Jakarta, CNN Indonesia -- Semboyan nasionalis semakin memuncak saat Indonesia-Soekarno-Hatta, menuju kedaulatan Indonesia Merdeka. Sumpah Pemuda konstruksi kultural Bineka Tunggal Ika, dilindungi kesaktian falsafah Pancasila, membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia-NKRI, kini.
Keteladanan sejarah Nusantara, Gajah Mada, hingga Kartini, Cut Nyak Dien, Patimura, Panglima Jenderal Sudirman, Laksamana Madya Yos Sudarso dan Pahlawan Revolusi. Tak cukup kata menuliskan banyak pejuang NKRI, nasionalis sejati tak ingkar janji, amanat hati nurani, etos martabat tinggi, dicatat sejarah menjadi pelajaran pustaka pendidikan.
Nasionalisme itu tetap utuh, kuat, gotong-royong, bertekad bulat, bersatu-padu, tak runtuh oleh godaan karakter hedonisme-snobisme.
Akankah kesetiaan para pendahulu negeri indah ini, terabaikan oleh perilaku materialistis dogmatis, terpaku pada sugesti-materialisme kabut asap mengangkasa bagai sulapan imaji, di era cita-cita NKRI telah menjadi kosmos inspirasi bangsa-bangsa.
Haruskah membangkitkan Gajah Mada, jiwa satria-bening pengikat nusantara, untuk mencapai kesadaran mendasar aku-NKRI. Aku nasionalis sejati.
Tak ada tawar menawar bagi siapapun, jika tindakan hukum atas dasar-Ketuhanan Yang Maha Esa, demi, Kemanusiaan yang adil dan beradab, membuka ruang fakta bersembunyi di balik titik api, melaksanakan kewajiban ruh kesadaran-Persatuan Indonesia.
Dengan keyakinan teguh kekuatan garis-garis besar haluan hukum, filosofi-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan.
Menegaskan-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak perlu pamer self-portrait di billboard pariwara, di tengah investigasi malu-malu di dalam kabut asap, konon.
Siapa pemantik api, daun gugur, pohon mati, flu ekologi mengguncang ekosistem. Oh! Tak penting itu kan non-profit, kata burung gagak sambil terbang. Loh, why? Kata kupu-kupu.
Siapa korporasi kabut asap, akal tak menyentuh nurani. Masih adakah nurani?
Jika kritik tak mampu lagi membangun hakikat bening-kebenaran pemerataan kesejahteraan hutan lestari, inti-oksigen langit pencipta horizon, pengabdian untuk negeri.
Masih adakah pengabdiaan-bening bagi Negeri Indah ini? Jika ekosistem tak menunjang geo-NKRI, maka agrogeologi menangisi geopolitik menjadi tekno cita-rasa berkarat. Masih pentingkah cinta di slogan Indonesia lestari?
Semangat NKRI tak pernah pudar di tengah titik api di dalam kabut asap, terus belajar memberi kebijaksanaan di segala lini sektor kehidupan, edukasi kemaslahatan generasi tetap menjunjung tinggi harkat-hakikat Pancasila. Salam Indonesia Unit.
(ded/ded)