Review Film: Siksa Neraka

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Minggu, 17 Des 2023 20:17 WIB
Review film Siksa Neraka: film ini dikembangkan ala sinetron azab tapi dengan banyak hal yang membuat gerutu di akhir.
Review film Siksa Neraka: film ini dikembangkan ala sinetron azab tapi dengan banyak hal yang membuat gerutu di akhir. (dok. Dee Company/Umbara Brothers Film via YouTube)
2
Melihat Siksa Neraka bagai disiksa menyaksikan film 98 menit yang tak jelas juntrungannya.

Jujur saja, kabar bujet produksi Rp5 miliar untuk film ini sebenarnya tak terbilang 'raksasa' pada skala industri film Indonesia saat ini.

Bila memang benar Siksa Neraka berbujet demikian, sebenarnya produksi masih bisa disiasati dengan menyederhanakan cerita dan membuat film ini fokus pada cerita bagian neraka alih-alih bertele-tele di bagian dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya merasa kisah bagian dunia yang memakan waktu lebih dari separuh durasi masih bisa banyak dipotong. Toh selain bukan jualan utama, ceritanya juga tidak menyentuh, dan penampilan para pemain sama sekali tidak menolong kualitas ceritanya.

Bahkan menurut saya, mestinya Anggy Umbara bisa memaksimalkan teror kengerian di neraka di luar modal adegan gore dan kesadisan semata. Nilai emosi dan horor dengan mengikutsertakan permainan psikologis bisa disertakan untuk babak ini.

Namun agaknya Anggy lebih sibuk menunjukkan bagaimana mata dicolok, lidah dipotong, dan tubuh disetrika, yang mana menurut saya tidak memiliki dampak psikologis signifikan.

Padahal, Anggy bisa belajar dari bagaimana Saw dan film gore lain membuat penontonnya begidik, gelisah, hingga ketakutan dengan adegan di layar.

Siksa Neraka merupakan film horor berdurasi 98 menit ini disutradarai oleh Anggy Umbara dari naskah yang ditulis oleh Lele Laila dan MB Rahimsyah.Review film Siksa Neraka: mestinya Anggy Umbara bisa memaksimalkan teror kengerian di neraka di luar modal adegan gore dan kesadisan semata. (dok. Dee Company/Umbara Brothers Film via YouTube)

Hal ini membuat prostetik dan CGI yang sudah 'mati-matian' dibangun seolah jadi gimik semata. Jadinya, pertunjukan babak neraka dalam film ini cuma sekadar menyeramkan tanpa ada esensi penting di baliknya.

Selain itu, saya kecewa ketika Anggy Umbara dan Lele Laila memilih menayangkan adegan hukuman time-loop untuk kasus bunuh diri. Terlepas dari persoalan kebebasan berekspresi dan kreativitas, ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ditunjukkan secara gamblang.

Jangan salah, saya tidak memihak pada sensor. Saya pun menolak keberadaan sensor film seperti dulu kala.

Namun mengingat lembaga sensor saat ini hanya sekadar mengelompokkan film berdasarkan usia penonton, sementara bioskop tak bisa diandalkan dalam memilah penonton sesuai aturan, maka ada banyak anak di bawah umur yang bisa melihat adegan 'berbahaya' itu.

Hal itu diperparah dengan fakta masyarakat Indonesia banyak yang tak peduli akan aturan klasifikan film tersebut dengan mengajak anak di bawah umur menyaksikan film 17+ ini.

Infografis Alat Penyiksa di Komik Siksa NerakaInfografis Alat Penyiksa di Komik Siksa Neraka. (CNNIndonesia/Fajrian)

Padahal serangkaian adegan di film ini bisa membuat trauma, terutama adegan bunuh diri yang bisa saja diikuti anak-anak di masa depan. Hal sensitif ini yang dirasa tak dimiliki kreator dalam menggarap Siksa Neraka.

Saya pun menyayangkan pihak studio dan produser yang tidak memiliki kepekaan sosial akan efek samping penayangan adegan tersebut.

Studio mestinya punya kepekaan lebih dan bukan cuma berpikir soal cuan, apalagi film horor berbujet Rp5 miliar di Indonesia bisa dengan mudah balik modal cuma dari seperempat juta tiket terjual.

[Gambas:Youtube]



Bagi saya --seiring perfilman Indonesia yang sudah tua untuk ukuran manusia-- sudah waktunya setiap pihak dalam dunia perfilman mengutamakan kualitas sinema serta dampaknya, dan bukan hanya sekadar mencari cuan dari eksekusi juga cerita receh.

Bila tidak, maka cita-cita perfilman Indonesia yang maju dan bermartabat sebenarnya cuma halusinasi semata.

Masalah depresi jangan dianggap enteng. Jika Anda pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau mengenal orang-orang dalam kondisi itu, Anda disarankan menghubungi pihak yang bisa membantu. Misalnya saja Komunitas Save Yourselves melalui Instagram @saveyourselves.id, Yayasan Sehat Mental Indonesia melalui akun Line @konseling.online, atau Tim Pijar Psikologi https://pijarpsikologi.org/konsulgratis.



(end)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER