Jakarta, CNN Indonesia -- Dia sudah mati. Meninggalkan hitam dalam cawan. Awan-awan tetap tidak mau bersaksi. Fakta sumir berterbangan dalam ruang terkunci. Apa dan siapa pembuat kabut mengangkasa berpolemik diri. Independensi berjalan di tengah kesangsian di pantau sangsi-sangsi. Ungkapan tak mampu mengungkap tudung saji di atas meja makan. Mata-mata menjadi cendera mata simbolik terbolak-balik bagai koin dua sisi.
Siapa kebijaksanaan, kebenaran di keadilan, ketika, makna kejujuran mengungkap fakta sumir menjadi fakta material formal, berubah rupa menjadi abstraksi strategis. Ada tata cara mengatur aturan pada ranah disiplin, seharusnya menjadi kearifan bersama, berani berkata benar, maju kedepan mengacungkan tangan. Ya, saya telah melanggar aturan. Mengapa langkah itu tak punya keberanian. Barangkali materialisme, menjerat leher hingga sulit melangkah berani.
Batara Ismaya alias Semar, keturunan dewa, kakak dari Batara Guru, belum bersuara. Semar, menunggu hasil perundingan para dewa. Para guru langit masih sibuk membaca tanda-tanda abstraksi strategis, dengan satu tanda tanya besar. Atas kehendak siapa ‘The War of Universe’ akan terjadi, tersurat di kitab-kitab, meski tak dijelaskan benar, apa dan siapa berkehendak menggulirkan bola api peperangan, takdir masih menjadi kambing hitam acuan jua tampaknya.
Siapa takdir. Hanya sebuah kata dari pola intelegensi diagnostik tata laku. Semar telah membaca tanda-tanda dari Sanghyang Tunggal, bahkan Semar telah bercengkerama dengan Sanghyang Langit. Semar akan menyerahkan kosmos jika terdesak, demi, menyelamatkan kehidupan para cucunya kelak. Matahari telah bersumpah dihadapan Semar, akan memberi terang seterang Sanghyang Tunggal mencipta awalnya.
Jika dalam terang kami tak mampu mengungkap fakta sumir menjadi fakta material formal, kami bersedia dimusnahkan oleh Kakanda Sanghyang Langit. Demikian suara Matahari, Rembulan dan para Bintang, sangat santun, mengharukan Semar, menyaksikan sumpah mereka. Masih ada persaudaraan, kesetiaan, di antara mereka teramat kuat, bertekad bulat membasmi gerombolan Raksasa Hitam keturunan Devil Lizard, penyebar racun perusak generasi, itu, tekad persaudaraan.
The War of Universe, batal, sebab Semar turun dari Kahyangan, menyampaikan pesan Sanghyang Langit atas restu Sanghyang Tunggal, bahwa langit tidak akan menggulung kosmos jika di antara para raja dan kesatria, menyadari, mengakui, telah ada pelanggaran aturan akal budi di atas segala kebenaran, keadilan dan kejujuran. Setelah pesan itu disampaikan Semar. Para raja dan pasukan pulang dengan damai. Semar, menuju Karang Tumaritis tempat dia bermukim, menyepikan diri.
Pertanda bahwa planet Bumi masih gawat, jika Semar masih kembali menyepikan diri, meditasi sunyi. Itu isyarat asap api Indian, bahwa masih ada gelap di antara para raja dan kesatria, rentan dilanda penyakit kepura-puraan, kepalsuan. Semar, meminta seluruh pusaka para raja dan kesatria disimpan di Karang Tumaritis. Semar telah memohon pada Sanghyang Tunggal, mempercepat kelahiran Satria Akal Budi, akan mampu membasmi kelompok Raksasa keturunan Devil Lizard, tanpa melalui ranah karma The War of Universe.
Gatot kaca, Antareja, Bimasena, cucu-cucu Semar, mendukung Gareng, Petruk dan Bagong, sebagai tim independen, diberi hak penuh investigasi, melaporkan perkembangan cuaca berkala di luar sistem, kepada Semar di Karang Tumaritis. Dalam diam Semar mendengar suara, dalam sunyi melihat cuaca, dalam hening Semar melihat peradilan semu, di batin gerombolan Raksasa Hitam keturunan Devil Lizard, penyebar racun, bertujuan mengkerdilkan generasi.
Semar, bersunyi diri dengan khusuk, terus mengumandangkan suluk doa cinta…
Sebab diam isyarat air, sebab air bisa mencipta gelombang dan badai tanpa suara, bersama kebenaran, nenegakkan keadilan di kejujuran. Salam Indonesia Unit.
(rkh/rkh)