Cerita Pendek: Opera Peradaban

CNN Indonesia
Sabtu, 18 Mar 2017 11:11 WIB
Kau tembakkan peluru itu tepat di jantungku. Mati. Ya. Aku mati. Namun cintaku pada negeri dan almamater tidak pernah mati ataupun padam.
Ilustrasi (Foto: REUTERS/Leonhard Foeger)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kau tembakkan peluru itu tepat di jantungku. Mati. Ya. Aku mati. Namun cintaku pada negeri dan almamater tidak pernah mati ataupun padam. Matamu. Senyummu. Seberkas geliat kau rengkuhkan pada nadiku masih membekas. Di sini. Di dalam hatiku. Di dadaku, tempat kau merajuk ingin kubelaikan punggungmu, nyaman, katamu. Ya. Itulah cinta. Nyaman. Kau sentuh bibirku dengan jemarimu. Aku tersiksa berpisah denganmu kekasih perjuangan medio Mei 1998.

Siksa. Ketika puncak itu sampai pada tenor. Kau rebahkan kasih. Aku rebahkan kasih. Pelukan erat seakan tidak terlepaskan selamanya. Di musim apapun. Saat rembulan dalam irama orkestra bayang-bayang romantis dilabirin sajak-sajak biru tua. Kau menggeleparkan tubuhmu seperti ikan duyung di aquarium kaca-kaca peradaban. Lalu kita terjuntai di tepian mimpi, di eksak metafisik, bunga merekah. Aku menyaksikan pemakamanku, Ibundaku dan keluargaku ada di antara, para sahabat almamater biru tua.

Kurt Weill, memainkan dentingan komposisi pada Mack the Knife, puncak dari adegan menuju hukuman gantung, Mackie Messer, aku perankan. Hukuman itu dibatalkan, diampuni tangan kekuasaan, pada kisah The Threepenny Opera, karya Bertolt Brecht. Kekasih memainkan Polly Peachum. Asmara meradang ketika puncak permainan ke epilog, kusentuh citra gadismu, di balik layar-layar adegan kasmaran.

Lekatlah semuanya, kewaspadaan ataupun kealpaan. Sisakan bibirmu di antara ciuman malam. Aku desahkan nafas kedekat malaikat pusaka kematian, jika mungkin aku akan kembali. Membawa asmara, kau tembakkan di dadaku, kekasih. Peranan membawa kita pada dunia kecil, tidak tersentuh waktu. Pelukan pada adegan Shakespeare, telah melumatkan seluruh kelakianku pada keperawanan purba.

Aku melihatmu melangkah meninggalkan sanatorium, membawa mawar plastik biru, sisa dari hidupku. Di antara suara malaikat hitam, mencariku, dalam peranan parodi politik, The Crucible, Arthur Miller. Simbol, kepercayaan pada kultus menjadi sihir. Tenung politik pada era para orde. Hakim menjadi alat santet, kepentingan politik, mengoyak hati nurani, mengguncang pada isu simbolik, stabilitas keamanan termuskil di mulut revolusi-reformasi.

Pentas The Crucible, sama persis diperistiwa perubahan. Gerakan rakyat dan pemuda, menyatakan bahwa politik kemapanan harus diguncang. Korosi mental permanen telah menjadi hantu raksasa, pada sistem pemerintahan zamannya. Hutang negara melambung, inflasi menggencet sektor perekonomian rakyat. Lembaga swadaya ekonomi dunia telah meracuni pinjaman permanen, dengan bunga tinggi. Cuaca gelap-gulita.

Rentang perubahan bergerak dengan cepat menuju satu titik. Tumbangkan kekuasaan otoriter kanibalis. Tidak ada lagi tokoh penting, ketika suara rakyat mendesak sektarian otoriterisme, bugil di tengah massa. Namun apa daya, para pencuri dan orang-orang culas, menodai perjuangan suci gerakkan massa, rakyat, pemuda, mahasiswa. Provokasi sara dihembuskan, meledaklah malapetaka bagi sesama, penjarahan material dan moral.

Adegan itu berjalan dalam satu panggung realitas kepedihan dramatik. Sejarah itu telah melontarkan peluru kepada kekasihku, sahabatku, saudaraku, bangsaku. Aku tidak bisa marah kepada siapapun. Aku ingin berteriak-teriak, tapi ruhku sudah pergi. Melayang terbang dan ringan. Aku datangi semua Rumah Sakit, semua Unit Gawat Darurat, semua Kampus. Aku mencarimu, kekasih. Dimanakah kamu.

Jiwa, berkelana, mencari kamu. Aku bersujud di atas awan-awan, melihat kerabat biru tua satu almamater, cinta kasih, berbaris, bernyanyi pada hening, di api unggun. Malaikatku memberi isyarat, untuk menuju pintu terakhir, menunggu kamu, menunggu kalian. Di kejauhan aku melihat dua sahabatku melambaikan tangan. Kami saling mengepalkan tangan ke atas, dibait lagu… Syukur aku sembahkan… KehadiratMu Tuhan…

Almamater barisan biru tua, melingkari api unggun. Tetap menyala. Reformasi telah tumbuh, pahlawan terlupakan tetap damai di keharuman surgawi berselimut tanah pertiwi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER