Jakarta, CNN Indonesia -- Mendengar judul di atas pasti masyarakat langsung menjawab: “Untuk ditonton!”, “Untuk hiburan!”, “Untuk nonton berita!”, dan macam-macam jawaban yang bisa didapat. Tapi apakah masyarakat sadar bahwa tayangan televisi fungsinya tidak sekadar untuk hiburan, berita, sinetron, acara dangdut, dan acara reality show?
Jika kita berpikir sedikit lebih kritis lagi, fungsi TV bukan saja sebagai sarana pendidikan, hiburan, dan informasi. Ternyata TV punya fungsi lain bagi para pemilik stasiun televisi tersebut yaitu merupakan alat penggiringan opini publik maupun media propaganda yang paling efektif bin efisien.
Hal ini dikarenakan TV sudah sangat melekat di semua kalangan masyarakat jauh sebelum era smartphone dan Youtube muncul. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya cenderung menelan mentah-mentah informasi tanpa harus berpikir lebih dalam akan sangat mudah menerima apa yang ditayangkan di televisi, apalagi jika yang menayangkannya adalah stasiun televisi yang sudah memiliki nama dan reputasi besar di kalangan masyarakat.
Contoh yang masih hangat di pikiran masyarakat adalah isu kenaikan rokok menjadi Rp50.000 per bungkus. Dengan gencar semua siaran televisi memberitakan isu tersebut secara bergantian selama kurang lebih satu bulan lamanya.
Para perokok aktif maupun pasif silih berganti memberi opini terhadap isu tersebut, tak lupa juga opini dari tokoh-tokoh nasional mengenai isu kenaikan harga rokok tersebut sehingga dengan tidak sadar masyarakat menjadi yakin bahwa harga rokok akan naik sebentar lagi.
Tapi apakah hal itu terjadi? Sampai sekarang isu itu belum terbukti dan malah sekarang sudah semakin pudar. Kini media sudah berganti menjadi sering memberitakan tentang para ‘guru spiritual’ seperti Aa’ Gatot dengan padepokan seksnya, Dimas Kanjeng Taat Pribadi dengan ‘kemampuan’ penggandaan uangnya dan tak lupa pula ‘drama’ perseteruan salah satu motivator terkenal dengan seseorang yang mengaku anaknya.
Berita-berita tersebut senantiasa menghiasi layar kaca dari pagi sampai tengah malam. Nah yang jadi pertanyaan ke mana berita-berita yang menyangkut kepentingan publik seperti perpanjangan kontrak Freeport, Tax Amnesty yang katanya mendapatkan pendapatan tertinggi di dunia, maupun berita yang sempat mengguncang dunia yaitu Panama papers? Kemana perginya berita-berita tersebut?
Jika disebut berita tersebut dikatakan hilang, maka jawaban tersebut kurang benar. Karena sebenarnya berita tersebut ada, tapi tidak disukai masyarakat umum dan juga tidak ditayangkan secara masif seperti berita-berita kontroversial yang menghiasi layar televisi siang dan malam.
Masih baru juga dalam memori kita semua tentang kasus pembunuhan yang paling menghebohkan tahun ini yaitu pembunuhan menggunakan kopi yang mengandung sianida. Persidangan yang mendatangkan banyak saksi ini berhasil menyita masyarakat dari kalangan muda hingga tua.
Bahkan salah satu stasiun televisi swasta selalu menayangkan sidang ini secara penuh dari awal hingga selesai. Masyarakat awam yang awalnya kurang paham tentang proses peradilan mungkin sekarang sudah lebih paham daripada mahasiswa fakultas hukum yang sudah mengambil mata kuliah hukum Acara Pidana.
Berita-berita semacam inilah yang sangat disukai masyarakat Indonesia, dikemas dengan rapi dan tak lupa diberi bumbu penyedap berupa kontroversial dan drama percintaan yang berliku-liku.
Apalagi kalau sudah muncul meme mengenai berita tersebut, semakin menjadi-jadilah media memberitakannya dan hal itu berdampak ke berita yang seharusnya menjadi perhatian nasional tapi malah semakin tenggelam karena rating sudah memihak pada berita lain yang lebih menguntungkan pihak stasiun televisi.
Lain halnya ketika sudah masuk tahun pesta demokrasi, berita-berita kontroversial yang penuh drama tadi seketika berubah menjadi berita-berita terkait kepentingan partai politik pemilik stasiun televisit tersebut.
Karena memang kenyataannya sekarang para pemilik stasiun televisi swasta yang hanya terdiri dari segelintir orang itu sudah mulai terjun ke dunia politik dan pemerintahan bahkan beberapa sudah mendirikan partai sendiri.
Sikap kritis hendaknya selalu ditonjolkan apalagi jika sudah masuk masa kampanye baik itu pada kampanye pemilihan presiden maupun kepala daerah. Televisi pun dieskploitasi sebesar-besarnya oleh para politisi untuk kepentingan partai atau golongannya.
Dengan pencitraan yang dilakukan secara intens dan sistematis, lama kelamaan dapat mengubah mindset masyarakat terhadap terhadap suatu partai atau golongan tersebut yang tujuan utamanya jelas untuk mendulang suara di pemilu nanti.
Persaingan secara tidak sehat dihalalkan demi kepentingan pribadi maupun golongan. Pihak atau maupun golongan yang memilii tujuan atau ideologi yang sama maka akan diberitakan hal-hal baik mengenainya atau tenar disebut pencitraan. Syukur-syukur jika yang diberitakan itu adalah hal yang benar adanya, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa rekayasa berita atau hoax untuk kepentingan politik sudah sangat umum terjadi di masa sekarang baik itu di media cetak maupun media massa seperti televisi.
Bagaimana bisa hal ini terus terjadi dan cenderung dibiarkan begitu saja padahal Indonesia memiliki lembaga independen yang bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas untuk mengawasinya?
Padahal dalam regulasi yang mengatur tentang pertelevisian tercantum jelas dalam Pasal 34 ayat 4 UU 32/2002 tentang penyiaran yang menyebut, “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.”
Sejalan dengan pasal tersebut, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS), pada Pasal 11 ayat 2, menyatakan dengan jelas bahwa, “Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.”
Dengan peraturan yang sudah sangat jelas tersebut, KPI seolah-olah takut untuk menegur stasiun televisi menunjukkan sikap keberpihakan pada suatu partai atau golongan yang umumnya terjadi jika sudah masuk masa-masa kampanye. KPI dianggap kehilangan keberaniannya dan hanya berani menegur acara televisi yang dianggap tidak mendidik ataupun mengandung konten porno, itu pun dengan memberikan sanksi yang aslinya hanya omong kosong belaka dan tidak menimbulkan efek jera sama sekali.
Tapi lain halnya ketika ada laporan mengenai konten iklan politik yang tidak netral, KPI hanya bisa diam seolah-olah di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut. KPI juga menurut salah satu Pusat Studi Media dan Komunikasi yaitu Remotivi, tidak pernah terdengar memberikan sanksi kepada partai politik yang beriklan hampir tiap jam pada stasiun televisi miliknya.
Ini disebabkan karena para segelintir konglomerat pemilik stasiun televisi dengan cerdik berhasil mengakali gagapnya regulasi tentang penyiaran di Indonesia apalagi ditambah dengan sokongan dana yang sangat besar dan bekingan yang kuat dari pemerintah sehingga menyebabkan gagalnya mewujudkan pemberitaan yang netral dan berpihak pada kepentingan publik.
Hal ini masih marak terjadi juga karena masih lemahnya kewenangan KPI yang dalam tugasnya hanya bisa menjatuhkan sanksi administratif saja sehingga amanat dari UU tentang penyiaran menjadi tak bisa dijalankan dengan semestinya. Maka dari itu rencana revisi UU penyiaran terus digalakkan dari tahun 2014 yang salah satu tujuannya adalah penguatan peran KPI dalam hal pengawasan dan pengaturan jalannya penyiaran pertelevisian di Indonesia. Tapi sayangnya sampai sekarang hal itu masih dalam bentuk sebuah draft revisi yang tidak tahu kapan akan disahkan menjadi undang-undang.
Namun hal negatif ditemukan dalam draft revisi UU penyiaran tersebut. Seperti yang dikutip dari hukumonline.com, draft revisi UU penyiaran ternyata sangat berpihak kepada pemodal daripada kepentingan publik.
Direktur eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin mencatat setidaknya ada lima kesalahan fatal dalam draft UU penyiaran versi DPR. Pertama, hilangnya pasal pembatasan atas kepemilikan perusahaan media. Kedua, karya jurnalistik akan menjadi target sensor.
Ketiga, meningkatnya alokasi waktu iklan komersial dan menurunnya alokasi waktu untuk iklan layanan masyarakat. Keempat, Dewan Pers tidak diikutsertakan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik. Kelima, hilangnya pasal tentang pemidanaan.
Sementara itu dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Ade Armando menyatakan jika ada perubahan UU Penyiaran, isinya seharusnya dirancang untuk menyempurnakan amanat demokratisasi yang sudah ada dalam UU Penyiaran yang lama sehingga menjadi lebih definitif dan tegas bukan untuk semakin memanjakan para pemilik modal. Pada akhirnya muncul rasa serba salah dalam perencanaan revisi UU penyiaran ini, jika tidak disahkan maka KPI seperti tidak memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya. Tapi di lain hal, jika disahkan maka akan semakin berpihak dan memanjakan para konglomerat pemilik stasiun televisi.
Jadi seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sikap kritis itu mutlak dibutuhkan dalam mencerna dan menerima suatu informasi dari media massa terutama televisi. Kecenderungan keberpihakan media terutama media televisi dan internet dalam rangka menjalankan misi untuk menggiring opini publik sudah mulai terlihat pada dalam persiapan pagelaran pemilihan gubernur DKI Jakarta yang akan diselenggarakan Febuari 2017 nanti.
Fungsi media yang semestinya seimbang dan netral dalam menyampaikan berita harus dinodai oleh kepentingan politik dan ideologi para pemilik media dan kroni-kroninya. Maka dari itu sebagai masyarakat yang cerdas, bersikap netral dan tidak memojokkan suatu pihak merupakan sikap yang dibutuhkan ketika kita menerima informasi dari manapun.
Jangan mudah terprovokasi oleh berita di televisi apalagi berita tersebut terlihat secara eksplisit maupun implisit memojokkan suatu pihak. Jangan langsung percaya saat menerima berita tanpa sumber yang jelas karena hoax atau berita palsu sudah awam terjadi apalagi menjelang pemilu.
Carilah berita dari sumber yang berbeda lalu bandingkan dan kaji dengan matang sebelum berkomentar dan menyebarkan berita tersebut kepada orang lain, dan yang paling penting adalah kita harus tahu siapa pemilik media tersebut, apakah dia punya kepentingan dalam hal politik maupun pemerintahan, apakah dia menganut ideologi tertentu, dan apakah di stasiun televisi miliknya sering melakukan pencitraan untuk kepentingan golongannya dan di waktu yang sama menyudutkan pihak lain.
Dalam menerapkan hal-hal sederhana ini kita bisa menjadi lebih waspada dalam menampung informasi yang pada zaman sekarang sudah hampir susah dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Ditambah dengan minimnya peran lembaga KPI dalam hal pengawasan dan penegakan aturan maka sikap-sikap tersebut mutlak kita miliki dan jalankan dalam kehidupan sehari-hari.
(ded/ded)