Film Bukan Hanya Tontonan Tetapi Tuntunan

CNN Indonesia
Jumat, 07 Apr 2017 11:25 WIB
Ada beberapa alternatif yang berkontribusi terhadap pembentukan identitas seorang remaja. Salah satunya tontonan, seperti program televisi atau film.
Foto: mojzagrebinfo/Pixabay
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara, Magelang membuat geger masyarakat. Bagaimana tidak aksi sadis ini dilakukan oleh seorang siswa berinisial AMF (15) kepada teman satu baraknya KWN (15).

Sebelum melakukan aksi ini, AMF mengaku habis menonton film Rambo. Terkesan dengan aksi beringas Rambo dalam melibas musuhnya, AMF pun mencoba meniru aksi tersebut ketika membunuh KWN. AMF membeli sebuah pisau ukuran 30 cm di supermarket. Kemudian ia masuk menyelinap ke kamar korban. Ketika melihat korban yang sedang tidur pulas, AMF pun tanpa rasa tega langsung menikam bagian leher korban dengan pisau hingga tewas.

Menjadi tanda tanya besar mengapa AMF menjadikan Rambo sebagai figur yang harus ia contoh saat melakukan aksi tersebut. Ini adalah masalah serius yang perlu diperhatikan dengan saksama. Pada usia 15 tahun seorang anak sedang memasuki perkembangan usia dari masa anak-anak ke masa remaja. Menurut Erikson pada saat usia 12-18 tahun seorang anak akan mengalami tahap perkembangan untuk mencari eksistensi dan jati dirinya. Ia berusaha mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dan mencari arah dan tujuan, menjalin hubungan yang dianggap penting.

Ada beberapa alternatif yang berkontribusi terhadap pembentukan identitas seorang remaja. Di antaranya adalah sumber bacaan, televisi, ataupun pengamatan terhadap objek-objek yang ada di lingkungannya.

Film Membentuk Identitas Remaja

Seorang ilmuwan psikologi Albert Bandura menjelaskan bahwa seorang remaja sering melakukan imitasi terhadap apapun yang ia lihat di sekitarnya. Saat melakukan imitasi, seorang remaja belajar untuk membentuk identitas dirinya. Dalam teori ini disebutkan bahwa model yang dijadikan imitasi bisa berupa apa saja yang membawa informasi, seperti film, gambar, orang, film.

Seorang anak yang menonton film berusaha menikmati setiap alur cerita dan adegan di dalam sebuah film. Ia akan mencoba meniru beberapa adegan yang dilakukan oleh para tokoh di dalam film ke dalam dunia nyata. Bahkan tak hanya perilaku tokoh filmnya, baju, cara berkomunikasi juga ditiru sesuai keinginannya.

Namun melihat kenyataan di Indonesia masih banyak sekali tayangan film, sinetron di televisi atau bioskop yang mempertontonkan adegan negatif. Sseperti, pacaran, pornografi, kekerasan, gaya hidup konsumtif. Survei dari BPS pada tahun 2014 tentang judul film yang ditayangkan menurut genre saja menempatkan film action yang paling banyak sebesar 30,33 persen, kedua drama 20,86 persen , ketiga horor 16,51 persen. Dibandingkan dengan film bergenre religius hanya menepati posisi 8 yaitu sebesar 4,69 persen.

Suguhan aksi kekerasan dalam film action memang tidak mudah untuk dihilangkan. Karena aksi kekerasan tersebut memang menjadi bumbu penyedap cerita film agar menarik. Selain itu juga film tersebut sebenarnya ditayangkan untuk orang yang berusia 17 tahun ke atas.

Yang menjadi bahaya andaikata adegan-adegan film yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas dipertontonkan untuk anak usia di bawah 17 tahun. Karena seorang anak pada usia tersebut emosinya masih temperamental, walaupun sudah mampu berpikir kritis. Elkind pun menyatakan bahwa seorang remaja awal belum mampu berpikir matang seperti orang dewasa. Inilah yang akhirnya membuat mereka mudah terpengaruh dan meniru perilaku negatif yang diilustrasikan dalam film seperti melakukan aksi kekerasan pada temannya, berhubungan seksual dengan pasangannya.

Pengawasan dan Pembatasan Film untuk Anak Remaja

Pembatasan dan pengawasan terhadap film-film yang tidak layak dikonsumsi oleh remaja sangat penting. Tetapi di lapangannya hal ini masih tidak dihiraukan.

Lembaga Sensor Film (LSF) masih belum melakukan sosialisasi dengan optimal untuk mengingatkan bahwa film kategori dewasa tidak boleh ditonton oleh anak di bawah umur. LSF hanya mencantumkan klasifikasi usia saja, tanpa memberikan keterangan.

Alhasil masyarakat menjadi tidak peduli pembatasan tersebut. Saat menonton film di bioskop, penulis sendiri pernah melihat dengan mata kepala sendiri anak usia di bawah 17 tahun menonton film yang sebenarnya hanya boleh ditonton oleh usia 17 tahun ke atas. Padahal di film tersebut ada adegan bunuh-bunuhan, perempuan yang setengah telanjang dan hal negatif lainnya. Tentu adegan-adegan tersebut dapat merusak dan mempengaruhi anak-anak di bawah 17 tahun.

Hal berbeda justru dilakukan di Amerika Serikat, Motion Pictures Association of America (MPAA) selalu menyertakan batasan usia dan disertai penjelasan singkatnya. Misalnya dijelaskan bahwa film ini hanya untuk usia 17 tahun ke atas, karena berisi adegan kekerasan, konsumsi narkoba, dan seksual. Di Singapura pun seseorang yang menonton film di atas 17 tahun sangat ketat penjagaannya. Petugas pintu studio mengecek kembali para penontonnya saat ingin memasuki studio agar memastikan apakah ada penonton yang masih di bawah umur.

Yang lebih sedihnya lagi, saat film-film di bioskop diedarkan dalam bentuk kaset atau ditayangkan lewat televisi, film-film tersebut menjadi lebih mudah diakses para remaja di bawah umur. Di saat seperti ini seharusnya orangtua memantau dan mengawasi tontonan si anak. Tetapi justru masih ada orangtua yang membiarkan anaknya menonton film apa saja, tanpa dibimbing.

Membangun Moral Remaja dengan Film

Film atau sinetron sejatinya tidak selalu didefinisikan sebagai media hiburan dan cenderung mengarah hal yang negatif saja. Film sebenarnya juga bisa menjadi sarana untuk menuntun remaja agar memiliki budi pekerti yang baik. Film ibaratkan seperti obat apabila kandungan isinya tidak sesuai untuk konsumsi seseorang maka akan membunuh orang tersebut. Sebaliknya apabila isinya di ukur dengan dosis yang sesuai maka akan menyehatkan orang yang mengonsumsinya.

Sebenarnya ada beberapa film yang bisa menginspirasi dan mengajarkan budi pekerti yang baik bagi remaja. Di antaranya film Rudy Habibie yang mengajarkan kerja keras dalam belajar dan memiliki semangat untuk membangun Indonesia. Film HOS Tjokroamiinoto, Soekarno, Sang Pencerah, Sang Kiai yang menceritakan semangat melawan kaum penjajah. Film Merry Riana yang mengajarkan berpikir kreatif untuk meraih kesuksesan. Dan beberapa film yang lain.

Film-film seperti inilah seharusnya terus diproduksi oleh industri perfilman Indonesia. Karena selama ini film di inspirasi untuk yang memberi value bagi remaja masih belum banyak. Di tahun 2016 total film hasil produksi Indonesia berjumlah sekitar 50-an, sementara film inspirasi bagi remaja jumlahnya hanya hitungan jari di antaranya seperti Rudy Habibie, MARS, Athirah, 3 Srikandi, Bulan Terbelah di Langit Amerika.

Pemerintah, industri film, orangtua dan para remaja harus bisa bekerja sama untuk mengawasi dan memberi batasan film yang tidak layak bagi remaja. Dan yang terpenting memberikan variasi film-film yang menginspirasi untuk remaja. Agar para remaja bisa mengimitasi moral dan budi pekerti yang baik dari adegan dan tokohnya. Karena film bukan sekadar tontonan untuk media hiburan tetapi tuntunan untuk menjadikan remaja lebih bermoral dan berbudi pekerti luhur.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER