Jakarta, CNN Indonesia -- Sering rasanya kita mengungkapkan keluhan akan ketidakberdayaan dan keterbatasan diri dalam menjalani kehidupan ini, terkhusus dalam konteks pembelajaran. Ungkapan-ungkapan negatif sering terlontar dari mulut dan dialektika pikiran kita.
Terlebih saat masalah banyak menghampiri, seperti keluhan saat mengerjakan tugas; baik sekolah, kampus, pekerjaan organisasi dan lain-lain. Bahkan sampai tingkat ekstrem karena kita tidak berdaya dan kewalahan menghadapinya, tak jarang muncul ungkapan yang populer “Da aku mah apa atuh”, yang artinya “Ya sudah saya begini adanya”, potensi saya terbatas, sudah dari lahir saya begini adanya, tidak punya genetika yang bagus, dan seterusnya. Keluhan itu dilontarkan hingga tak sanggup pena dan buku menampungnya.
Tak jarang hal tersebut membuat kita merasa rendah dan mengkerdilkan potensi diri kita sesungguhnya. Prestasi menurun, bahkan tidak peduli dan berpikiran untuk mengejar ketertinggalan dan optimal dalam setiap proses pembelajaran. Sikap pasrah, menyerah dan kalah seolah menjadi identitas yang melekat erat pada dirinya (
brand personality).
Jika dianalisis, ternyata beberapa penyebab muncul sikap tersebut yaitu kita tidak menyadari potensi diri, tidak percaya diri dan bahkan tidak ada kemauan untuk menerjang keterbatasan (
break the limit). Kita lebih memilih sikap bertahan, diam, bahkan pasrah selama menjalani hidup. Minder duluan sebelum mencoba atau memastikannya bisa.
Jika sikap ini dipertahankan maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah berkembang. Tidak ubahnya seperti secarik kertas kosong yang tidak ada artinya. Diperkuat oleh kajian psikologi, yaitu berpikir positif, yang yang terkenal dari Dr. Abraham Elfky, pikiran negatif akan senantiasa menjerumuskan pada perilaku yang negatif pula. Yang pada akhirnya tidak pernah akan mengembangkan potensi kita.
Pikiran merupakan akar muara dari setiap perilaku, maka berhati-hatilah dengan apa yang kita pikirkan. Perilaku adalah cerminan dari pikiran kita. Sukses dan gagalnya kita bergantung pada pikiran kita. Sama seperti penilaian terhadap diri kita, jika sudah negatif dan membatasi diri maka kegagalan dan keterpurukan tinggal menghitung waktu.
Kiranya kita perlu bercermin pada mereka yang berhasil berjuang melawan hidup kemudian sukses dikarenakan berhasil menerjang keterbatasan. Dalam buku Limitless, dapat kita gambarkan Nick Vujinic salah satu di antara banyak contoh dengan keterbatasannya mampu sukses. Ia menjalani hidup tanpa kaki dan tangan, semua aktivitas ia lakukan tanpa kedua tanganya, mulai dari bangun, mandi, olahraga, berpakain dan aktivitas lainya.
Ia lakukan itu selama hidupnya. Jika kita yang mengalami, mungkin kita akan menangis, pasrah dan tetap berada dalam keterbatasan diri.
Nick Vujinic berhasil membuktikan menjadikan keterbatasan sebagai kekuatan. Hasilnya, dia menjadi motivator terkenal di dunia yang banyak menginspirasi jutaan orang, bisa jadi termasuk kita di dalamnya. Dia menikmati seluruh kehidupannya di tengah keterbatasan. Ia pernah berkata “Saya percaya takkan ada keterbatasan dalam kehidupan saya.” Dia berkata lagi, “Secara teknis saya cacat, tapi sesungguhnya saya dimampukan oleh kecacatan itu.”
Masih banyak contoh yang bisa diambil pelajaran. Dalam buku
Metamorfosa Kehidupan diceritakan, Rahman Patiwi yang dulunya dari keluarga miskin dan berprofesi tukang angkot sekarang jadi
professional communicator,
trainer di perusahaan-perusahaan besar.
Hellen Keller, buta, tuli, namun tetap mampu mengukir karya, jauh melebihi orang normal. Kemudian,
Demosthene. Ia tunawicara. Bertahun-tahun ia pergi ke tepi pantai dan mengisi mulutnya dengan pasir, lalu berteriak sekuat-kuatnya. Ia menantang gemuruh ombak lautan dan akirnya mampu menembus keterbatasan (
limitless) dirinya serta menjadi orator ulung.
Pujian luar biasa untuk mereka-mereka yang mampu menerjang batas (
break the limit).
Tidak ada alasan logis lagi kita berdiam diri di tengah keterbatasan yang ada atau “anggapan” terbatas. Mereka telah membuktikan kesuksesan di tengah keterbatasan.
Lantas bagaimana sikap kita? Tubagus Ismail dalam bukunya,
Berpikir Besar dan Berani Sukses, menyarankan langkah dan sikap berikut:
Pertama, yakinlah terhadap potensi diri. Kebanyakan orang tidak menyadari potensi diri yang dimilikinya. Perlu diketahui sebenarnya rata-rata manusia menggunakan 3 persen kapasitas otaknya dalam menjalani seluruh kehidupan ini. Sedangkan orang genius hanya 4 persen.
Artinya, jika dalam ukuran 100 persen, sebanyak 83 persen potensi diri yang ada dalam otak kita belum digunakan sama sekali. Bayangkan dengan 3-4 persen kapasitas otak yang digunakan manusia sudah berbuat sedemikian rupa—kecanggihan, modernitas, teknologi, kemakmuran—untuk perdaban dunia, apalagi jika digunakan seluruhnya (100 persen) pastilalh peradaban maju lainya akan terbentuk.
Ingatlah, Tuhan memberikan modal dan kemampuan yang besar dan tidak terbatas (
unlimited) pada manusia, dan itu belum pernah tergali secara maksimal oleh orang paling genius sedunia sekalipun. “Nikmat Tuhan manakah yang hendak kau dustakan”. Jangan-jangan dari 3 persen rata-rata kapasitas otak kita, mereka yang pasrah diri baru menggunakan 0,0001 persen saja. Yang artinya mereka belum mempotensikan secara maksimal. Petr Akhonin, Ilmuwan Otak berkata: “kekuatan otak manusia ini tidak ada batasnya.”
Kedua, kerja keraslah. Dengan kerja keras kita akan mampu menerjang batas yang ada pada diri kita seperti mereka-mereka yang telah sukses dan berhasil keluar dari zona nyaman (c
omfort zone). Jadi mana kala dihadapkan dengan situasi sesulit dan sebanyak apapun baik saat belajar, tugas, dan peran kita harus senantiasa bekerja keras.
Ketiga, optimistis dan menjauhi pesimistis. Optimistis artinya yakin akan kekuatan diri dan yakin akan kemampuan diri sendiri. Jika kita sudah memiliki rasa optimistis, maka kita akan melakukan apapun yang mereka bisa berdasarkan kemampuannya. Berbeda dengan orang yang pesimistis, mereka ragu akan kekuatan yang dimiliki. Orang demikian sama artinya meragukan apa yang telah Allah berikan untuknya.
Dengan kita menjalankan sikap-sikap positif—seperti yang sudah disebutkan—maka kita akan mampu menembus/menerjang batas-batas yang ada pada diri kita.
Break the limit! Lewati batas-batas yang ada.
Tidak akan ada lagi ungkapan “Da Aku Mah Apa Atuh”. Serta sikap pasrah, menyerah dan kalah di tengah keterbatasan. Mengutip bahasanya Randi Gage: “Bahwa Anda adalah perwujudan sempurna dari kekuatan tanpa batas” dan dari Benjamin Disraeli berkata “Manusia bukan ciptaan keadaan, melainkan keadaan itulah ciptaan manusia”.