Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam sebuah perjalanan naik bis angkutan umum Bekasi-Lebak Bulus, batin saya mendadak disentak keharuan teramat dalam. Di hadapan saya, nampak seorang ibu muda berdiri sambil menggendong bayi di pelukan bersama seorang anak lelaki berusia sekitar 5 tahun ngamen di depan kami, para penumpang bis. Ibu itu menggunakan daster lusuh berwarna ungu sementara sang bayi dalam gendongannya tertidur pulas dibuai mimpi.
Dengan alat musik kincring-kincring yang terbuat dari tutup botol bekas yang dipakukan ke sebilah kayu, sang anak lelaki mengiringi sang ibu yang mendendangkan lagu “Masih Cinta”-nya Kotak. Suaranya terdengar pelan dan lirih. Seperti menyanyikan kepiluan dan kesedihan teramat sangat.
Tanpa terasa mata saya menghangat, tiba-tiba saya merindukan ibu.
Masih melekat rasanya ingatan itu, sekitar 30 tahun silam, di sebuah malam yang hening, di Bone-Bone–desa yang berada sekitar 500 km dari Makassar dan masuk dalam wilayah Kabupaten Luwu.
Saya terbangun dan melihat dari balik pintu kamar, ibu saya masih di sana. Di depan mesin jahit tua kami menyelesaikan pesanan pelanggan bersama lampu petromaks yang mulai redup. Di samping beliau, ayah tertidur menemani di kursi rotan usang kami. Segelas kopi terlihat separuh isinya di atas meja di dekat ayah tidur. Ibu nampak letih, beberapa kali beliau mengerjap-ngerjapkan mata menahan kantuk. Pesanan jahitan memang sedang banyak ketika itu karena kebetulan di saat yang sama ada banyak acara pernikahan di desa tempat kami bermukim.
Tiba-tiba, tanpa diduga ibu melihat ke arah saya yang mendadak panik lalu mencoba untuk bersembunyi kembali ke dalam kamar. “Sini, nak. Kenapa bangun malam-malam?” tanya beliau dengan sorot mata cemas.
Dengan langkah enggan saya melangkah beringsut ke arah ibu, takut membangunkan ayah yang sedang lelap tertidur. “Mimpi ya? Atau masih takut habis dimarahi Papamu tadi?” tanya ibu saya lembut yang lalu meraih saya ke pelukannya yang hangat.
Betapa damai dan tenangnya hati saya. Sore tadi memang saya dan adik lelaki saya, Budi dimarahi habis-habisan oleh ayah saya lantaran berkelahi di sekolah. Tak ada pukulan memang ke arah badan kami berdua, tapi suara menggelegar ayah yang memarahi sudah cukup membuat nyali kami ciut, bahkan sempat terbawa mimpi.
Ibu lalu meletakkan jahitannya di meja, lalu memangku saya seraya bercerita bahwa apa yang ayah saya lakukan, sesungguhnya merupakan tanda cinta orang tua kepada sang anak. Perkelahian yang saya lakukan memiliki resiko cedera fisik yang parah yang bisa membuat ayah dan ibu saya cemas tak terkira. Perasaan tenang seketika menyelinap di hati saya usai mendengarkan kalimat ibu yang lembut serta pancaran matanya yang teduh.
Kehadiran beliau sungguh kontras dan seakan melengkapi karakter ayah saya yang keras dan tegas menegakkan disiplin. Ibu lalu mendekap saya dan menyatakan semuanya baik-baik saja. Beliau mengatakan bila masih tidak bisa tidur, boleh membantunya merapikan jahitan yang sudah selesai. Beberapa di antara jahitan yang sudah selesai memang rencananya akan saya antar besok dengan sepeda jengki saya ke langganan ibu sementara ada beberapa jahitan yang lain masih butuh jahit pinggir atau obras yang juga menjadi tugas saya mengantarkannya besok sepulang sekolah.
Setelah semuanya selesai, ibu lalu mengantarkan saya kembali ke kamar. Menyelimuti dan mengecup kening saya dengan lembut. Saya masih sempat melihat sorot letih di mata ibu di bawah remang lampu teplok. Sempat melintas di benak, betapa tangguh perempuan yang telah melahirkan saya itu membantu menopang ekonomi keluarga, terutama ketika gaji ayah kerapkali tiba terlambat. Dan ibu tak pernah sekalipun terlihat mengeluh. Senyuman selalu menghias bibirnya, setiap hari.
Keharuan kian meliputi jiwa saat tangan beliau dengan lembut membelai rambut saya. Kesejukan embun pagi seperti melingkupi hati seketika. Tak lama kemudian saya tertidur pulas terbuai ke alam mimpi. Pada sebuah tengah malam yang lain saya mendadak terbangun oleh kecupan hangat di kening. Dalam redup lampu kamar, saya melihat ibu masih mengenakan mukenanya usai menunaikan shalat Tahajjud.
Wajahnya bersinar laksana cahaya pagi yang mempesona. Tatap teduh mata beliau seperti menyiratkan “Tidurlah lagi, nak. Mama mendoakanmu”. Tak lama kemudian, terdengar suara lirih ibu mengaji, melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Membuat malam kian terasa adem dan damai.
Kenangan atas kejadian itu membuat saya merindukan ibu. Sosok yang menjadi pelabuhan hati bagi kami anak-anaknya. Figur yang selalu tampil memberikan kehangatan cinta dan pengorbanan tanpa pamrih. Pahlawan yang selalu bertahta dalam hati kami, tak tergantikan.
Saat pulang ke Makassar pekan lalu lalu, ketegaran ibu masih terlihat dibalik tubuhnya yang kian renta. Dengan hangat beliau memeluk dan mencium kening saya saat tiba di rumah menjelang tengah malam. “Mama sudah buatkan pisang goreng kegemaranmu nak, juga ini, Popolulu (kue khas asal Gorontalo yang terbuat dari campuran ubi rambat rebus, gula merah dan kelapa dan digoreng dengan balutan tepung),” ujar ibu sembari menyodorkan piring berisi kue yang selalu jadi menu andalan menyambut kedatangan saya, putra sulungnya.
Saya terharu lalu balas memeluk ibu, mengucapkan terimakasih.
Terbayang oleh saya, bagaimana beliau “bela-belain” memasak kue dan pisang goreng kegemaran saya tersebut meski saya sendiri baru tiba sekitar pukul 23.00 malam. Sebenarnya, sebelum berangkat dari Jakarta saya sudah minta ibu tidak usah repot-repot menyiapkan hidangan spesial itu. Tapi beliau menampik dan menyatakan tidak ada masalah. “Kamu sudah lama tidak makan kue popolulu buatan Mama, kan?. Tidak usah khawatir, Mama malah gembira sekali bisa menyediakan makanan kesukaanmu apalagi kamu kan jarang pulang ke Makassar," ucap ibu lembut di ujung telepon.
Dan begitulah, saya dengan lahap lalu menyantap hidangan yang disajikan di bawah tatapan penuh cinta kedua orang tua, saya sambil bercerita panjang soal kelucuan Rizky dan Alya, dua cucu mereka di Cikarang.
Nyanyian ibu pengamen di bis itu telah usai tanpa saya sadari betul-betul. Sang anak lelaki bertugas berkeliling mengumpulkan upah mengamen dari para penumpang. Sang ibu memperhatikannya dengan tatap bangga sembari menggoyang-goyangkan bayi di pelukan.
Dari matanya, saya seperti melihat kilau mata ibu 30 tahun lalu di sana. Sorot ketegaran dan ketangguhan menghadapi hidup. Setelah memberikan upah ngamen cukup besar kepada sang anak lelaki yang balas menatap saya dengan tatap tak percaya, saya memasang Ipod MP3 di telinga dan mendengar Iwan Fals berdendang:
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh Lewati rintang untuk aku anakmu Ibuku sayang masih terus berjalan Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah Seperti udara… kasih yang engkau berikan Tak mampu ku membalas…ibu…ibu Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku Dengan apa membalas ibu…ibu Seperti udara… kasih yang engkau berikan Tak mampu ku membalas…ibu…ibu --- Selamat Hari Ibu
(ded/ded)