The Hague, CNN Indonesia -- Di panggung global, keberagaman yang sehat, perdamaian dan kesejahteraan antar wilayah dapat diciptakan dan dirawat melalui diplomasi kebudayaan. Diplomasi kebudayaan adalah sebuah upaya untuk memajukan pemahaman yang lebih baik atas beragamnya identitas dan kebudayaan di tengah peradaban dunia dengan lebih meningkatkan partisipasi baik dari aktor-aktor negara maupun non-negara (
state and non-state actors).
Lebih jauh lagi, di abad ke-21 yang baru ini, pentingnya diplomasi kebudayaan di Benua Asia semakin menguat. Di wilayah ini, begitu beragamnya kebudayaan dan peradaban yang hidup berdampingan satu sama lain dapat ditemui, sehingga jika tidak ditangani dengan hati-hati dan konstruktif dapat menciptakan jurang bagi persatuan regional.
Sebagai emerging power di Asia Timur dan Asia Tenggara, skenario ini dapat dihindari jika China dan Indonesia menggalakkan diplomasi kebudayaan mereka dan dengan penuh makna mendorong keterlibatan
bottom-up.
Lebih penting lagi, tatkala keterlibatan
bottom-up dibangun di atas suatu narasi
grassroots perspective dan
people to people connection, upaya ini dapat memupuk
trust building yang merupakan dasar dari hubungan antar negara yang baik dan langgeng.
"Untuk membangun kepercayaan antara Indonesia dan China, saya pikir kami sebagai Warga Negara Indonesia terlebih dahulu harus membersihkan anggapan kita tentang China, hanya dengan kemudian kita dapat menemukan masalah dan kepentingan bersama dan mengerjakan itu bersama-sama" kata Amanda Cornelia Farina Rombot (21), mahasiswi S1 dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar, Indonesia.
Sebagai mahasiswa hukum, Amanda adalah siswi yang aktif baik di dalam maupun kegiatan luar kampus, seperti UNHAS Model United Nation Community dan International Law Student Association. Namun, dia bukanlah satu-satunya siswi berprestasi Indonesia yang sedang berdiskusi dengan para mahasiswa pasca-sarjana di Guangdong University of Foreign Studies (GDUFS).
Di tahun ini, bersama-sama dengan 14 pelajar Indonesia berprestasi lainnya, Amanda bepergian ke China dari tanggal 16 hingga 26 Mei, mengunjungi beberapa universitas,
think tank, perusahaan, Departemen Luar Negeri Republik Rakyat China, Perwakilan Indonesia (Consulate-General di Guangzhou dan Kedutaan Besar di Beijing), dan berbagai objek budaya China, sebagai pemenang kompetisi essai Write to China.
Kompetisi ini adalah hasil kerjasama antara Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta dan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI). Kompetisi ini bertujuan untuk mempromosikan pemahaman antar kedua negara dengan menegaskan pentingnya
people to people connection di kedua negara.
Kompetisi ini adalah salah satu dari upaya diplomatik untuk menjembatani kesenjangan hubungan antara Indonesia dan China. Di tahun-tahun yang lampau, sempat ada
vacuum dalam hubungan diplomatik antar kedua negara dan bukti-bukti sejarah dapat mendukung pernyataan ini. Namun, Indonesia telah melangkah maju, dan generasi mudanya memainkan peran kunci dalam era yang baru ini, di mana terdapat peningkatan kerjasama antar kedua negara. Memang, sebagai mitra perdagangan, China menjadi semakin penting bagi Indonesia.
Di tahun 2012 saja, volume perdagangan bilateral antar kedua negara mencapai US$66,2 miliar, 35% dari total perdagangan Indonesia. Tidak hanya sekarang, namun Indonesia dan China juga berbagi warisan sejarah dari
intra-regional dan
inter-regional trade di abad keempat belas, masa di mana keduanya berada di periode keemasan, di mana Indonesia dalam naungan Kerajaan Majapahit dan Dinasti Ming di China.
Warisan sejarah ini direvitalisasi kembali melalui Silk Road Initiatives atau One Belt, One Road. Pemerintah China telah mempromosikan hal ini selama tiga tahun.
Namun, di balik angka volume perdagangan bilateral dan warisan sejarah yang mengesankan, beberapa masalah praktis cukup mengganggu sehingga mengurangi terciptanya kesempatan dan kerjasama. Di segi bahasa saja, bahasa Tionghoa tetap dirasa asing dan tidak lazim bagi kebanyakan orang Indonesia. Untuk memahami bahasa Tionghoa, orang Indonesia harus melakukan gymnastic ke lidah mereka untuk dapat mengucapkan aksen Tionghoa dengan benar, apalagi membaca karakter tulisannya.
Dalam situasi normal, tatkala orang China dan Indonesia harus berkomunikasi, mereka melakukannya dalam bahasa Inggris, sehingga dalam komunikasi yang kompleks, beberapa kalimat yang telah diterjemahkan mungkin akan kehilangan makna sesungguhnya.
Padahal dalam hal pertumbuhan ekonomi, kedua negara juga berbagi permasalahan yang sama, seperti polusi tingkat tinggi di perkotaan, degradasi lingkungan, dan tingkat persaingan pasar kerja yang tinggi. Sehingga
people to people connection dapat menjadi salah satu upaya kunci dalam menanggulangi tantangan umum ini, sebuah upaya yang telah disokong oleh kedua pemerintah Indonesia dan China.
Dalam rangka mewujudkan
people to people connection, kompetisi essai Write to China dapat menjadi symbol dari pelaksanaan program-programnya. Dengan mengunjungi China, pelajar-pelajar Indonesia dapat mengambil hikmah dari pertumbuhan ekonomi China sebagai pelajaran berharga bagi Indonesia. Namun, perlu disadari bahwa proposal
lesson learned dari China sebaiknya disusun secara hati-hati, dan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara dan melindungi lingkungan Indonesia.
Lebih pastinya, ada cara-cara terbaru menuju pertumbuhan ekonomi, misalnya melalui
e-commerce, cara bisnis yang tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan hidup tetapi telah terbukti menjadi komponen penting pertumbuhan ekonomi China baru-baru ini. Perusahaan e-commerce China, Alibaba Group, telah menghasilkan US$248 miliar bagi ekonomi China pada 2013 dan bernilai US$25 miliar pada New York Stock Exchange di tahun 2014.
Lebih jauh lagi, Investasi Langsung Luar Negeri (FDI) sebaiknya ditujukan pada bisnis hijau
(sustainable businesses) yang memberikan kesempatan bagi warga negara Indonesia untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Juga, ditujukan supaya daerah-daerah tertinggal di Indonesia keluar dari kemiskinan dan standar hidup masyarakatnya meningkat, proyek-proyek pembangunan nasional harus dibangun pada nilai-nilai dan kearifan lokal sebagai ecosystem of solutions daripada mencerabut semua itu.
Yang terakhir, pada kreativitas dan inovasilah dapat ditemukan cara-cara yang lebih baik untuk menjaga dan meningkatkan kepadatan produksi di area yang konsentrasi produksinya sudah tinggi. Dengan mengunjungi perusahaan high-tech dan hijau di China, yaitu kantor pusat DJI dan pabrik mobil BYD, ini memberikan pengalaman tersendiri bagi pelajar-pelajar Indonesia.
Lutfannisa Salsabila (20), mahasiswi S1 dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mempunyai harapan bahwa di masa depan pemerintah Indonesia akan mengikuti jejak pemerintah China menuju pembangunan nasional berkelanjutan berdasarkan industri-industri high-tech, inovatif dan hijau serta memberikan subsidi bagi rakyatnya. Ia juga bermimpi dapat memproduksi sumber-sumber energi hijau dan produk-produk lokal yang bersaing demi melindungi lingkungan dan warga negara Indonesia.
Sehingga, di tahun-tahun mendatang, kita bisa melihat bahwa diplomasi kebudayaan
people to people antara Indonesia dan China dipimpin oleh masyarakat luas, termasuk para mahasiswa, tetapi hingga kesenjangan budaya siap dijembatani, peran mereka harus dipupuk dan dipelihara oleh kedua pemerintah.
Sumber-sumber data:
“Alibaba 101: Inside the record IPO”. Money.cnn.com. 10 September 2013. Web. Diambil pada 19 Mei 2016. “China’s Economy: 2014 review”. Globaltimes.cn. 7 Jan 2015. Web. Diambil pada 19 Mei 2016. Peng, Fu. “China, Indonesia aim for 80 bln dollars in bilateral trade by 2015”. News.xinhuanet.com. 3 Oktober 2013. Web. Diambil pada 19 Mei 2016.
(ded/ded)