Jakarta, CNN Indonesia -- Diskriminasi terjadi secara nyata, bahkan dalam konteks pendidikan yang dimulai sejak dini. Anak-anak yang memiliki dua sisi tuntutan yakni dituntut untuk menggapai ilmu setinggi-tingginya dan dituntut untuk bekerja karena tuntutan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Menimba ilmu yang hanya terfokus pada tergapainya status pendidikan. Sedang orangtua cenderung mengabaikan aktivitas anak di luar rumah.
Pendidikan selalu menitikberatkan kemampuan akademik maupun non akademik dengan didasarkan penilaian kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif dilihat melalui cara berfikir anak, afektif diamati melalui perilaku sedangkan psikomotorik diketahui dengan aktivitas fisik.
Pada dasarnya setiap anak terlahir cerdas dalam mengolah ketiganya, hanya saja faktor lingkungan dan pranata sosial, hal ini diperkuat dengan adanya kehadiran negara dan aturan yang baik maka masyarakatnya akan baik juga (Aristoteles, 1997). Sayangnya, dalam konteks Indonesia, peran negara belum positif dan aturan yang berlaku kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Jadi perlu suatu gerakan
grassroot dimulai dari lingkungan terdekat untuk menyadarkan dan membiasakan hal-hal yang benar dimulai dari hal yang kecil dan acap kali dianggap remeh oleh masyarakat, yakni Moral dan Etika.
Salah satu permasalahan yang telah terjadi di lingkungan dekat kampus B Universitas Airlangga, adalah ada anak-anak setingkat sekolah dasar di daerah Mojo Klangru yang mengalami beberapa krisis moral dan etika. Ini tercipta melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya serta lemahnya kontrol sosial dari keluarga.
Kata-kata yang diucapkan dan cara komunikasi menggunakan teknologi seakan menggambarkan mereka sebagai kaum yang kurang terdidik. Khususnya pada kaum perempuan, perlakuan teman laki-lakinya menggambarkan tidak adanya penghormatan justru merendahkan derajatnya.
Hubungan yang tidak lumrah ini terjadi hingga tahap pacaran yang tidak sehat. Pertama berpegangan tangan, cium pipi hingga bibir bahkan mengajak berhubungan seks pun dapat terjadi.
Hadirlah gerakan pemuda melalui Sekolah Kaum Marhaen ditujukan bagi anak-anak yang butuh jam ekstra untuk mendapatkan pendidikan di luar formal yang diajarkan di sekolah.
Dimulai dengan membangun kurikulum berlandaskan Nasionalisme serta Pancasila, kemudian saling bertukar pembelajaran bahwa hidup perlu memiliki keseimbangan raga dan jiwa.
Anak-anak itu dibiasakan disiplin bukan atas dasar ketakutan namun atas dasar saling memiliki, mengajarkan menghargai kebudayaan leluhur tanpa menepis datangnya perkembangan zaman, menekankan etika dan moral antar sesama juga dengan orang tua yang diharapkan menjadi pembelajaran toleransi dalam menghargai perbedaan.
Bahkan pengajar sekaligus menjadi konselor. Hal ini tidaklah mudah.
Kita saat ini mengalami krisis akan kepedulian. Pengabdian masyarakat yang diamanatkan melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi seakan terbelenggu oleh penatnya pendidikan di kampus.
Besar harapan bahwa pendidikan itu "
educating the heart" bukan "
educating the brain" yang hanya menghasilkan pekerja untuk sekadar memenuhi keinginan pasar namun menciptakan kualitas kapasitas karakter, seperti kata almarhum guru besar FISIP Universitas Airlangga, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto.
(ded/ded)