Jakarta, CNN Indonesia -- Mendamaikan pertikaian antara bangsa-bangsa masih menjadi agenda utama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tak henti-hentinya menyerukan menahan diri demi tercapainya perdamaian dunia.
Namun ambiguitas konflik belum mampu mereda di deret angka, antara lain, konflik etnis agama, perang saudara di Suriah, perang saudara di Afrika, perang saudara di Korea dan sisi-sisi lain di kehidupan benua.
Bangunan arsitektur kecurigaan antar perbatasan di tengah tarik ulur wilayah, terlihat bagai lukisan merahnya merah termasuk di dalamnya konflik pengambilan hak tanah milik adat dan seterusnya lagi.
Apa sesungguhnya kehendak kultural dari makhluk manusia dari kekuasaannya? Perdamaian bagi bangsa dan negerinya atau membiarkan pembunuhan nilai-nilai HAM yang semakin relatif?
Jika konflik horizontal antar adat atau suku atau etnis senantiasa memicu tragedi kemanusiaan dari sebuah kehidupan kulturalnya.
Tujuan hidup telah disepakati awalnya, ketika pelantikan menjadi makhluk manusia bersedia dipimpin atau memimpin, sebagai pemegang mandat Ilahi di era kesejarahan alam raya dan segala isinya, senantiasa memicu sejarah baru dan lain serta lainnya lagi.
Barangkali pertanyaan tak cukup di kertas ini. Melihat rangkaian tajuk di kurun waktu sejarah bangsa-bangsa sejak abad penyaliban Yesus hingga kini saja, teramat banyak dicatat sejarah hingga kini. Tak terbayangkan kekuasaan manusia, mampu menyalibkan seorang Rasul.
Hampir setiap waktu dari masa ke masa, sejak lahir hingga dewasa umumnya makhluk manusia diberi ajaran oleh moral, lingkungan, keluarga, senantiasa berbuat baik, seperti berlaku di keyakinan para individunya.
Berkelanjutan meyakini menganutnya sebagai ilmu pengetahuan berguna berbagi, memberi tolok ukur kebaktian pada hakikat kebaikan di kebenaran.
Kadang ingin bertanya pada alam raya, untuk apa kehadiran makhluk manusia di planet bumi. Jika senantiasa ada pertikaian atas nama. Mungkin diperlukan ketulusan akal budi meningkatkan pelajaran mengenal dirinya secara bijaksana, berdamai dengan nuraninya menuju kehidupan di kesetaraan demokrasi.
Beruntunglah bagi Negeri Tercinta ini diberkati persaudaraan amat banyak untuk senantiasa menghayati “Soempah Pemoeda” baru saja beberapa waktu lalu mengingatkan bahwa:
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia,
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
(ded/ded)