Jakarta, CNN Indonesia -- Ini bukan untuk oknum yang memang bersih di DPR (jika masih ada). Saat ada pihak yang mati-matian membangun Indonesia menjadi lebih baik, ada pula pihak yang semakin membuat Indonesia menangis.
Jumlah perusak di negeri ini bahkan lebih banyak dari yang ingin memperbaikinya. Anehnya para perusak itu didukung oleh massa yang utuh dan penuh.
Sedangkan yang ingin memperbaiki Indonesia terus disudutkan, difitnah, di-bully, tak jarang akhirnya harus mundur teratur. Apakah negeri ini sudah kehilangan orang baiknya? Apakah jumlah orang jahatnya di negeri ini lebih banyak, sehingga keadilan susah sekali diwujudkan?
Ketika negara lain tengah sibuk membahas perkembangan ekonomi yang demikian pesat, Indonesia masih bergelut dengan kasus penistaan agama, juga kasus yang sungguh kebal di negeri ini, korupsi. Kadang orang merasa enggan untuk membahas masalah klasik yang tak pernah jadi beban bahkan ganjaran bagi pelaku elite politik yang terhormat.
Kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, empat tahun silam, ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kicauan ini tentu tidak jauh dari dunia korupsi, dunia yang membesarkan nama elite politik. Satu demi satu keterangan dan barang bukti dikumpulkan untuk mengungkap skandal besar di balik pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) pada 2011-2012.
Konon, korupsi E-KTP ini adalah korupsi berjamaah yang memiliki nilai paling besar yang pernah dilakukan di Indonesia. Begitu besarnya, ada nama-nama besar yang disebutkan oleh Nazaruddin.
Tentu pemilik nama besar ini tak bisa disandingkan dengan nama-nama besar Soekarno, Hatta, Gusdur, atau tokoh lainnya. “Namanya” disebut “besar” sebab kerap terlibat proyek penggelapan dana yang tidak main-main. Nama-nama ini pernah muncul begitu mengejutkan, lalu tenggelam, timbul lagi, dan akhirnya benar-benar tenggelam. Apakah kali ini KPK cukup memiliki nyali untuk bukan hanya sekadar sebut, melainkan ikut diciduk.
Ngeri sekali negeri ini. Berkas penyidikan setebal 24.000 halaman sudah berada di Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terkait kasus korupsi ini. Mungkin, di pasar media sosial kita telah melihat bagaimana tukang jilid bisa menjilid ketebalan berkas ini begitu rapinya. Namun, ketebalan dakwaan ini hanya mampu menyeret 2 nama yang tidak besar-besar amat.
Dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, yakni Irman dan Sugiarto yang dijadikan tersangka selama kurang lebih 2 tahun penyelidikan. Nama-nama yang disebut nama besar yang lainnya masih sibuk membela diri dan bicara bahwa tuduhan atas dirinya adalah fitnah. Jika maling mau jujur, penjara penuh, Pak.
Jika masih ada yang bersih di DPR mohon jangan tersinggung. Apakah yang selama ini dilakukan tubuh perlente dalam balutan jas mewah ini? Korupsi, korupsi, dan terus korupsi. Keluar masuk bui seolah jadi hobi. Hobi yang dibayar.
Kasus mega proyek bernilai fantastis ini juga menyeret beberapa oknum yang “terpaksa” mengembalikan sejumlah uang yang diterima dari hasil korupsi kepada KPK. Apakah dengan begini, oknum-oknum itu akan bebas dari tanggung jawab hukum? Begitu ketahuan, uang bisa dikembalikan. Jika tidak terungkap, perut kenyang tanpa perlu keras bekerja. Telah banyak kita melihat tersangka kasus korupsi tidak benar-benar melarat hidupnya. Ia tambah dikenal, tambah percaya diri, bisa jadi artis mengisi talkshow di tayangan-tayangan tak bermutu. Apa efek jeranya terhadap koruptor?
Lantas mengapa kasus yang jelas-jelas dilarang agama, menodai keyakinan agama ini tidak mendapat perhatian serius dari tukang kawal persidangan yang jumlahnya menyesakkan mata itu? Di mana massa yang begitu membabi buta itu bersembunyi untuk memerangi kasus korupsi? Apakah tidak tergerak hatinya melihat negeri ini tak memiliki batas yang jelas antara kemanusiaan? Ayo....tunjukkan kekuatan yang pernah begitu menakjubkan untuk kasus yang menyeret penista agama.
Sepertinya ajakan saya sia-sia. Sebab banyak orang yang tidak menginginkan keadilan, mungkin.
Ngeri..ngeri sekali di negeri ini. Seorang muda, bersih, jujur, ketika terjun ke dunia politik mesti berhati-hati. Tak ada yang bisa menyelamatkan, kecuali karmamu sendiri. Contoh saja Antasari. Seberapa tegas ia, seberapa jujur ia, seberapa kuat ia. Namun, Bapak ini bisa tumbang karena banyak orang yang ingin ia tak berdaya. Apalagi untuk orang biasa seperti saya. Hukum apa yang paling adil di Indonesia? Tidak ada.
Rakyat adalah pucuk pimpinan di negeri ini. Jika rakyat menghendaki, apapun bisa terjadi. Karena kinerja DPR sama sekali tak teruji, bagaimana jika lembaga ini dinonaktifkan saja. Kita bisa melihat apakah negeri ini bisa lebih baik dengan atau tanpa DPR. Apakah mungkin? Cukup mungkin. Predikat DPR sebagai lembaga paling korup (survei GCB) tidak bisa dibantahkan. Apakah plesirnya melulu soal luar negeri tidak juga membuat oknum-oknum ini berhenti “maling” di tanah sendiri.
Kerugian negara sekitar Rp2 triliun ini bukan hanya soal materi, melainkan juga soal kewibawaan negara, rakyat, juga Indonesia yang tengah diperbincangkan dunia. Jika saja, Rp2 triliun ini digunakan dengan bijak oleh elite politik, berapa jalan di kampung, berapa sekolah yang nyaris ambruk, berapa fakir miskin yang haus sekolah bisa diwujudkan dan ditata lebih baik?
Mega korupsi e-ktp senilai Rp 2,3 triliun akan menjadi pemecah rekor korupsi terbesar sejagat. Sepertinya kita sepakat, tidak ada yang bangga dengan predikat ini. Mari kita melek dan peduli. Jangan masa bodoh. Kerugian negara ini harus dikembalikan utuh. Siapapun koruptor itu, apapun agamanya, setinggi apapun jabatannya, mari dikawal agar kasus ini benar-benar tuntas dan KPK tak melulu menjebak dengan beritanya yang terlampau menakut-nakuti.