Pilpres di AS dan Siapa yang Lebih Memahami Indonesia

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 04 Nov 2016 14:12 WIB
Ketika legal isu atau legal gosip telah mengudara di angkasa-biasa dan bisa terjadi di negeri manapun sesuka hati.
Foto: REUTERS/Carlos Barria
Jakarta, CNN Indonesia -- Politik main kelereng di rumah kosong tampaknya tengah mengemuka pada putaran kandidat Presiden Amerika Serikat (AS). Legal gosip atau legal isu, tengah di lempar ke langit oleh kaum the invisible magician, keseruan serupa itu biasa atau bisa terjadi dalam satu persaingan politik tujuan di manapun seperti iklan soft drink terpopuler.

Skadal Clinton (CNN Indonesia 1/11/2016) singkatnya mengenai email pribadi konon konteksnya tengah mengemuka di AS. Clinton mengakui kesalahannya telah menggunakan jaringan email pribadi selama menjabat sebagai Menlu AS. Konon Donald Trump-Partai Republik, tengah membuntuti nilai perolehan suara Hillary Clinton-Partai Demokrat, akibat skandal tersebut menurut lembaga survei negara itu. Benarkah?

Bisa menjadi benar bisa menjadi tidak. Ketika legal isu atau legal gosip telah mengudara di angkasa-biasa dan bisa terjadi di negeri manapun sesuka hati.

Kembali pada keberpihakan maupun netral atau kebutuhan politis the invisible magician, hal biasa terjadi di negeri manapun termasuk di negeri utopia sekalipun, barangkali. Sama persis dengan buka tutup jalan Jakarta-Puncak, jika kendaraan padat merayap. Butuh percepatan agar sumber kemacetan kembali lancar loh.

Pada legal isu atau legal gosip skandal Clinton, persoalan bisa mencuat bisa tidak, berdasar kebutuhan dari tujuan pencetusnya, agar mengemuka di ranah publik. Gaya kuno macam itu masih saja ya, melata, mengendus, mengintip, meruang, menerawang, mengemuka, lalu melepas burung gagak pembawa bola api provokasi, legal isu, legal gosip, sesuai kebutuhan adaptif, nampaknya tengah melanda Mantan Menlu-AS Hillary Clinton (2009-2013) menuju kursi pemerintahan 8 November sebagai penentu.

Seakan dilupakan kaum pembuat isu bahwa di era modern demokrasi publik telah cermat, cerdas di ranah keputusan ketetapan hati memberi suara. Provokasi berslogan sebagai perangkat komunikasi kampanye telah menjadi barang kuno, pemborosan, tak menuai manfaat langsung tak bermakna politik cerdas. Tampaknya pengaruh dari skandal Clinton tersebut seakan jalan tol ambisi Trump mengejar Clinton.

Meski tampaknya mungkin dan barangkali sekadar permainan pusaran gelanggang sebelum air terjun menuju sungai-sungai harapan. Sekalipun kaum penggosip tergantung pada tekno di sistem kerja strategisnya, toh sama persis pada pola manualnya. Legal isu atau legal gosip, mungkin dan barangkali hanya sebatas pesanan nasi kotak bagi pelanggan euforia demo tertentu agar tampak seakan demokratis. Mudah membaca hal itu, lihat minimnya penampakan liputan pers.

Meski legal isu atau legal gosip, takkan mampu menjangkau publik berketetapan bebas, valid, jurdil, non-kultus dan bebas dogma jumlahnya lebih banyak, itu sebabnya kaum the invisible magician, umumnya memecah sel bola bulat menjadi beberapa bagian agar tujuan dari pola suara sesuai kebutuhan tujuan politiknya mencapai perhitungan perbandingan suara seakan dipola survei-seberapa pencapaiannya menuju seberapa jauh?

Selanjutnya tinggal menutup kran kiri atau kanan atau atas atau bawah, maka mengalirlah suara ketujuan politik strategisnya, namun pendesain pola legal isu dan legal gosip lupa bahwa publik bernyawa, hidup dan bergerak esensial sesuai kecerdasan di pola pendidikannya plus pola integritas individual di khasanah ruang bebasnya di nurani, tak akan terpengaruh dalam bentuk apapun jika rakyat telah berketetapan hati.

Hal itu takkan terbaca oleh ilmu apapun termasuk tekno sekalipun. Guncangan skandal Clinton tampaknya agak menjadi tremor meski takkan menjadi gempa. Justru Clinton akan lebih melaju mungkin dan barangkali, jika menilik keberhasilannya meningkatkan hubungan AS-Asia dan ASEAN, juga persoalan krusial Palestina-Israel saat masih menjabat Menlu.

Clinton telah dikenal lewat kiprahnya saat menjabat Menlu-AS sebagai penyeimbang keputusan penting Presiden AS, Barack Obama. Di banding Trump agak kurang populer kedekatannya di ruang politisi negarawan China, Asia dan Asean.

Kalau pun kaum pembuat isu mencoba membaca perilaku hidup manusia konteksnya pada konsep strategis legal isu dan legal gosip, barangkali mendapatkannya lewat pengumpul pola publik opini, tanda rujukan referensi, menuju perkiraan para random, berakhir di pemetaan perilaku publik atau perkiraan berbagai teori keseimbangan publik, nyomot dari kiri-kanan berdasarkan anu menurut itu sebagai data entry, tampaknya akan terjebak di keraguan lagi.

Hal itu kerap terjadi dalam diam pada masa waktu, berpijak bersama hentakkan kebudayaan-culture shock, telah terjadi berulang kali, seakan zaman membuat perubahan perilaku kebudayaan. Meski the invisible magician, seolah-olah serba tahu dan bisa membaca manusia, akh apa iya ada manusia bisa membaca ruh manusia, kecuali manusianya telah menjadi ruh, kalau mungkin dan barangkali.

Nah loh, celakanya saat legal isu atau legal gosip tak terfakta, itulah barangkali awal benang kusut, lalu segera dipaksakan apapun, sebab tak mungkin untuk mengakui, meminta maaf pada publik bahwa ada hal kurang tepat pada investigasi atau penyidikan. Konon pula jika terdesak kaum the invisible magician, sangat mungkin mengorbankan apapun bagai delik peperangan seakan film layar lebar demi mempertahankan pencitraan, suatu perilaku normal dari sistem di dalam sistem.

Sebab alat sulapnya seperti lagu pop “nah kamu ketahuan” atau malu-malu kucing, setara mencari alasan terlogis agar piring kotor terlihat “ini loh masih bersih” di titik api itulah fungsi rakyat sangat fundamental kadang seakan tak ada, kok ya masih berani memakai payung atas nama hukum. Padahal notabene modern demokrasi semata membentuk negara karena rakyat dan sebaliknya, kok bisanya rakyat dianggap tak eksis, aneh tapi nyata.

Karena itu Clinton ditunggu kemenangannya meneruskan membangun hubungan lebih mendalam dengan AS, terutama di sektor pendidikan, pertukaran sains, budaya dan teknologi, terutama di sektor teknologi kemiliteran dan komitmen perdamaian dunia.

Menurut Mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI, Dino Pati Djalal, calon Presiden-AS Hillary Clinton, memahami Indonesia dibandingkan pesaingnya, Donald Trump (Antara News 18 Juli 2016).

Baiklah kalau begitu apapun menunya memang urusan dalam negeri AS, setidaknya, barangkali, hal biasa berlaku umum di ruang berbeda dengan cuaca berbeda, tak ada salahnya belajar tanpa henti di manapun kapanpun, agar hidup lebih sehat dan bermanfaat bagi sesama.

Demikianlah Adik dan Kakak, semoga ulasan sederhana mengenai suka duka modern demokrasi berjalan sebagai dasar pelajaran bersama apa adanya menyoal persaingan terbuka kampanye cerdas kandidat Presiden-AS. Salam Indonesia Unit. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER