Jakarta, CNN Indonesia -- Bulan lalu, kita memperingati 71 tahun lahirnya Indonesia merdeka. Namun, perayaan kemerdekaan tidak hanya untuk merefleksikan masa lalu, melainkan juga agar mengilhami strategi Indonesia di masa kini dan masa depan sesuai semangat para pendiri negeri.
Adalah dr. Soetomo, seorang dokter visioner pendiri Budi Utomo, yang 96 tahun yang lalu telah mengukirkan visi kemandirian bangsa di majalah Indologenblad, berdasarkan pengilhamannya atas revolusi Prancis yang agung. Dr. Soetomo, dengan menjunjung nilai demokrasi telah menuntut hak berbicara rakyat Indonesia di majalah itu, menggambarkan sosok dirinya yang moderat dan berpikiran luas.
Pada 1921, dr. Soetomo mengetuai Perhimpunan Hindia (perkumpulan pelajar Indonesia di negeri Belanda), dan pada tahun berikutnya organisasi ini diubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia dengan M. Hatta sebagai bendahara. Memang, telah banyak para pendiri negeri yang mengenyam pendidikan di Belanda sembari merumuskan gerakan politik yang demokratis di masa itu.
Lewat tulisannya berjudul ”Kewajiban lan Gamelan”, dr. Soetomo mengangkat permainan gamelan dan mereflesikannya sebagai konsep komunitas yang harmonis, selaras dan bersatu di masa perjuangan. Dengan menekankan pentingnya peleburan diri seorang individu secara harmonis dengan komunitasnya, dr. Soetomo mengutamakan skill berkoordinasi yang sempurna dengan sesama pemain dalam permainan gamelan, lebih dari kemampuan individu di bidangnya.
Sehingga diisyaratkan oleh dr. Soetomo bahwa seorang individu harus memenuhi kewajibannya sesuai peranannya di masyarakat (
role and privilege) dan sesuai nilai dan aturan yang berlaku. Bagi dr. Soetomo, komunitas gamelan yang harmonis merupakan
achievement tertinggi dari sebuah pertunjukan, sehingga lantunan iramanya sangat merdu. Pesannya ini sangat dihormati oleh masyarakat luas.
Sudah saatnya
framework permainan gamelan ala dr. Soetomo ini diangkat dan diadopsi oleh Indonesia, di saat kepemimpinan Indonesia sebagai anggota Komunitas ASEAN (ASEAN Community) didambakan oleh banyak pihak.
Framework yang diberikan dr. Soetomo sungguh relevan dengan realitas ASEAN yang sedang kehilangan
centrality-nya bagaikan permainan gamelan yang sumbang.
Identitas lahir dari sejarahIdentitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung semangat persatuan, harmoni, dan perdamaian telah terbentuk sejak masa kolonial. Hal ini tak lepas karena iklim kolonial yang sangat represif, sehingga muncul usaha-usaha membangun pendidikan dan kesejahteraan masyarakat untuk meningkatkan derajat bangsa.
Di kalangan pelajar dokter STOVIA, semangat ini diilhami oleh dr. Wahidin Soedirohusodo yang pada mulanya ingin membentuk wadah beasiswa pendidikan dokter. Namun, hal ini melatar belakangi terwujudnya Budi Utomo, sebuah organisasi proto-nasionalis.
Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama yang mengadvokasikan inklusivisme di Hindia Belanda. Pada saat itu, keterlibatan Budi Utomo di Volksraad (Dewan Rakyat) adalah perilaku politis yang mengutamakan harmoni dan keserasian. Semangat Budi Utomo yang terpancar adalah liberal, humanis, progresif dan sekuler, sesuai dengan pemimpinnya, dr. Soetomo, priyayi maju dan modern, yang menjadi ikon perubahan sosial di jamannya.
Tulisan-tulisan dr. Soetomo sebagai pemimpin gerakan nasionalis selalu mengedepankan harmoni, persatuan dan kesatuan bangsa, dan juga transformatif. Yang menjadikan kepemimpinannya unik dan lebih diterima adalah pilihan pendekatannya pada masyarakat, yaitu fokus pada orientasi ekonomi, sosial dan budaya.
Sebagai pemimpin, dr. Soetomo senantiasa peka dan jeli mengedepankan dan menjawab kebutuhan masyarakat di masanya. Paham betul bahwa masyarakat kolonial Indonesia miskin, buta huruf dan
vulnerable, dr. Soetomo mengupayakan penyejahteraan masyarakat dengan penekanannya pada
trade unionism.
Hal ini berlainan dengan upaya perubahan radikal yang banyak diadopsi oleh para pemimpin lain sehingga menemui jalan buntu dan represi kuat dari pemerintah kolonial. Memang, kemampuan menyesuaikan diri walaupun dalam tekanan dan kondisi yang begitu kompleks, dan pada waktu-waktu yang partikuler, adalah ciri khas dari kepemimpinan dr. Soetomo.
Persatuan tanpa harmoniDalam perkembangannya, kontestasi antara Amerika dan China meliputi wilayah daratan, laut dan udara di Asia Tenggara menjadi
challenge yang mengusik perdamaian dan stabilitas regional. Hal ini menjadi perhatian dunia dikarenakan dua
super power ini dikhawatirkan mampu menciptakan
surrogate states di Asia Tenggara.
Selain itu, kondisi politik dan keamanan wilayah pun telah dipenuhi masalah-masalah lain yang diantaranya ancaman keamananan transnasional dan pertikaian antar negara ASEAN.
Untuk menjawab pandangan yang skeptis terhadap kemampuan ASEAN menghadapi kekuatan asing dibutuhkan
diplomatic centrality antar negara anggota ASEAN yang didorong oleh
leadership yang lebih kuat di ASEAN. Ini adalah kesempatan yang sangat langka bagi Indonesia untuk merevitalisasi kepemimpinannya dan mengembalikan
centrality ASEAN baik dalam urusan regional maupun global. Bagaimana pun Indonesia telah berjanji sebagai
driver untuk proses-proses integrasi di ASEAN sehingga perannya yang lebih proaktif dinantikan oleh banyak pihak.
Selain itu, tidak hanya
regional bureaucracy yang kuat dan efektif, namun
institutional reform di ASEAN juga dinilai perlu. Sehingga, tidak ada tempat yang lebih baik daripada ASEAN Secretariat di Jakarta untuk dievaluasi demi memenuhi keperluan ini. Adalah indikatif bahwa Indonesia sebagai
host country diminta kooperatif dan proaktif dalam menjawab tantangan ini. Selain itu,
legacy-nya sebagai
norm-setter di ASEAN, ditandai dengan penggunaan konsep
musjawarah dan mufakat sebagai bahasa diplomatik untuk mengatur
collective interest di antara Member States, merupakan alasan mengapa
bargaining position Indonesia sangat baik dan mendukung kepentingan ini.
Dengan alasan-alasan di atas, sudah saatnya Indonesia menjaga semangat para pendiri bangsa dengan meneruskan inspirasi dan kebijaksanaan mereka dan menjadikannya landasan potensi kepemimpinan Indonesia di fora internasional. Contoh inspirasi dr. Soetomo dengan komunitas gamelannya dapat memberi gambaran regional yang sesuai dengan pandangan lokal dan menempatkan Indonesia pada posisi alaminya sebagai pemimpin di ASEAN. Hal ini sesuai dengan privilege-nya sebagai negara paling strategis dengan luas wilayah dan jumlah penduduknya yang terbesar, disamping
legacy-nya sebagai
pioneer dan
norm-setter di ASEAN.
Sehingga, di tahun-tahun mendatang, kita bisa mengharapkan Indonesia memulai langkah-langkah nyata menunjukan kredibilitasnya sebagai pemimpin di ASEAN, tetapi hingga Indonesia tidak reluktan dan siap meleburkan diri dengan harmonis di komunitasnya, buah pikir para pendiri bangsa dapat dikembangkan sebagai
worldview sehingga kepemimpinan Indonesia di ASEAN senantiasa terjaga.
(ded/ded)