Jakarta, CNN Indonesia -- Burung demokrasi itu tak lagi mengepakan sayapnya. Mengapa? Sebuah kewajaran jika dunia bertanya. Melihat kilas balik kegigihannya saat Aung San Suu Kyi membangun etos demokrasi di negerinya, berhadapan dengan junta militer Myanmar bahkan dia dijebloskan ke penjara.
Dunia marah, membelanya, ketika itu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memberi peringatan keras pada junta militer Myanmar, bahkan Aung San Suu Kyi setelah dibebaskan dari penjara berkesempatan menyampaikan pikirannya tentang hak sipil demokrasi dan kemanusiaan untuk negerinya pada dunia di PBB.
Aung San Suu Kyi, kini telah bertindak semakin jauh mengharamkan kata “Rohingya” menggantinya dengan istilah “masyarakat penganut Islam di Rhakine” dalam pernyataannya kepada pelapor khusus PBB (CNN Indonesia 22/6/2016). Sebuah fakta tak masuk akal akhirnya seorang pejuang demokrasi patuh pada sistem junta militer negerinya.
Baiklah, jika itu menyangkut hak personal sebuah negara, namun persoalan Rohingya telah menjadi persoalan internasional di tingkat PBB. Penggunaan istilah “masyarakat penganut Islam di Rhakine” disadari atau tidak oleh pemimpin politik Myanmar Aung San Suu Kyi, memicu pelanggaran HAM dari perjuangan demokrasi dirinya untuk negerinya.
Pemakaian istilah “masyarakat penganut Islam di Rhakine” sebagai pengganti kata “Rohingya” terasa menjadi terbalik melawan dirinya sendiri, menggaris bawahi anti-demokrasi, anti pada apa yang pernah dia perjuangkan dengan darah dan air mata para pengikutnya, setia mendukung perjuangannya.
Di manakah kini kekuatan itu, apakah telah menjadi batu bersama Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991, penghargaan atas perjuangannya dalam memajukan demokrasi di negerinya tanpa menggunakan kekerasan, berhadapan menentang kekuasaan junta militer negerinya?
Persoalan Rohingya bermula dari konflik personal berkembang dan meluas menjadi konflik etnis pada 2013, saat itu atas perintah Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty Natalegawa, melihat langsung kondisi daerah konflik di beberapa kota di Rakhine, seperti Kyauktaw, Maungday, Pauktaw, dan Sittwe.
Kunjungan tersebut tidak hanya membawa suara Indonesia untuk perdamaian khususnya, tapi membawa makna yang lebih luas bagi perdamaian dunia dan kawasan di Asia. Pemerintah Indonesia menyiapkan bantuan senilai satu juta dolar AS, untuk membantu meringankan beban korban konflik antar kelompok Budha Rakhine dan Muslim Rohingya pada waktu itu.
Marty Natalegawa, Menlu RI, yang sangat berkomitmen terhadap perdamaian kawasan, termasuk turut serta mendorong percepatan gencatan senjata di kawasan konflik palestina dan Israel pada waktu nyaris bersamaan pada era itu.
Seperti dilaporkan Human Watch (HRW) bahwa lima desa dari negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah, hancur terbakar akibat serangan militer seperti dilansir berdasarkan pengamatan satelit (CNN Indonesia 22/11/2016). Apakah sampai dengan tingkat ini tak juga tergerak seorang Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi itu?
Benarkah pejuang demokrasi itu tak lagi mampu menyuarakan nuraninya bagi demokrasi negerinya? Bagi Hak-hak sipil demokrasi yang dulu pernah ia perjuangkan? Lagi sebuah pertanyaan.
Sulit memang ketika seorang pejuang lalu duduk di kursi birokrat. Meski kekerasan kekuasaan junta militer Myanmar terhadap kemanusiaan hak sipilnya digilas kekerasan militerisme Myanmar.
Tampaknya Aung San Suu Kyi, mungkin dan barangkali tengah berfikir strategis, melemahkan junta militer Myanmar, tidak dengan kekerasan, tapi cukup dengan kata-kata, seperti pernah dia perjuangkan dulu.
Masih mampukah Aung San Suu Kyi, memakai kekuatan kata-kata intelegensianya menaklukan junta militer Myanmar, lewat kursi birokrasinya?
Kakak dan Adik, ini sekadar ulasan tentang berjuang itu sulit, karena itu tak boleh melupakan berkat dan kekuatan yang pernah di perjuangkan demi negara dan bangsa, hanya sekadar untuk menduduki sebuah kursi kekuasaan. Mari belajar bersama selalu, membuka hati seterang kalam Ilahi. Salam damai bagi negeri tercinta ini.
(ded/ded)