Jakarta, CNN Indonesia -- Din berlari kencang. “Aku ceroboh!” dalam hatinya. Ia terus berlari sekencang-kencangnya membawa dag dig dug di dadanya. Batas Desanya mulai tampak, pertanda jarak tak jauh lagi. Dua orang di belakangnya terus memburu dengan benjol di kepala masing-masing.
Din ingat cerita Pandawa Lima pernah ia baca. Ketika Pandawa nyaris dikalahkan raksasa musuh dari negeri Alengka. Gatotkaca menukik turun bagai anak panah super cepat, dari ketinggian terbangnya, berkekuatan sakti menghantam satu peleton raksasa dengan angin lesus keluar dari tubuh Gatotkaca.
“Aku bisa lari secepat terbang Pak Gatotkaca itu.” Tekad di hatinya. Ajaib, adrenalin memicu bawah sadarnya. Entah dengan cara apa dan bagaimana ia berhasil mencapai batas Desa lebih cepat dari pengejarnya. Din langsung berteriak sekeras-kerasnya minta tolong. Hanya gema menjawab suaranya.
Din, sambil terus berlari menuju Pos Desa terdekat, ia teriak lagi sekeras-kerasnya. “Tolong! Tolong!” Sekilat petir ia meraih pemukul kentongan, membunyikan kentongan sekeras-kerasnya, jantung Din berdegup keras seakan mau melompat keluar dari dadanya. Suara kentongan menggema ke seluruh Desa sekitar hutan lindung.
Din, terus memukul kentongan semakin keras bertalu-talu. Matanya seperti menyala mengawasi sekitar. Kupingnya menangkap suara gemeretak ranting pohon diinjak orang. Terdengar sayup suara amat dikenalnya semakin dekat. “Din!” Suara-suara memanggil namanya.
Ayah dan Pemangku Desa serta dua tetangga dikenalnya. Ayah Fa dan Ayah Sol, mereka muncul dari pepohonan berhuma-huma,
“Din!” suara khas Fa muncul tak jauh di belakang punggung Din, juga suara Sol dari arah samping belakang. Din terkesiap, senang dan sebel, “Ke mana aja sih kalian huh!”. Di benak Din sambil menatap tajam kedua sahabat karibnya sedikit geram.
“Din! Ada apa?” Suara Ayah Din setengah berteriak, mendekat menuju Din, memecah suasana, di susul suara-suara kekhawatiran dari Pemangku Desa, Ayah Fa dan Ayah Sol, serta suara orang-orang Desa. Mereka bermunculan berkumpul di Pos Desa, mendengar suara panik dari kentongan Din.
Din menghela nafas lega meski dadanya masih dag dig dug mengatur nafas plus kesal dengan Fa dan Sol, yang terlihat santai tetap tenang seakan tak terjadi apa-apa. Meski Sol tampak tak bisa menutupi kegelisahan di raut wajahnya.
“Aku ketapel tepat di kepalanya dengan buah jambu biji muda.” Suara Din membuka kisah. Semua orang di Pos Desa itu bergumam serentak seperti puluhan lebah berdengung.
Ayah masih memeluk bahu Din duduk di samping Anandanya itu. “Mengapa pula kau ketapel kepala mereka Nak?
“Kesal aku Ayah.” Suara Din, perasaannya masih campur aduk, kesal pada Fa dan Sol, serta dua orang tak dikenal pengejarnya tadi. “Entah siapa mereka.” Kata Din singkat saja.
Orang-orang berusaha memahami cerita Din, namun tetap tak jelas benar apa masalahnya. Matahari meredup, ada awan menutupinya. Mereka kembali ke Desa masing-masing, waktu telah memerah senja di antara celah pepohonan.
Suara nyanyian malam baru saja menutup kisah Din pada Bunda, Ayah menyimak sambil terkantuk-kantuk, meski Ayah masih tak jelas benar duduk perkaranya. Adik tertidur di pangkuan Ayah. Din, menceritakan semua kejadiannya, sejujur-jujurnya pada Bunda, setelah Ayahnya menggendong Adik ke kamar.
“Tidurlah sekarang, besok usai sekolah kita rundingkan rencana terbaikmu.” Suara Bunda sesejuk embun pagi, renyah seperti gemercik air sungai di belakang rumah menerpa batuan.
Di peraduan malam Bunda dan Ayah, masih berbincang tentang Din. Kedua orang tua itu paham betul watak Din. Jika ada keinginannya meraih cita-cita. “Bunda, biar besok aku urus ya. Akan aku kuntit sejak Din keluar sekolah bersama kawan-kawannya itu. Aku paham maksud dan tujuan Anandamu.”
