat ini hanya sekadar mengelompokkan film berdasarkan usia penonton, sementara bioskop tak bisa diandalkan dalam memilah penonton sesuai aturan, maka ada banyak anak di bawah umur yang bisa melihat adegan 'berbahaya' itu.
Hal itu diperparah dengan fakta masyarakat Indonesia banyak yang tak peduli akan aturan klasifikan film tersebut dengan mengajak anak di bawah umur menyaksikan film 17+ ini.
![]() |
Padahal serangkaian adegan di film ini bisa membuat trauma, terutama adegan bunuh diri yang bisa saja diikuti anak-anak di masa depan. Hal sensitif ini yang dirasa tak dimiliki kreator dalam menggarap Siksa Neraka.
Saya pun menyayangkan pihak studio dan produser yang tidak memiliki kepekaan sosial akan efek samping penayangan adegan tersebut.
Studio mestinya punya kepekaan lebih dan bukan cuma berpikir soal cuan, apalagi film horor berbujet Rp5 miliar di Indonesia bisa dengan mudah balik modal cuma dari seperempat juta tiket terjual.
Bagi saya --seiring perfilman Indonesia yang sudah tua untuk ukuran manusia-- sudah waktunya setiap pihak dalam dunia perfilman mengutamakan kualitas sinema serta dampaknya, dan bukan hanya sekadar mencari cuan dari eksekusi juga cerita receh.
Bila tidak, maka cita-cita perfilman Indonesia yang maju dan bermartabat sebenarnya cuma halusinasi semata.