Jakarta, CNN Indonesia -- Namanya Laeli Nurajijah. Murid-muridnya di SD Inpres Offie, Distrik Teluk Patipi, Fakfak, Papua Barat memanggilnya Ibu Eli.
Eli merupakan pengajar muda angakatan ke-10. Lahir di Kebumen, 8 Maret 1992. Mengajar sudah bukan dunia baru baginya. Dia adalah mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi di Universitas Sebelas Maret, S1 Pendidikan Fisika yang dipilihnya.
Perempuan penyuka novel ini bercerita bagaimana awalnya ia menjadi Pengajar Muda di pelosok Papua. Dia mengaku bahwa awalnya saat masih kuliah salah satu temannya memiliki buku Pengajar Muda.
“Saya penasaran dengan Indonesia Mengajar, kemudian saya izin meminjamnya. Namun buku tersebut sudah ada yang mengantre. Saya melobi teman saya agar dipinjami terlebih dahulu dengan janji tiga hari akan dikembalikan. Kemudian, saya langsung membacanya. Dan mulai saat itulah saya mengenal PM dengan cerita dan pengalamannya yang sangat mengharukan. Terlebih profil PM yang pertama berasal dari Kebumen, itu menginspirasi saya untuk menjadi seorang PM juga,“ ujarnya mengenang.
Pada Desember 2014 ia mendaftar Indonesia mengajar angkatan X dan mulai mengajar pada Juni 2015 hingga Juni 2016.
Ia merasa pengalamannya mendapatkan pendidikan di bangku kuliah menjadi motivasinya untuk menyebarkan wawasan. “Saya ingin membalas budi kepada negara,” katanya.
Selain itu, dengan menjadi PM di pelosok ia ingin berbagi dengan anak-anak negeri. “Mungkin mereka mengalami hal yang sama dengan saya dalam mendapatkan pendidikan. Karena pendidikan adalah hak segala bangsa. Menurut saya mengabdi tidak perlu menunggu kita untuk menjadi seseorang yang mapan dulu, selama kamu yakin dan bisa, maka lakukanlah,” ujarnya.
Awal menjadi Pengajar Muda, orang tuanya sempat khawatir karena harus pergi jauh, ke luar Pulau Jawa. “Apalagi kalau di Papua. Wajar ya,” kata Eli.
Namun, tekadnya sudah bulat, ia sangat menyanyangi murid-muridnya di Fakfak. Ia bercerita tentang murid-muridnya yang berjuang untuk sampai ke sekolah.
“Murid-murid saya sangat menyenangkan, aktif, kinestetik, semangat untuk belajar meski harus menempuh jalan yang naik turun bebatuan selama satu jam menuju sekolah dengan perut kosong. Atau mendayung sampan (ketinting) yang seringkali terbalik karena tidak seimbang dan basah semua harus kembali ke rumah untuk ganti,” dia bercerita.
Ia berharap bisa melanjutkan sekolahnya lagi. “Karena saya dari pendidikan Fisika, saya ingin belajar lebih dalam lagi terkait pendidikan baik dari segi manajemen, kurikulum, pendidikan yang ideal untuk Indonesia,” ujar pemilik blog rumahnyonyandoro.blogspot.co.id ini.
(ded/ded)