Jakarta, CNN Indonesia --
Ku lihat Ibu pertiwi. Sedang bersusah hati. Air mata nya berlinang. Mas intanmu terkenang. Hutan gunung sawah lautan. Simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara. Merintih dan berdoa. Masih ingatkah dengan lirik lagu nasional ciptaan Ismail Marzuki ini? Sekilas lagu ini hanya sebagai lagu nasional saja dan sering didengar oleh kita hingga saat ini. Namun, sepenggalan lirik tersebut saat ini cocok untuk menggambarkan keadaan dan kondisi Indonesia saat ini. Mengapa demikian?
Awal bulan April 2017, Indonesia dipenuhi oleh pemberitaan mengenai tanah Longsor di Kota Reog, Ponorogo. Maraknya pemberitaan tersebut terlihat dari mulai tanggal 1-3 April 2017
headline baik media cetak, massa, dan
online memberitakan hal tersebut. Dilansir dari Detik.com menyebutkan bahwa lonsor tersebut menimbulkan dampak yaitu jumlah warga yang terkena longsor ada 128 jiwa. Dari jumlah tersebut 28 jiwa masih dinyatakan hilang, dan selainnya dinyatakan selamat.
Kondisi Alam Ibu Pertiwiku
Indonesia merupakan wilayah yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Namun, di balik kekayaan tersebut juga tersimpan potensi gerakan alam yang dapat menimbulkan bencana. Indonesia juga sebagai salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia.
Indonesia telah memiliki banyak pengalaman dalam menangani bencana dengan dampak yang merusak. Bencana tersebut seperti tsunami di Aceh 2004, gempa bumi di Yogyakarta 2006 dan Sumatera Barat 2009, Longsornya waduk Situ Gintung di Tanggerang 2009, erupsi gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah 2010, dan sebagainya. Kali ini Indonesia kembali mengalami longsor di Ponorogo.
Dilihat dari kondisi tersebut, Indonesia seperti digempur habis-habisan oleh bencana dimulai dari bencana alam hingga sosial di awal tahun 2014 hingga pertengahan bulan Maret ini. Banjir, hujan deras, tanah longsor semua silih berganti.
Hujan di awal tahun yang cukup luar biasa intensitasnya, tidak hanya menyebabkan genangan air yang membukit hingga seatap rumah, melainkan longsor serta pergerakan tanah yang diakibatkan terkikisnya permukaan tanah oleh air hujan. Bencana ini telah menjadi pelajaran bagi Indonesia baik Pemerintah maupun masyarakat.
Dengan fakta tersebut, Indonesia memiliki tingkat resiko bencana yang tinggi dan merata di seluruh wilayah .
Menurut data dan informasi bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Banjir (BNPB) mencatatat jumlah kejadian bencana tahun 2012-2016 telah mengalami peningkatan. jumlah tersebut sebesar 1,811 kasus (2012), 1,674 kasus (2013), 1,967 kasus (2014), 1,732 kasus (2015) dan tahun 2016 terjadi 2.342 bencana di Indonesia.
Saat ini (2017) BNPB mencatat, bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah tsunami, puting beliung, tanah longsor, kebakaran dan kekeringan. Dengan peringkat pertama tsunami sebesar 31,4 persen, kedua puting beliung sebesar 21,2 persen dan ketiga tanah longsor sebesar 17,8 persen.
Hingga bulan Maret 2017, data bencana yang tercatat oleh BNPN sebanyak 884 kejadian. Masing-masing jumlah kejadiannya; tsunami dengan jumlah 313 kejadian, puting beliung 287 kejadian, tanah longsor 251 kejadian, dan lain-lain 33 kejadian. Lantas, jika seperti ini siapa yang patut disalahkan?
Dalam laporan data dan informasi BNPB Maret 2017, menunjukkan daerah yang rawan longsor tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ada sekitar 40,9 juta jiwa yang masih tinggal di dalamnya. Namun yang berstatus Siaga-Awas dan menimbulkan korban mayoritas terjadi di permukiman penduduk di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Peraturan mengenai penanggulangan bencana sudah ada. Sebelum pendirian BNPB tahun 2008 sudah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Digambarkan Sistem Nasional Penanggulangan Bencana yang merupakan satu kesatuan sistem penyelenggaraan penanggulangan bencana yang terintegrasi meliputi aspek legislasi-regulasi, perencanaan, kelembagaan, dan pendanaan.
Sejak keluarnya Undang-undang tersebut juga diikuti beberapa aturan terkait yakni: (1) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, (2) Peraturan Presiden No. 8 tahun 2008 tetang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, (3) Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2008 tentang Peran serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemeritahan dalam Penanggulangan Bencana.
Sikap masyarakat untuk Ibu Pertiwi
Tantangan masyarakat Indonesia dalam penanggulangan bencana di masa mendatang akan semakin berat. Potensi bencana alam dapat datang kapan saja, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Seyogianya dalam menjaga dan merawat alam bukanlah tanggung jawab pemerintah ataupun instansi terkait saja, namun juga menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia. Hal ini juga tertuang dalam UUD 1945 pasal 27 Ayat 3 yang mengharuskan masyarakat Indonesia ikut andil dalam membela negara.
Merawat dan menjaga alam ini selayaknya merawat dan menjaga rumah sendiri. Jika alam kita mengalami kerusakan, tentu membuat tidak nyaman. Kalau rumah masih bisa diperbaiki, tapi jika alam yang rusak? Lantas jika rumah kita rusak siapa yang harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya? Tentu orang yang tinggal, dan belum tentu pemilik rumah. Hal ini sama dengan alam ini, bukan Sang Pencipta bumi inilah yang harus bertanggung jawab, melainkan manusia yang menempatinya. Sudahkah kita seperti itu?
Semoga dengan pemaparan data di atas, membelalakkan mata kita. Keadaan alam ibu pertiwi kini sangat mengkhawatirkan. Salah satu faktornya adalah manusia sebagai penghuni alam ini patut dijadikan tanda tanya besar, bagaimana menjaga alam ini? Karena kejadian tanah longsor seperti ini merupakan gangguan serius terhadap kehidupan masyarakat. Kejadian yang bisa menyebabkan kerugian baik dari segi ekonomi maupun lingkungan bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Selalu ada hikmah di balik sebuah bencana, agar kita selalu ramah dan bersahabat dengan alam dan lingkungan. Sejatinya alam dan lingkungan yang kita pijak adalah sahabat dalam menjalankan kehidupan. Alam kita kaya, dan menyimpan banyak hal yang siap untuk kita. Siapa lagi yang bisa memberdayaan kalau bukan kita? Maka, bersikaplah dengan bijak agar Ibu Pertiwi tidak lagi lara.