Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah novel karya sastra tentu memiliki ciri khas tersendiri. Novel tak ubahnya seperti permasalahan hidup yang dimulai dengan permasalahan, analisis, dan solusi pada akhirnya.
Misalnya saja dalam sebuah novel Tere Liye. Darwis Tere Liye membawakan ceritanya dengan gaya bertuturnya yang amat lembut gaya keibuan, meski ia bukanlah seorang ibu, bahkan seorang perempuan pun tidak. Pada penulis lainnya, pengarang sekaliber Ilana Tan dan Orizuka yang digandrungi remaja saat ini pun tak ubahnya membuat cerita cinta romantis dengan gaya yang kata remaja kini adalah kekinian.
Namun, ada satu hal yang tak berubah dalam sebuah karya sastra, yakni alur cerita yang seakan menindas perempuan. Disadari atau tidak, sebuah karya sastra sejak dahulu selalu mengedepankan posisi laki-laki dibandingkan perempuan.
Dimulai pada tahun 1920, karangan sastra Siti Nurbaya yang dikarang oleh Marah Rusli mengangkat kisah Siti Nurbaya sebagai seorang perempuan yang tak mampu berbuat apa-apa. Ia ditinggalkan oleh orang yang sangat disayanginya, yakni Syamsul Bahri ketika pujaan hatinya pergi meninggalkannya untuk melanjutkan sekolah calon dokter di Jawa dan berlanjut ketika ia dipaksa menikahi Datuk Maringgi demi membayar hutang keluarganya.
Pada 1922, novel Azab dan Sengsara yang memilukan pun tak ubahnya bak drama menyayat hati. Kisah cinta karya Merari Siregar ini menceritakan sepasang muda-mudi bernama Aminuddin dan Mariamin yang saling mencintai, namun tak mampu untuk bersatu karena restu orang tua yang tak didapat. Naasnya, di akhir cerita, tokoh perempuan novel ini, Mariamin justru mati muda karena merana akan kasih yang tak sampai.
Seorang perempuan digambarkan menjadi pihak yang selalu lemah, rentan, dan tak mampu berbuat apapun. Saking rentannya, perempuan mampu mati hanya karena cinta, sesuatu yang kata orang adalah sesuatu yang indah jika dirasakan, namun menjadi penyakit yang mematikan dalam sebuah karya sastra.
Memasuki 1970-an, novel Badai Pasti Berlalu karya Marga T. adalah karya yang booming saat itu. Tokoh Sisca yang patah hati menjadi poin utama dalam cerita ini. Disakiti dan tersakiti oleh cinta, itulah kisah yang Marga T. tawarkan pada pembacanya. Hal ini lagi-lagi menunjukkan kekonsistenan dalam sastra Indonesia bahwa kisah sastra selalu memperlihatkan kelemahan wanita, bahkan dalam masalah cinta.
Memasuki tahun 2000, karya sastra novel pun tak banyak berubah. Meski tak lagi menggambarkan perempuan sebagai makhluk lemah dan mulai mampu memasuki dunia kerja, tetapi penggambaran wanita yang selalu berada di bawah laki-laki dan tak mampu bertahan tanpa cinta pun masih menjadi hal yang pasti dalam sebuah karya sastra.
Sebut saja karya sastra novel metro pop yang menggambarkan gemerlapnya cerita perempuan-perempuan di kota besar. Cerita yang dibuat dikemas bagus dengan menceritakan bahwa perempuan mampu berdiri sendiri. Hal ini tentu merupakan awal yang baik untuk menggambarkan perempuan.
Namun, kepastian dalam sastra ini tak pernah berubah. Permasalahan yang dialami perempun pun tak jarang yang selalu berujung dengan cinta yang merana dan mendambakan adanya laki-laki yang mampu mencintainya.
Sekalipun sosok perempuan di zaman ini telah dipoles menjadi sosok yang giat bekerja dan mandiri, namun penggambaran sosok perempuan dalam sastra tentu memiliki sebuah kecacatan, entah ia rapuh dalam masalah cinta ataukah perihal lelaki.
Cinta tentu adalah hal yang fitrah bagi manusia, namun ketika cinta dijadikan pemanis bumbu dalam setiap karya sastra, hal ini tidak baik dan justru membosankan. Begitu pula dengan adanya budaya terus merendahkan perempuan dalam karya sastra.
Seluruh karya sastra sejak tahun 1900 selalu dimulai dengan permasalahan yang ada pada diri perempuan. Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan adalah kaum yang selalu bermasalah, sementara laki-laki tidak. Padahal yang terjadi tidak demikian. Hal ini tentu harus diubah. Setiap manusia tentu memiliki masalah, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak etis jika sebuah karya sastra hanya dibangun dari sudut pandang perempuan saja. Hal ini terus terjadi dan monoton.
Perlu adanya perubahan gaya penulisan sastra karena satu kepastian dalam sastra ini hampir mencapai umur satu abad dan tetap menggambarkan hal yang sama. Lelaki pun seorang manusia yang memiliki masalahnya masing-masing. Laki-laki tak selalu kuat seperti yang diceritakan dalam novel sastra. Maka, tak tertarikkah Anda untuk berubah haluan ?
(ded/ded)