Jakarta, CNN Indonesia -- Bunga-bunga tak lagi bertaburan di atas panggung itu. Diva telah melebur diri menjadi syair nyanyian ungu pekat. Siapa tersakiti ketika kau sendiri membenturkan diri pada nasib pilihanmu.
Cintamu selalu dinanti, namun tampaknya kau memilih pedoman salah arah atau memang dengan kesadaran sebuah amarah. Pada siapa kau tujukan, pada dirimu atau pada entah, tak pernah kau pahami.
Atau memang kau tak ingin kembali pada musim indah ketika itu, saat Bunda melahirkan kamu dari rahimnya. Siapa amarah sesungguhnya?
Dirimu atau nasib menangkap lalai pada waktu, saat nalar tak lagi terbuka untuk apapun, sekalipun suara Bundamu memanggil pulang, ketika Bunda ingin kau peluk oleh cintamu, telah, menjadi milik entah siapa.
Ini bukan kisah duren menjadi kopi atau martabak telor rasa cokelat. Realitas itu telah menyeretmu dalam perangkap kesejukan palsu intimidasi tersirat, wajah kuyu tak riang, tak lagi bagai dulu.
Ketika kau senantiasa di pentas lampu-lampu kunang-kunang berkerlipan, di atas musim populer. Kini siapa membelenggu nyanyianmu, sedu-sedan tak tampak sedikitpun, terbalut senyum layu tak berombak.
Nasib, takkan pernah berpihak ketika tak dipanggil oleh siapapun. Nasib bisa kejam ketika kau memanggil dalam terawang rembulan biru angan kepalsuan membawa terbang hidupmu.
Seakan segala nasib terbebas oleh racun kaca abu-abu. Sila, memilih malam atau siang tak beda lagi kini. Kemana imaji palsu itu terbang, bisakah kau bertanya pada ruhmu, menjadi saksi segala hal tentang keputusanmu.
Bagaimana, jika sekarang Bundamu berpulang tak menjengukmu di tempat tak bernama itu, tak ada lagi memanggilmu. “...Pulanglah Anandaku...” adakah kasih sayang masih terjaga dijiwamu.
Wahai engkau, dulu, pemberi pesona realitas simfoni itu, sebuah harapan terang masih ada sebersit di notasi awan-awan, meski kau kini... Menjadi yang tersisa dari lakon hidupmu, karena kau nyanyian indah semesta, dulu.
Ini sekadar kisah kasih sayang pengingat lupa itupun jika masih berguna, di atas pentas di bawah lampu kerlip kunang-kunang.
Baiklah segala hal, jika kau kembali melihat syair-syair menumbuhkan benih di hidupmu, dulu, hijau bagai indahnya hutan-hutan, alunan suaramu bagai gemercik air terjun mengairi ngarai pesawahan, menghadirkan berjuta pesona padi di horizon negerimu, ketika kau Diva, dulu.
Namun, kini Bundamu di surga di atas segala kesempurnaanmu, tak jua pernah kau berikan hingga akhir hayatnya, Bundamu takkan pernah meminta, satu kata sekalipun darimu.
Tak guna lagi kau menjadi apapun kini. Meski kau tengah membangun kehidupan baru dalam makna hakikat benar dikebaikan, bukan Bunda tak memaafkanmu, tapi, lama kau melupakan kewajibanmu sampai saat-saat terakhir hidupnya.
Tak guna kau berjuang untuk apapun jika kau seakan tak kenal Bundamu, kau lupakan air susunya pemberi hidup bagimu Diva, toh akhirnya kau akhiri hidupmu dengan kepopuleranmu.
(ded/ded)