Jakarta, CNN Indonesia -- Suatu hari di masa lalu, saya benci sekali terhadap perempuan yang hamil di luar nikah. Saya juga setuju dengan pendapat banyak orang tentang perempuan yang hamil di luar nikah adalah perempuan yang sudah tidak suci lagi, tidak memiliki nilai, tidak bermartabat, dan memiliki masa depan hancur.
Saya bahkan dengan mudahnya menyetujui keputusan sekolah untuk mengeluarkan siswa perempuan yang hamil di luar nikah. Padahal, mengeluarkan siswa dari sekolah otomatis meningkatkan angka putus sekolah.
Selain itu, mengeluarkan siswa perempuan yang hamil di luar nikah atau dapat kita sebut sebagai calon ibu tentu akan menurunkan kualitas pendidikan yang sang ibu miliki. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib anak bangsa jika dididik dan diurus oleh ibu yang pendidikannya terputus, yang mungkin hanya lulusan SMP dan dipaksa tidak lagi bersekolah, hanya karena ia melanggar etika dan norma yang terbentuk di masyarakat Indonesia.
Logikanya, jika kita sama-sama berpikir panjang tentang nasib masa depan bangsa kita, maka kita akan berusaha agar sang ibu terdidik dulu. Dengan cara apa? Tentu dengan cara memberinya kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah.
Selain itu, jika memang kehamilannya sudah besar dan dia berhak cuti, maka sekolah juga seharusnya memberinya kesempatan cuti demi menjaga kesehatan sang calon ibu. Setelah itu, berikan ia kesempatan untuk kembali bersekolah seperti biasanya.
Sayangnya, di Indonesia, ungkapan bahwa hamil di luar nikah sama dengan menghancurkan masa depan masih menjamur. Banyak orang mempercayainya hanya karena menilai dari sisi etika dan norma yang berlaku di Indonesia.
Saya tahu betul, hamil di luar nikah itu adalah dosa bagi beberapa agama dan kepercayaan yang dianut di Indonesia. Hamil di luar nikah juga secara tidak langsung memperlihatkan bahwa sang pelaku tidak beretika. Namun, apakah orang-orang yang tak beretika tadi atau yang berdosa tadi itu tidak pantas mendapat haknya sebagai warga negara Indonesia?
Pertanyaan yang sama dapat juga diberikan untuk kasus lain yang serupa tapi tak sama. Kalau tadi adalah perihal siswa perempuan hamil di luar nikah sehingga melanggar etika dan norma, kini adalah perihal siswa mau perempuan atau laki-laki yang dikeluarkan sekolah karena melakukan tindak kriminalitas alias tindakan yang melanggar hukum.
Beragam contoh kasus bisa kita temukan di Indonesia. Misalnya kasus siswa yang menjual obat-obatan terlarang, siswa pecandu narkoba, siswa yang melakukan tindak pembunuhan, siswa yang melakukan pelecehan, siswa tawuran alias melakukan tindak penganiayaan.
Semua siswa tersebut dengan mudahnya dikeluarkan dari sekolah atas dasar tindakannya yang dosa, tidak beretika, sekaligus melanggar hukum. Lalu, mereka dimasukkan penjara di bawah umur atau dimasukkan ke panti rehabilitasi. Setelah keluar, perilaku jahat mereka masih menempel di seluruh tubuh mereka sehingga mereka ditolak di setiap sekolah pun di lingkungan masyarakat mereka.
Atas dasar apa? Atas dasar mereka berdosa, tidak beretika, dan melanggar hukum.
Dasar-dasar tersebut sebenarnya bisa dikatakan hanya alasan sepihak. Tidak ada aturan Undang-Undang yang mengatakan bahwa anak-anak yang telah berdosa, tidak beretika, dan melanggar hukum tidak boleh sekolah. Pelabelan ‘jahat’ yang mereka terima seakan-akan menjadi satu-satunya penghalang mereka untuk sekolah.
Undang-Undang justru mengatakan bahwa setiap masyarakat Indonesia dari ras manapun, latar belakang apapun, yang baik atau jahat, yang hamil atau tidak, yang miskin atau kaya, berhak memperoleh pendidikan. Hal tersebut tertulis dalam pasal 28C ayat 1 dengan bunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
UU memang tidak menyebutkan sedetil yang saya katakan, namun tertulis jelas pada ayat tersebut, “setiap orang” tanpa pengecualian apapun.
Bagi sekolah atau tempat kerja atau sebagian orang, orang yang jahat atau yang berperilaku jahat itu akan selamanya berperilaku jahat. Saya ingat salah satu peribahasa Indonesia yang berbunyi, “Jatuh nila setitik, rusak susu sebelanga.” Sekali seseorang melakukan kesalahan, maka perilaku baiknya dan kesempatannya untuk berperilaku baik tidak akan terlihat lagi.
Mereka akan dilabeli jahat sepanjang hidupnya. Sama seperti sebuah susu yang sudah terkena nila, susu itu sudah rusak dan tidak akan bisa diminum lagi oleh siapapun. Apakah peribahasa itu yang masih kita pegang hingga saat ini? Bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan tidak akan bisa jadi baik lagi? Apakah kertas yang sudah penuh dengan coretan hitam tidak akan bisa putih kembali?
Jika kita ingat tentang teori air keruh yang bisa murni kembali karena disirami air murni dengan banyak, maka kita akan sadar bahwa nila setitik tidak pernah merusak susu sebelanga.
Saya ingat betul sebuah video pada akun facebook HistoryNow. Video berdurasi 2.29 menit itu menceritakan tentang seorang koki bernama Chad Houser yang mengajari bekas napi anak muda untuk memasak. Koki Chad mengajari mereka untuk memasak sekaligus memperkerjakan mereka di Restoran Cafe Momentum.
Dari video itu, saya menyadari bahwa setiap orang masih memiliki hak mereka sebagai masyarakat walau sudah melakukan kejahatan. Bahwa mereka masih berkesempatan untuk memperbaiki hidup mereka dan masih berkesempatan untuk mendapatkan pengetahuan.
Kemudian, saya pun sadar bahwa siswa perempuan yang hamil di luar nikah dan siswa yang sudah melakukan tindak kriminal tidak pernah kehilangan kesempatan mereka. Mereka masih berhak untuk memeroleh pendidikan dan memeroleh jaminan atas kesehatan mereka.
Perilaku mereka yang melanggar hukum dan tidak beretika memang tidak bisa ditolerir. Mereka tentu perlu diberi hukuman atas perilaku yang telah mereka lakukan, namun mereka tidak pernah-sedikitpun-kehilangan hak mereka untuk berpendidikan dan kita sebagai manusia yang tak pernah luput dari kesalahan tidak pernah berhak menghakimi dan mencabut semua hak-hak mereka dengan semena-mena tanpa memikirkan jangka panjang kehidupan mereka.
Kita di sini sedih dengan angka putus sekolah yang masih besar di Indonesia. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014/2015, angka putus sekolah di Indonesia terutama SMA mencapai 0,96 atau bisa diartikan dari jumlah total 4.232.572 terdapat 40.454 siswa yang putus sekolah. Angka tersebut tentu tidak main-main. Walau memang, ada banyak faktor siswa putus sekolah.
Pemerintah berusaha dengan mengeluarkan berbagai program seperti wajib belajar 9 tahun, wajib belajar 12 tahun, hingga Kartu Indonesia Pintar. Mahasiswa peduli pendidikan berusaha dengan membuat berbagai komunitas peduli pendidikan, mulai dari komunitas mengajar di daerah tertentu, komunitas yang memberikan bantuan sosial untuk menunjang pendidikan, hingga komunitas yang konsepnya memberikan motivasi untuk terus melanjutkan sekolah. Para orangtua berusaha dengan bekerja dengan keras agar memiliki dana untuk pendidikan anak-anaknya.
Kita sama-sama tahu urgensi pendidikan bagi umat manusia. Bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk meningkatkan kualitas hidup. Tapi, kita menutup diri untuk membantu anak-anak yang telah melakukan kesalahan mencapai cita-cita mereka. Kita sibuk mengatakan bahwa sekali berbuat kesalahan, masa depan jadi korbannya.
Kita dengan mudahnya mengambil hak orang lain untuk memeroleh pendidikan yang sama. Padahal, sungguh kita masih punya banyak air jernih untuk menyiram kekeruhan air yang mereka punya.
(ded/ded)