Mempelajari Trias Politica di Balik Kasus Warung Bu Saeni

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 20 Jun 2016 09:24 WIB
Masih relevankah konsep trias politica?
Razia warung saat bulan puasa, di Padang Sumatera Barat. (CNN Indonesia/Randi Pangeran)
Serang, CNN Indonesia -- Montesquieu berabad-abad yang lalu telah mengemukakan gagasan politik mengenai pemerintahan demokrasi yang ideal: trias politika. Kehadiran lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam penyelenggaraan pemerintahan terbukti ampuh menjaga tiang-tiang demokrasi. Meski, tidak semua dapat dibilang efektif.

Peran eksekutif yang seyogyanya sebagai motor penggerak undang-undang terkadang kontradiktif dalan tataran tertentu. Antara eksekutif pusat dan eksekutif daerah saling berbeda sikap dalam memahami peristiwa.

Saeni (53), warga Serang, Banten harus menghadapai kenyataan bahwa warung tempatnya mencari nafkah terkena razia Satpol PP. Ia melanggar Peraturan Daerah Serang Tahun 2010 mengenai waktu berjualan makanan saat bulan Ramadan. Seharusnya, warga tidak boleh berjualan pada rentang waktu 04.30 hingga 16.00.

Himbauan tersebut bahkan sudah terpampang di depan warung Bu Saeni. Sayangnya, belakangan terungkap bahwa memang Ibu Saeni tidak dapat membaca.
Wacana toleransi kemudian di-follow-up oleh media massa secara massif. Bagaimana tidak, ketika peristiwa tersebut terjadi dan mulai diberitakan, mayoritas masyarakat merasa tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Beberapa menilai sikap aparat keterlaluan, tidak berkemanusiaan, hingga intoleran. "Membuka warung kan, juga mencari nafkah." "Hargai orang yang tidak berpuasa."

Bagaikan sihir, media dengan cepat berhasil mengarahkan masyarakat pada sikap tertentu. Pula, tidak sedikit dari kalangan pemerintahan yang beranggapan bahwa peristiwa tersebut berlebihan. Bahkan dari Presiden sendiri.

Presiden Jokowi melalui akun Twitter-nya menyesalkan adanya kejadian tersebut. Beberapa hari kemudian, santer terdengar kabar bahwa Presiden secara pribadi memberikan sumbangan kepada Ibu Saeni. Kabar tersebut kemudian diamini oleh Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi pada Senin (13/6/16).
Wacana berlanjut pada keadaan di mana Presiden berencana untuk 'menertibkan' 3.143 Peraturan Daerah yang dinilai bermasalah. Beberapa di antaranya menyangkut mengenai peraturan syariat Islam.

Hal yang menarik untuk kemudian dibahas adalah mengapa bisa terjadi sebuah mispersepsi? Eksekutif pada tingkat daerah telah menunaikan kewajiban dengan menegakkan Peraturan Daerah. Perda tersebut juga pasti telah melewati serangkaian prosedur hingga akhirnya diketok palu. Bahkan, bisa jadi perda tersebut adalah buah pikir dari pola perilaku masyarakat setempat.

Sedangkan, eksekutif pada tingkat pusat telah lupa bahwa ada otonomi daerah yang patut dihormati. Presiden tidak dapat serta merta mengintervensi kepentingan publik suatu daerah. Barangkali, ada persoalan-persoalan yang belum mampu dilihat melalui kaca mata pemerintah pusat.

Perlu juga menjadi sebuah pertanyaan, apakah media melalui kapasitasnya sebagai corong demokrasi berhak menentukan sikap publik mengenai suatu peristiwa? Lantas, kemudian konsep trias politika hendaknya dikaji ulang. Karena media saat ini sudah seperti 'tangan-tangan gaib' yang cukup jitu dalam menentukan undang-undang, baik dalam proses pembuatannya maupun pada proses eksekusinya. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER