Rekonstruki Realitas dalam Truman Show

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 18 Okt 2016 11:16 WIB
Seringkali manusia memercayai bahwa sesuatu merupakan kebenaran karena orang-orang di sekitarnya menekankan bahwa itu adalah kebenaran.
Ilustrasi (Foto: jill111/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- The Truman Show merupakan film yang mencerikatan tentang bagaimana seorang lelaki, Truman Burbank (Jim Carrey), yang sebenarnya lahir, dan tumbuh dalam pertunjukan televisi. Pada akhir filmnya, Truman berusaha untuk mengetahui batas “panggung” pertunjukannnya, dan keluar dari pertunjukan televisi tersebut. Pengambilan sudut pandang kamera dalam film ini juga menggunakan sudut pandang kamera tersembunyi. Sepanjang film juga ditayangkan iklan (beer, coklat) untuk memperjelas posisinya sebagai pertunjukan televisi komersial.

The Truman Show secara tersirat juga menggambarkan bagaimana realitas yang ada di sekeliling kita, sejak kita lahir hingga tumbuh dewasa, merupakan hasil konstruksi yang dibuat oleh orang-orang di sekitar kita. Kita memercayai sesuatu ketika banyak orang yang juga percaya akan hal itu. Seperti yang dikatakan Christof, “We accept the reality of the world with whick we’re presented. It’s as simple as that.

Ketika kita lahir ke dunia ini, orang-orang di sekeliling kita menyebut kita dengan sebuah nama. Hal ini berlangsung secara terus-menerus hingga kita memercayai bahwa kita memiliki nama, dan apa itu nama kita, tanpa memikirkan apa guna nama itu bagi kita, serta mengapa harus nama tertentu yang diberikan kepada kita.

Kita juga diajarkan apa itu meja, kursi, mana yang hitam dan putih. Sejak kecil kita banyak diberitahu soal kebenaran dan realiatas oleh orang-orang di sekitar kita, orang tua, guru, teman, tetangga, dan sebagainya. Informasi-informasi ini membentuk perspektif kita dalam memandang realita. Namun, di sisi lain pertanyaan-pertanyaan mengenainya terus muncul dan memaksa kita untuk mengesampingkan perspektif subjektif, dan mencari jawabannya secara objektif.

Ketika kita melihat sebuah meja berwarna merah, apakah benar-benar berwarna merah meja itu? Ketika Truman melihat ayahnya di tengah kerumunan orang, apakah itu benar-benar ayahnya? Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menganggap banyak hal sebagai sesuatu yang pasti, padahal setelah diperiksa dengan cermat ternyata penuh kontradiksi dan hanya dengan pemikiran yang suntuk kita mampu mengetahui apakah hal itu sesungguhnya sehingga kita benar-benar mempercayainya.

Seorang filsuf, Berkeley, justru percaya bahwa tidak ada segala sesuatu yang nyata atau riil, kecuali ide, pikiran, dan perasaan. Segala sesuatu hanyalah ide-ide dalam pikiran Tuhan. Pandangan rasionalismenya kurang cocok pada The Truman Show. Di sini, justru terdapat eksistensi, bukan hanya sekedar ide-ide. Namun, gambaran mengenai eksistensi itu bergantung pada bagaimana perspektif seseorang dibentuk dalam perjalanan hidupnya.

Contoh lain penerapan dari kasus The Truman Show ialah ada sebuah bangku di taman. Sejak kecil, saya tahu perbedaan warna karena telah diajarkan oleh orang-orang di sekitar saya. Ketika pagi hari, saya melihat bangku itu berwarna putih, ketika mangrib, bangkunya sedikit berwarna oren, dan ketika malam, bangkunya menjadi gelap.

Akhirnya saya menjadi bingung, apa warna dari bangku itu? Kemampuan penglihatan kita terbatas. Bangku itu sendiri jelas eksistensinya, tapi saya sulit untuk mengetahuinya secara utuh. Jadi, selama ini bukan warna putih yang saya lihat, tapi saya melihatnya sebagai warna putih. Sehingga, penglihatan kita menjadi sesuatu yang dapat diragukan.

Dalam film Now You See Me, salah satu aktornya seringkali mengungkapkan, “The more you think you know, the easier it’ll be to fool you”. Ia mengatakan hal itu karena ia merupakan pesulap. Ketika kita melihat sebuah pertunjukan sulap, seringkali perspektif kita dimainkan. Semakin kita percaya akan perspektif kita mengenai bagaimana sulap itu berjalan, justru semakin mudah kita untuk dikelabui. Semakin percaya Truman akan kehidupan yang ada di sekelilingnya, semakin terperangkap dalam “panggung drama” yang disiapkan untuknya.

Film ini, dari sisi lain juga mendukung pandangan kaum rasionalisme yang disimbolkan dalam peran Truman yang tidak pernah benar-benar mengetahui realitas yang ada. Menurut Plato, segala sesuatu yang kita lihat merupakan cerminan dari ide atau gagasan kita mengenai subtansi tersebut. Dunia yang ada di The Truman Show hanya tiruan dari dunia nyata yang tidak pernah mendekati realita.

Konsep mengenai rasionalisme sebenarnya kini didukung oleh beberapa konsep fisika, yakni tentang gelombang, dan kuantum fisika. Sejak Sekolah Dasar (SD), kita diajarkan bahwa apa yang dilihat mata kita ialah pantulan gelombang cahaya yang ditangkap. Itu pula yang membuat kita melihat sesuatu cerah di satu waktu, dan gelap di waktu lain. Penglihatan kita juga terbatas antara 360 nm hingga 760 nm, sehingga, segala sesuatu yang kita lihat di dunia ini merupakan batas panjang gelombang itu (hitam, putih, merah-ungu).

Kita melihat realitas seolah mengintip istana melalui lubang. Sehingga, kita tidak pernah mengetahui realita secara utuh, yang kita ketahui hanyalah yang kita lihat lewat lubang itu. Truman pun tidak pernah mengetahui bumi secara menyeluruh, yang ia ketahui hanyalah panggung drama yang dibuatkan untuknya.

Dalam pandangan empirisme dan eksistensialisme, Truman tidak mengetahui dan mengenal dunia di luar dari “panggung”-nya karena ia belum pernah melihat, atau mendengar tentangnya. Segala sesuatu yang tidak pernah diketahuinya menjadi tidak eksis dalam kehidupannya. Selama Truman berada dalam “panggung” tersebut, dunia yang eksis hanyalah dunia yang ia alami dan lihat sepanjang hidupnya, atau dengan kata lain dunia yang dikonstruksi oleh orang-orang di sekitarnya. Melalui pengalamannya, Truman sadar akan adanya hal-hal yang janggal. Pengalaman-pengalamannya itu ia pikirkan, hingga ia berusaha untuk keluar dari tempat itu.

Keraguan Truman membuatnya berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang nyata, dan mana yang tidak. Dalam salah satu adegan, sahabat Truman mengatakan, “We were right together, and we were wrong together”. Menurut Bertrand Russel dalam bukunya The Problems of Philosophy, sesungguhnya, kebenaran atau kesesatan merupakan sifat dari keyakinan dan pernyataan-pernyataan. Seringkali manusia memercayai bahwa sesuatu merupakan kebenaran karena orang-orang di sekitarnya menekankan bahwa itu adalah kebenaran.

Manusia juga seringkali merasa menemukan kebenaran dengan membuat kesimpulan atas bukti-bukti kecil yang ditemukannya, lalu ia susun menjadi suatu kasus besar. Seperti Sherlock Holmes dalam cerita-ceritanya, ia mencari bukti-bukti kecil, lalu ia pecahkan bukti-butkti itu melalui semiotika, ia kaitkan bukti yang dimilikinya dengan realita, lalu ia jadikan hal-hal kecil yang tidak utuh manjadi jawaban atas kasus-kasus yang ada. Truman pada awalnya menjalani hidupnya dengan biasa saja, hingga ia menemukan kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan kecil ini ia teliti, dan jawaban secara utuh, bahwa orang-orang di sekitarnya memerlakukannya secara palsu. Ketika ia menemukan jawaban atas bukti-bukti kecil yang dimilikinya, barulah ia mencoba untuk keluar dari situ. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER