Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus Angeline, insiden JIS, dan fenomena Emon di Sukabumi boleh jadi mengingatkan kita betapa kekerasan terhadap anak masih marak. Pemahaman akan perlunya perlindungan hak anak belum sepenuhnya dipahami dan dilakoni masyarakat.
Banyak tragedi terjadi di daerah, di mana masyarakat belum paham apa itu hak anak, bagaimana efek kekerasan terhadap anak, pentingnya pendidikan ramah anak. Apalagi dengan benturan budaya yang melekat di masyarakatnya, seperti budaya mendidik anak dengan cara keras.
Hal tersebut membuat beberapa orang terdorong untuk menjadi mesin penggerak di daerahnya. Contohnya adalah Sopyan, pendiri Kelompok Perlindungan Anak Desa di Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan Yakobus Theodorus Kolo dari desa Faenake, Timur Tengah Utara, NTT.
Menjadi penggerak di daerah tak mudah. Masyarakat setempat masih asing dan memandang sebelah mata terhadap perlindungan hak anak. Berbagai upaya dilakukan. Beragam kesulitan didapatkan, seperti yang dialami Om Cobus, panggilan akrab Yakobus dari Faenake. Benturan budaya yang ada di desanya membuat pengedukasian masyarakat terkait perlindungan anak harus dilakukan perlahan.
Warga Faenake percaya bahwa ‘di ujung rotan ada emas, anak harus di didik secara keras agar menjadi manusia yang berkualitas’. Sejak tahun 2005 Om Cobus bersama sebuah lembaga internasional yang berada di Indonesia mulai membuat gerakan pengedukasian warga tentang pentingnya perlindungan anak. Akhirnya muncul ide membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD).
Masyarakat Faenake diajak untuk lebih menyayangi anak, karena mereka adalah anugerah Tuhan yang perlu dilindungi dan dididik secara baik. Beragam program dilakukan, mulai dari melakukan riset tentang perkembangan anak di daerah setempat, melakukan Focus Group Discussion (FGD), melakukan sosialisasi ke semua elemen kelompok masyarakat, mendorong masyarakat membuat program yang pro-anak, dan akhirnya membentuk KPAD pada tahun 2010.
Semenjak terbentuknya KPAD, banyak masyarakat yang sudah berani mengungkap kejahatan maupun kekerasan yang terjadi pada anak mereka. KPAD berperan sebagai lembaga yang menengahi dan memberikan bantuan advokasi kepada korban.
Semakin terbukanya masyarakat untuk melaporkan kasus ini, juga didorong karena adanya konselor remaja. Dengan konselor yang masih remaja, korban menjadi lebih mudah terbuka. Om Cobus menggambarkan kalau KPAD ini seperti tadi dikatakan, layaknya malaikat penolong.
Hal sama tak hanya dialami Om Cobus, Sopyan dari Rembang juga mengalami tantangan dalam menginisiasi terbentuknya Lembaga Perlindungan Anak Rembang (LPAR). Masyarakat Rembang menilai hal ini sangat asing.
Untuk apa perlindungan anak? Mau diapakan anak-anak mereka? Mungkin seperti itulah yang warga tak pahami. Namun dengan niat kesukarelaan dari Sopyan dan rekan-rekan dan dibantu oleh Plan Indonesia (sebuah lembaga internasional yang berkonsentrasi pada perlindungan anak) mereka bahu-membahu mengedukasi pentingnya perlindungan anak.
KPAD Rembang pun dibentuk. Melalui PIK-RR (Pusat Informasi Konseling dan Reproduksi Remaja) dan juga menggaet OSIS di sekolah, KPAD mulai mengajak anak-anak dan remaja untuk lebih memahami bagaimana mereka seharusnya tumbh sebagai remaja, dan memberi edukasi apa sebenarnya hak yang mereka miliki, bahkan konsultasi tentang pacaran sehat juga diberikan.
Selain itu KPAD juga mengadakan berbagai sosialisasi tentang perlunya perlindungan anak dan apa itu hak anak. Saat ini di kabupaten Rembang 297 desa dan kelurahan sudah memiliki KPAD. Dan seluruh KPAD bergabung bersama menjadi LPAR.
Beragam kesulitan dan tantangan memang terus menjadi batu sandungan, namun dengan berjalanna waktu jerih payah itupun memberikan hasil. Baik di Faenake maupun di Rembang dua-duanya menampakkan hasil positif.
Angka kekerasan semakin berkurang, warga menjadi lebih erbuka dan berani mengungkap kejahatan yang terjadi pada anak, pemahaman tentang perlindungan anak semakin meningkat, pola komunikasi di keluarga yang semakin komunikatif, dan pastinya anak memiliki masa kecil yang lebih bahagia.
(rkh/rkh)