Guru di Pelosok: 'Hutang' Anak Tinggal Kelas

Agnes Winastiti | CNN Indonesia
Rabu, 19 Okt 2016 11:09 WIB
Jadi guru di pelosok ternyata harus berani, termasuk dalam hal memutuskan anak tak naik kelas. Tapi guru harus membayar 'hutangnya' pada si murid.
Kegiatan Indonesia Mengajar di pelosok nusantara. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rahmat Danu Andika, Pria kelahiran Bandung ini punya nama kecil Dika. Ia lulus dari jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung pada tahun 2010. Dika dikenal baik di kalangan civitas akademika ITB karena kesibukannya sebagai aktivis mahasiswa. Ia beberapa kali diundang sebagai pembicara di berbagai acara internal kampus, terutama pada acara acara yang berkaitan dengan kaderisasi anggota baru sebuah organisasi.

Selama masa studinya, Dika banyak menghabiskan waktunya bergelut di Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan. Keuletannya menekuni kegiatan ini berbuah manis ketika Dika bersama Kongres Keluarga Mahasiswa ITB berhasil merampungkan grand design kaderisasi kampus ITB.

Dika beberapa kali berpindah tempat tinggal. Karena beberapa kali berpindah pindah, Dika mengaku memperoleh manfaat, yaitu kemudahan berkomunikasi dan beradaptasi dengan orang dan lingkungan baru.

Itu juga yang membuatnya tak terlalu kesulitan saat menjadi pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar di SD Pelita di pelosok Halmahera Selatan. “Saat itu guru yang ada cuma 5 orang, termasuk saya,” tuturnya kepada CNN Student, beberapa waktu lalu.

“Proses belajar mengajar di desa pelita yaitu “semiformal” karena tidak ada pengawasan akibat kekacauan yang terjadi pada level Dinas Pendidikan.,” ujar Dika lagi.

Semua dianggap berjalan baik-baik saja karena tidak pernah ada yang protes tentang pendidikan di Sekolah Pelita. Guru-guru kekurangan sumber mengajar dan juga kompetensi.

Tatap muka dengan siswa tidak intensif karena jumlah guru kurang. Dika beruntung sang Kepala Sekolah punya semangat perubahan dan kebetulan merupakan salah satu tokoh desa Pelita. Sulit rasanya membayangkan perubahan besar akan terjadi dalam waktu satu-dua bulan, tapi Dika yakin konsistensi akan membuahkan hasil yang lebih permanen.

Syukurlah, ternyata apa yang dika harapkan mulai terlihat hasilnya di akhir semester genap ini. Pada rapat kenaikan kelas yang harusnya hanya membahas kenaikan anak, rapat juga akhirnya membahas hal-hal substansial pendidikan di Pelita.

Banyak hal yang diutarakan Dika meski itu bertentangan dengan apa yang selama ini dilakukan di Pelita. Dika merasa momentumnya sangat pas.

“Gayung bersambut, momennya benar-benar pas ternyata. Seorang guru PNS yang baru ditugaskan di Pelita ikut menimpali dan mengutarakan keinginan-keinginannya tentang perubahan,” tambah Dika.

Kepala Sekolah tegas mengatakan ingin perubahan di sekolahnya dalam hal kualitas. Sebuah poin spesifik tentang makna “membantu anak” cukup jadi perbincangan panjang.

Pragmatisme membuat guru-guru Pelita kadang sulit mengerti. Anak-anak yang dibantu naik kelas terus membuat akhirnya ada kelas 5 atau 6 yang belum lancar membaca.

Akhirnya UN pun dibantu, begitu terus sampai akhirnya guru menimbun akumulasi ‘dosa’, karena telah mengurung potensi anak untuk berkembang. Wajar kalau keadaan seperti di Sekolah Pelita. Semuanya punya hubungan keluarga, pengawasan kurang, dan yang paling gawat adalah pemikiran bahwa selama ini juga aman-aman saja.

Dika mengatakan, Salah satu faktor yang biasanya membuat sekolah-sekolah di desa takut memutuskan siswanya tinggal kelas adalah tekanan masyarakat. Tapi syukurlah, di rapat siang itu Kepala Sekolah mengarahkan satu hal: mulai sekarang, guru kelas punya wewenang penuh untuk menilai anak dan menentukan kenaikannya.

Tidak ada yang boleh intervensi bahkan jika itu anaknya kepala desa atau pak Imam sekalipun. “Kepala sekolah juga bilang bahwa kita akan bilang kepada orang Pelita, SDN Ambatu/Pelita mulai sekarang akan berbeda dari sebelumnya. Masyarakat harus paham posisinya dalam pendidikan, dan itu akan terwujud kalau kita bisa tegas. One very good point, Kepala Sekolah berani pasang badan badan menghadapai tekanan orangtua murid,” ujar Dika.

Dika sebagai wali kelas 5 tidak menaikkan 4 orang siswa dari 24 siswa kelas 5. Sebanyak 3 orang di antara mereka karena belum lancar membaca dan menulis. Sementara seorang lagi adalah Ismail.

"Bakat anak ini luar biasa, tapi dia hampir 3 bulan tidak masuk sekolah dan kemampuan baca tulisnya kurang lancar karena faktor gangguan matanya," tambah Dika.

Dika pikir, selain karena nilai, akan sangat sayang jika Ismail dipaksakan naik ke kelas 6. Dika takut bisa-bisa bakatnya justru akan terus-terusan tersimpan karena dia terpaksa harus menerima pelajaran kelas 6 dan setengah mati mengikuti standarnya.

Anak-anak yang tidak naik adalah ‘hutang’ Dika, sang wali kelas. Siswa tidak naik itu artinya wali kelas masih gagal membuat mereka memenuhi standar. Oleh karena itu harusnya anak-anak yang belum bisa naik dipertanggungjawabkan oleh wali kelas dengan mempersiapkan mereka lebih baik supaya bisa naik kelas di tahun berikutnya.

“Dengan penjelasan seperti itu dan kedekatan Dika dengan semua orang tua kelas 5, saya yakin bahwa saya akan bisa membuat orang tua mengerti kenapa anaknya belum bisa naik kelas. Dan mudah-mudahan justru akan membuat mereka lebih memperhatikan lagi pendidikan anak mereka,” tambah Dika.

Selain itu, Dika juga membangun perpustakaan desa. Kepala desa mengizinkan Dika menggunakan ruang bekas kantor Dharma Wanita untuk dijadikan perpustakaan. Peminatnya mulai dari anak-anak SD sampai bapak-bapak ibu-ibu sering duduk membaca di perpustakaan.

Nantinya, perpustakaan akan dikelola oleh OSIS SMP dan diawasi oleh Dewan Guru SMP. Sejak awal, Dika memang sudah melibatkan anak-anak SMP dalam membangun dan mengisi perpustakaan. Mereka yang mendata buku-buku bantuan dan menyusun letaknya. Dika ingin perpustakaan ini menjadi agenda turun temurun OSIS SMP di bawah pengawasan sekolah dan desa. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER