LMKN Sebut Pembayar Royalti Musik di Indonesia Kurang dari Enam Ribu
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengungkapkan tingkat kepatuhan membayar royalti musik di Indonesia masih sangat rendah.
Komisioner LMKN, Waskito menyebut, jumlah perusahaan yang patuh membayar royalti melalui lembaganya masih sangat sedikit.
"Total itu belum mencapai 6 ribu pengguna. Artinya kan masih sangat minim," kata Waskito di Solo, Jawa Tengah, Jumat (8/8).
Merujuk PP No. 56 tahun 2021, penggunaan musik atau lagu secara komersial diwajibkan membayar royalti. Peraturan yang diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021 itu menyebut 14 sektor komersial yang dibebani kewajiban tersebut.
Waskito mengakui LMKN tidak memiliki data jumlah perusahaan yang termasuk kategori tersebut.
"Kita belum punya data pastinya berapa pelaku usaha yang menggunakan musik sebagai bagian dari proses bisnisnya. Tapi kan kita bayangkan, sebetulnya berapa banyak," kata dia.
"Menurut saya itu mungkin baru 2 persen, belum mencapai 5 persen," lanjutnya.
Waskito menjelaskan, kewajiban membayar royalti telah diatur sejak 1980-an, direvisi melalui UU Nomor 19 Tahun 2002, dan terakhir diperbarui pada 2014.
Meski payung hukum sudah lengkap, rendahnya kesadaran pengguna menjadi kendala utama. Ditambah lagi, masih banyak masyarakat yang belum memahami kewajiban mereka terkait hak cipta.
"Selama ini mereka tidak dibebani. Berpuluh-puluh tahun menggunakan musik secara bebas, lalu tiba-tiba ada kewajiban, tentu terjadi resistensi," kata dia.
Lebih lanjut, Waskito menilai positif mencuatnya isu hak cipta akhir-akhir ini. Dampaknya, kesadaran masyarakat untuk menghargai hasil karya seniman semakin meningkat.
"Artinya antusiasme masyarakat untuk memberikan penghargaan terhadap karya cipta orang lain ini semakin tumbuh. Ini kan iklim yang bagus bagi perbaikan kondisi sosial para pemilik hak," kata dia.