Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa tahun terakhir marak kita dengar dan baca berita-berita mengenai
bullying di semua media, baik di TV, cetak maupun online. Seolah-olah berita ini adalah menu
‘main course’ yang harus kita kecap, lahap dan telan betapa pun tidak enaknya menu tersebut.
Tapi jika kita menengok jauh ke belakang, perilaku
bullying ini ditengarai sudah dimulai dari jaman purba, yaitu pada saat manusia
Neanderthal digantikan oleh
Homo sapiens yang lebih kuat dan lebih berkembang (I'm a Counselor : Konsep Seputar Bullying oleh Esya Ariesty). Dengan kata lain, perilaku mengganggu tersebut ternyata sudah tumbuh dalam sejarah peradaban manusia purba dan kemudian berlanjut pada zaman manusia modern.
Banyak para ahli tentunya sudah meneliti secara mendalam mengenai
bullying dan sudah merumuskan berbagai macam teori pencegahannya. Tetapi ternyata
bullying ini tetap ada, bahkan tak jarang skalanya meningkat menjadi kekerasan yang menjurus ke arah kriminal dan berakibat hilangnya nyawa korban
bullying. Saya ingat, pada salah satu episode "Oprah Winfrey Show" pernah diadakan wawancara dengan penyintas/
survivor bullying dan orang tua yang anaknya bunuh diri dikarenakan
bullying. Dan saya masih ingat betul, bahwa usia para korban tersebut masih diseputar usia-usia ‘abg’, usia yang masih sangat muda tentunya.
Di Indonesia sendiri, walaupun kesadaran untuk menghentikan
bullying ini sudah bermunculan, namun kadang gaungnya masih timbul tenggelam. Saya pikir, sudah waktunya bagi kita semua untuk membuat gerakan yang lebih masif untuk meneriakkan "
stop bullying". Terima kasih dan hormat setinggi-tingginya untuk komunitas-komunitas yang sudah bersusah payah mengedukasi kepada orang-orang mengenai hal ini, tetapi mereka tetap perlu dukungan yang besar dan terus menerus dari kita semua. 'Kita' di sini adalah :
1. Orang tua
Peran paling dasar diberikan kepada orang tua untuk mendidik anaknya menjadi pribadi yang tepa selira atau tenggang rasa, tidak berego besar, dan belajar mengenai keberagaman manusia. Keberagaman penting diajarkan, agar anak paham bahwa di sekitarnya hidup orang-orang yang berbeda dengan dirinya, baik suku, bangsa, agama, warna kulit, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, jenis pekerjaan, fisik, dan sebagainya.
2. Sekolah
Estafet berikutnya diberikan kepada sekolah yang menjadi 'tangan kedua' peran orang tua dalam mendidik anak. Di sini, seperti yang disebutkan oleh Elizabeth Santosa, M.Psi dalam acara "Melindungi Anak Dari Cyber Bullying" yang diadakan oleh CNN Indonesia Student pada Selasa (31/5) lalu, sekolah diharapkan membuat sistem penilaian dari perilaku murid-muridnya yang masuk dalam kategori
bullying. Hal ini tentunya akan menjadi pagar agar perilaku yang menjurus kepada
bullying tidak menjadi berlanjut dan sekolah dapat mengambil tindakan seadil-adilnya baik kepada pem-bully maupun yang di-
bully.3.
Last but not least, peran selanjutnya adalah dari pribadi atau diri sendiri.
Kita dengan kesadaran penuh harus berani menerima tanggung jawab untuk berkata '
stop bullying' dan menularkan semangat tersebut kepada orang sekitar. Untuk zaman sekarang, kita cukup memanfaatkan sosial media yang kita punya untuk berbagai segala hal yang berkaitan dengan pencegahan
bullying. Jangan sungkan-sungkan untuk men-
share tulisan-tulisan semangat anti
bullying kepada
follower dan teman-teman di sosial media. Semakin banyak
follower yang me-
retweet dan men-
share semangat tersebut, maka gema
'stop bullying' akan memantul ke banyak orang. Dengan demikian kita dapat berharap bahwa kelak pantulan gema ini menjadi satu suara yang seragam di seluruh penjuru dunia.
(ded/ded)