Sumenep, CNN Indonesia -- Pendidikan seyogyanya menjadi alat untuk memerdekakan manusia dari belenggu kebodohan. Dengan pendidikan, diharapkan manusia tidak hanya terdidik pengetahuannya tetapi juga moralnya. Di satu sisi, pendidikan menyalurkan ilmu pengetahuan dan di sisi lain membentuk pribadi-pribadi berkarakter dan terpuji secara moral.
Dari sekian banyak lembaga pendidikan di Indonesia, pondok pesantren adalah satu di antaranya. Keberadaan pondok pesantren sudah lama malang melintang dalam sejarah Indonesia. Jauh sebelum negara ini merdeka, pondok pesantren telah memberikan sumbangsihnya dalam mengawal pendidikan masyarakat.
“Tidak bisa dipungkiri, keberadaan pondok pesantren di Indonesia memiliki peran sentral dalam mengawal pendidikan warga negara ini,” kata A. Muhshi Ibnu Mas’ud, membuka acara bertajuk “Halaqah Kependidikan & Kepesantrenan” di serambi Masjid Jami’ Pondok Pesantren Al-In’am, Banjar Timur, Gapura, Sumenep, beberapa waktu lalu.
Dalam sambutannya, Ketua Yayasan Al-In’am ini juga memperkenalkan KHR. A. Azaim Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo. Azaim Ibrahimy mengupas pentingnya pendidikan pesantren dalam mendidik santri agar memiliki sifat rendah hati.
“Tantangan bagi pesantren-pesantren saat ini adalah bagaimana memiliki guru dan mencetak santri yang memiliki nilai rohani, dan hal tersebut harus terus diperjuangkan oleh para kiai pesantren. Salah satu caranya adalah dengan membaca doa sebelum memulai pelajaran, diajarkan ketakziman, dan menamankan perilaku tawadhu’ atau rendah hati di kalangan santri,” papar KHR. A. Azaim Ibrahimy.
Lebih lanjut, pengasuh yang akrab disapa Ra Zaim ini mengatakan bahwa pendidikan di pesantren haruslah mencakup semua bidang keilmuan. Antara ilmu agama dan ilmu umum harus sama-sama ditanamkan pada para santri. Keduanya tak terpisahkan sehingga wajar bila banyak para ulama yang ahli fiqih sekaligus ahli atom, ahli lughah sekaligus ahli sosiologi, ahli tafsir sekaligus memahami anatomi tubuh manusia.
“Sejatinya, keilmuan pesantren idealnya mengikuti para ulama terdahulu, sepeti Ibn Rusyd dan Ibn Shina. Yang mana mereka tidak hanya mempelajari ilmu fiqih, tafsir, maupun hadits, melainkan juga mempelajari ilmu-ilmu lainnya sepeti fisika, kimia, kedokteran, dan lain sebagainya, sebagai satu kesatuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri,” kata Ra Zaim.
Seusai acara, Marzuki Ocet, guru mata pelajaran nahwu SMA-Pesantren Al-In’am mengatakan, “Acara semacam ini mutlak diperlukan demi menjaga ghirah keilmuan di pesantren. Apalagi yang ngisi acara Ra Zain, ulama kharismatik yang keilmuannya tak dapat diragukan. Kami para guru, tentu banyak pengambil pelajaran dari cemarah beliau,” ujar guru yang juga mengajar tajwid di sekolah sore hari (diniyah) di Pondok Pesantren Al-In’am ini.
(ded/ded)