Cerpen: Kenapa Hujan

CNN Indonesia
Sabtu, 29 Apr 2017 08:11 WIB
Aku keluar dari kamar berseragam sekolah lengkap. Segera menuju meja makan. Tapi kenapa di luar hujan?
Foto: Silentpilot/Pixabay
Jakarta, CNN Indonesia -- Ruang tak seperti biasanya berpindah dari lini satu ke lini dua kadang langsung ke lini empat atau lima bahkan kadang ke lini sembilan. Bunda. Pernah bilang bahwa lini sembilan puncak menuju keabadian lini zero. Apa di sana banyak meteor. Banyak planet bulat atau kotak kotak seperti magic box. Boleh juga sesekali nyelonong ke sana.

“Jangan…” Suara pendampingku di telinga.
“Loh… Kenapa.” Suara pendampingku tak ada jawaban. “Aku ganti namamu si cerewet.” Juga tak ada jawaban. “Joy Strawberry. Namamu aku ganti.” Suaraku agak keras. Tak juga ada jawaban. “Joy atau…” Ada desir udara sejuk menerpa telingaku. Bunda. Dia pasti mencariku.

“Dari mana anak Bunda.” Suara Bunda lembut. Belum aku menjawab. Suara Bunda lagi. “Buah semangka mencarimu, dia menunggu di atas meja.” Aku hanya senyum. Bunda tahu arti senyumku.

“Kenapa hujan?” Aku bertanya pada buah semangka sebelum aku makan. Mendadak semua ruang berubah. Suara Bunda menjauh. Aku berada di ruang entah.

Suara alarm dari telpon seluler. “Jam enam. Jam enam. Jam enam.” Suara alarm terus berteriak-teriak. “Iya. Berisik deh.” Aku melompat dari tempat tidur. Bau nasi goreng dari dapur. Bunda sudah di dapur. Aku masuk kamar mandi.

“Terlambat bangun ya.” Suara Bunda menyapa. Jarak dapur dan kamar mandi tak terpaut jauh. Tak aku jawab pun Bunda tahu isi hatiku. Tuhan terima kasih engkau memberi Bunda terbaik, terhebat, teramat sayang padaku.
“Sarapanmu sudah di meja. Jangan lupa kau bawa jus tomat capur jeruk, Bunda beri gula sedikit.” Suara Bunda mendesir di telingaku. “Terima kasih, Bunda.”

Aku keluar dari kamar berseragam sekolah lengkap. Segera menuju meja makan.
“Kenapa Hujan. Aku…” Terasa ruang bergeser, berubah-ubah menjadi berbagai macam warna.

Entah aku berada di lini mana. Mungkin di lini satu. Entahlah, ini ruang lini berapa. Tampaknya hutan baru saja terbakar. Udara sangat panas di sini. Mengapa hutan ini terbakar. Siapa makhluk perusak hutan ini. “Makhluk aneh…” Suara Joy, si periang seperti biasanya.
“Kemana perginya para binatang Joy.” Suaraku cemas.
“Cobalah pandang ke arah matahari terbenam.” Suara Joy agak tersendat. Itu pertanda dia bersedih. Gawat! Pasti para binatang itu menderita.

Aku segera menuju kearah matahari terbenam. Tampak ribuan jenis burung di angkasa bermigrasi, di bawahnya berbagai jenis binatang. Jutaan Kupu-kupu tampak memberi kegembiraan warna-warni oleh kepak sayapnya, seperti para burung itu.

“Joy, udara teramat panas. Oksigen menipis. Asap masih terlalu tebal untuk mereka.” Aku mendengar suara Joy terisak-isak di telingaku.
“Kenapa tak hujan.” Suara joy lirih di telingaku.

Matahari meredup. Awan berangsur-angsur menggelap. Petir memberi tanda padaku. Tak lama hujan turun teramat deras. “Terima kasih Tuhan.” Suaraku dan Joy serentak.

Ada desir udara sejuk menerpa telingaku. “Joy. Bunda mencariku. Sampai jumpa sobat.”
“Bya… Bye.” Suara Joy masih terdengar agak sedih. Meski hujan telah memberi oksigen bermanfaat bagi perjalanan migrasi para sobat binatang.

Kehidupan sebuah keindahan perjalanan kisah-kisah. Sang Pencipta hanya memberi kebaikan dan kebenaran. Keajaibanku dan Joy Strawberry, bisa berpindah-pindah secara imajiner dalam kisah ini, hanyalah kisah kesederhanaan perjalanan cinta kasih pada iman sesama.

Kejahatan dan kebaikan barangkali ada di planet-planet. Konon, siapa terkuat jadi pemenang, siapa jago bergosip dan omong kosong (hoax) barangkali merasa telah menjadi pemenang. Sebenarnya tidak. Mereka kalah oleh dirinya sendiri.

Terima kasih Tuhan engkau telah memberi berkat keajaiban padaku. Aku bisa bersekolah, belajar, punya banyak sahabat, orang tua dan para guru telah berjasa padaku. Juga Joy si penggembira teman kecilku.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER