Jakarta, CNN Indonesia -- Shakespeare masih menulis Romeo and Juliet. Meski tampaknya telah selesai, penanya masih basah. Bukan oleh tangis kesia-siaan, karena cinta tak sungguh beracun. Ia masih terus mencari kebenaran dari tragedi. Benarkah komedi puncak dari tragedi dan sebaliknya, seperti pada Hamlet atau Antigone-Sophocles, di sana juga ada tragedi ‘cinta’ adaptif?
Pergulatan cinta tak selalu jatuh menjadi kecengengan meraung-raung di kisah klasik susastra drama. Tak sedangkal air mata duyung. Muncul karena memang telah basah oleh air laut. Sebuah kisah klasik tak habis sekadar teks, lalu mengolahnya dengan sekadar bumbu penyedap, tak sekadar pula pertentangan kelas, tak juga sekadar perseteruan politik bangsawan.
Shakespeare, membangun imaji keindahan ‘misteri’ cinta sepanjang zaman. Namun bukan mencari jawaban apa itu cinta dalam tafsir harfiah kasta. Ia terus menuliskan cinta sebagai rahmat, menyuguhkan pedoman di ranah kemanusiaan. Ketika Hak Asasi Manusia-HAM tak berkutik di bawah bendera revolusi kekuasaan monarki absolut. Ketika berkas demokrasi masih menjadi bayang-bayang.
Namun sesungguhnya Shakespeare telah menuliskan dengan tinta sehabis-habisnya makna demokrasi tersirat dalam cinta-religius-logis. Ia menemukan puncak dari teror komedi kekuasaan menjadi tragedi dan sebaliknya. Romeo and Juliet, apakah kisah itu simbol dari cinta? Apakah itu simbol dari percintaan antar kekuasaan berkelas? Ketika cinta sesungguhnya milik semua insan di bumi.
Edgar Allan Poe, memikatkan sejarah susastra cinta, bermain dalam misteri suspend analogi. Ia menyodorkan psikoanalisis-logis. Nalar menggubah kosakata menjadi riak gelombang naratif tersurat kritik hipokrisi praktis. Kata menjadi untaian ‘romantisme’ misteri. Seperti kematiannya, setia pada sikap, menulis sebagai cermin diri, komitmen dan pengabdian. Tak sekadar berteriak-nyaring, berslogan anarkis, lalu meratap tersedu-sedan.
Apa sesungguhnya cinta? Barangkali ketika senyuman menjadi tragedi, atau ketika kerling mata menjadi komedi. Sebab hidup adalah pergolakan namun tak sekadar mempertahankan revolusi perut pada acuan monopoli ekonomi praktis, dalam kemasan adendum, serupa expired date di minuman ringan. Norma tetap tafakur, di tengah simpang-siur label atas nama.
Selamat datang cinta, mudah sekali mengucapkan kata itu. Seringan kapas, tak seberat pena Shakespeare ketika menulis kisah Romeo and Juliet. Sophocles tetap pada konflik dramatik, kekuatan kecerdasan di balik pengadeganan, kritik pada sikap diri sebagai manusia menjadi cermin bagi sesama. Edgar Allan Poe mengakhiri kisahnya, senantiasa esensial.
Namun, apapun, walau bagaimana pun, hujan nuklir sekalipun, jangan, jangan mengkhianati cinta sejati negerimu, eksistensi esensial multi-kultur entitas estetis universal, tetap, berada dalam pelukan Indonesia Unit.
(ded/ded)