Panorama pagi bagai lukisan agung Sang Maha Pencipta. Seluruh Desa sekitar bukit cerah warnanya. Orang-orang saling menyapa, memanggil dari kejauhan “Hai! Anak Pak Cik Tanah Jawa, singgahlah dulu di dangau, ada sambal nikmat.”
Usai bertanam, budaya saling bertukar bekal, berkisah tentang panenan, sanak famili dan Ananda mereka, telah menjadi ikatan kurukunan antar Desa. Sore memberi makna harapan.
Hari lanjutan setelah usai waktu sekolah, Din masih berunding dengan Fa dan Sol di bawah pohon mangga di ujung Utara halaman sekolah. “Tepatlah waktu tibamu di tempat penting kita, kalian masih tak paham juga maksudku”. Suara Din masih kesal, sebab beberapa waktu kemarin Fa dan Sol tak muncul, hingga terjadi peristiwa ketapel itu.
“Iya. Kejadian saat kemarin, aku akan menyelinap menuju tempat penting kita. Bunda memanggil, memintaku mengambil kolak singkong di rumah Sol, Bunda Sol telah memasaknya untuk kami sekeluarga. Suara Fa terdengar jujur buat Din. “Iya. Maafkan kami. Aku membantu Bunda memasak kolak itu.” Suara Sol lugu, keduanya menunduk.
Din menghampiri, memberi salam adu jempol tanda perdamaian, melenyaplah segala hal penasaran di benak Din. “Maafkan aku juga ya. Aku sempat geram dengan kalian” Suara Din pada dua sahabatnya itu. Din menjelaskan rencana lanjutan, Ketiganya, cekikikan, sambil merinci pelaksanaan rencana Din tersebut.
Karena peristiwa ketapel itu terjadi hari Minggu lalu. Din memutuskan hari Minggu berikutnya mereka harus bergerak ke lokasi, setelah waktu subuh mereka harus berada di sekitar lokasi tempat aktivitas penting mereka. Ketiganya sepakat. Apapun terjadi terjadilah. Mereka bertiga bertekad bulat.
Tiba terasa cepat waktu dinanti Din, Fa dan Sol (Din Cs), segera mengendap-ngendap menuju lokasi penting itu. Ayah Din Cs dan Pemangku Desa, telah memantau, mendukung kegiatan Din Cs secara diam-diam. Empat sosok mengendap-ngendap di belakang Din Cs, tetap berjarak, menguntit Din Cs. Tampaknya Din Cs, telah tiba di lokasi tujuan.
Ayah Din dan ketiga rekannya memecah arah mengelilingi Din Cs, mengintip, apa sih rahasia mereka bertiga hingga nekad akan menangkap dua orang pengejar Din.
Din Cs, masing-masing membawa ketapel besar, kali ini tak main-main, mereka akan menghajar dua begundal itu dengan tanah lempung telah dikeringkan dan dikeraskan. Kepala bisa bocor jika kena lemparan tanah lempung dari ketapel Din Cs. Bahaya, bisa menimbulkan risiko lebih besar, itu kekhawaitran Ayah mereka.
Suasana hening menambah ketegangan, mentari pagi menembus pepohonan hutan lindung itu, di bawahnya terlihat hamparan multi warna dari sawah dan ladang penduduk Desa sekitar. Kini keberadaan mereka membelakangi Desa. Mentari muncul dari Timur di belakang mereka, otomatis Din Cs dapat dengan jelas melihat, jika dua begundal itu muncul dari arah Barat.
Kejadiannya tak seperti Din Cs, harapkan. Hingga lewat tengah hari tak jua muncul dua begundal itu. Din mulai resah, Fa dan Sol menenangkan Din. “Bersabarlah. Kalau memang mereka pelaku asli pasti akan datang lagi. Seperti tikus terperangkap, ada makan enak sebagai jebakan, tetap menerobos perangkap.” Suara Fa menengahi situasi. Sol menyimak, tetap waspada mengawasi setiap sudut hutan lindung itu.
Betapa terkejutnya mereka bertiga. Tiba-tiba Ayah mereka muncul di tengah lokasi penting itu, dengan membawa dua orang sudah terikat.
Din cs serentak melompat keluar dari persembunyian. “Apakah mereka pelaku pencuri benih tanaman bambu hijau dan kuning milik kalian, untuk reboisasi sepanjang sungai kita kan?” Suara Ayah Din bangga dan mengejutkan. Din Cs hanya bisa tersenyum girang tersipu malu. “Iya.” Jawab Din Cs, serentak.
Dengan segala bukti dan fakta-fakta Din Cs, rombongan Ayah mereka dan seluruh penduduk Desa sekitar hutan lindung menyerahkan dua pencuri itu pada Polisi Hutan, setelah dijelaskan duduk perkaranya.
(ded/ded)