Bandung, CNN Indonesia -- Di pinggiran Kota Bandung terhampar potensi wisata sejarah dan budaya masyarakat Jawa Barat. Kurang lebih 60 kilometer dari pusat kota, terhampar luas danau buatan (situ) berair hijau. Tak hanya menyuguhkan situ, potensi wisata ini menyimpan sejarah peninggalan raja pertama Kerajaan Pajajaran, Dipati Ukur.
Situ yang memiliki luas sekitar lima hektar ini bernama Cisanti. Ci berarti air, Santi berarti suci. Asal nama situ tersebut tak lain berasal dari salah satu nama tujuh mata air yang berada di sekitar situ. Ketujuh mata air tersebut adalah Cikahuripan, Citarum, Cisadane, Cikoleberes, Cihaniwung, Cikawudukan, dan tentu Cisanti.
Situ Cisanti terletak di Kampung Pejaten Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Untuk kamu yang ingin berkemah atau sekadar menghirup udara segar di sekitar situ, butuh waktu kurang lebih dua jam perjalanan baik menggunakan roda dua maupun roda empat. Merogoh kocek 10 ribu per orang akan terbayar seketika melihat pemandangan di sekitar situ.
Terdapat pula dua rute yang bisa kamu tempuh yaitu via Pangalengan dan via Ciparay. Untuk mencapai situ Cisanti pada 24 April 2016 lalu, saya memilih rute via Ciparay. Sebelum sampai ke tempat tujuan, mata kamu akan dimanjakan dengan pemandangan bak berada di atas awan. Langit biru yang disoroti matahari menambah pengalaman yang mengasyikan ketika saya menuju situ Cisanti.
Bila musim penghujan datang, kamu yang mengambil rute via Ciparay dengan sepeda motor perlu berhati-hati. Jalanan beton dan sedikit sentuhan lumpur merah bisa menggelincirkan roda motor. Kamu juga perlu berhati-hati di jalur yang sempit nan menanjak tajam.
Hampir di sepanjang jalan saya menjumpai hamparan lahan pertanian. Ada yang ditanami kentang, daun bawang, dan wortel. Pada dasarnya warga sekitar Situ Cisanti memang bertani. Daerah itu juga berada di dataran tinggi. Situ ini berada di ketinggian 1300 mdpl.
Tiba di Situ Cisanti, saya langsung disambut oleh pria pembuka portal sambil menyodori karcis masuk. Tiba di area parkir motor, terdapat rumah berwarna coklat berbentuk rumah Sunda yang masih terkunci. Rumah itu bernama Bale Sawala. Bale ini bisa disewa dengan menghubungi Ujang Hamid dari Perhutani.
Saya menemui pria yang mengaku sebagai juru kunci Situ Cisanti setelah berjalan sekitar 10 menit dari jembatan yang bertuliskan “Situ Cianti”. “Banyak orang manggil saya Pak Ujang, tapi kalo nama asli saya adalah Dayat,” ujarnya. Pria yang menggunakan baju serba hitam dilengkapi peci abu-abu itu bercerita mengenai asal-usul situ yang kini dikelola Perhutani dan warga sekitar.
“Danau ini dulunya rawa tapi sejak tahun 2001 dikeruk, 2003 dibangun sampai 2005. Barulah dibuka jadi objek wisata,” ujar pria berusia 64 tahun ini.
Sebelum dibuka jadi objek wisata, dari tahun 1953 sudah banyak orang datang untuk berziarah di bulan Maulid. “Situ ini juga dulu pernah mau diambil sama Belanda neng sampe Dayeuh Kolot tapi temboknya jebol lagi jebol lagi,” ujarnya. Tembok yang dimaksud adalah tembok yang dibangun di depan mata air yang kini dipagar semen.
Pak Ujang sudah turun temurun menjaga kelestarian situ Cisanti. Tak terasa sudah 42 tahun sejak pertama kali ia menemani sang ayah membimbing para ziarah. Akan tetapi, di raut wajahnya terselip keresahan akan kelestarian Situ Cisanti ini. “Itu tergantung orangnya neng, kita sebagai orang tua sudah memberitahu segala sesuatu tentang situ ini. Tapi kalo anaknya gak “cocok” ya mau gimana lagi,” ujar kakak dari Atep Purnama, salah satu juru kunci Situ Cisanti juga.
Selain menjadi hulu dari Sungai Citarum, Situ Cisanti juga menyimpan keunikan tujuh mata air yang berkhasiat. “7 mata air ini diumpamakan sebuah nasihat orang tua untuk anaknya karena setiap mata air memiliki arti yang berbeda,” ujar dia. Mata air pertama yaitu Citarum, air yang suci dan sempurna. Mata air ini dikhusukan untuk pria. “Dulunya ada pohon tumbang tahun 74 jadi kebagi dua mata air, yang kiri Citarum yang kanan Cikahuripan,” ujarnya sambil menunjukkan sumber mata air Citarum.
Mata air kedua adalah Cikahuripan yang berarti air kehidupan. Cikahuripan bersebelahan dengan Citarum dan dikhususkan bagi perempuan. Terdapat sedikit pantangan bagi wanita yang sedang “datang bulan”. Ia dilarang mandi di dalam mata air. “Kalau mandi, dia bisa pingsan neng. Airnya kan suci, tidak mau dikotori,” ujar Ujang.
Mata air selanjutnya adalah Cikoloberes, diumpakan seorang manusia harus memiliki hati yang beres agar bisa menentukan pilihan yang tepat. Setali dengan Cikoleberes, mata air Cikawudukan memiliki filosofi seperti nasi uduk. “Nasi uduk kan putih dan rasanya enak, maka kita gak boleh ngomong seenaknya, nanti orang lain terluka.”
Pria yang selalu menebar tawa seusai menjelaskan tentang situ ini mengumpamakan Cisadane dan Cihaniwung, mata air selanjutnya sebagai patokan perilaku manusia. Cisadane mengarah ke utara sedangkan Cihaniwung mengarah ke selatan. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan manusia harus selalu seimbang antara dunia dan akhirat.
Di sela-sela saya bertanya ini-itu, Ujang juga menyelingi cerita asal-usul kata “Sunda”, “Bandung”, dan “Padalarang”. “Sunda itu artinya tauhidnya udah disusun di dada masing-masing jadi lahirlah Sunda. Kalau Bandung artinya bapak jeung indung. Nah mereka kan suka melarang, jadi aja ada Padalarang,” ujarnya sambil tertawa lepas mengantarkan saya ke makam Dipati Ukur.
Makam Dipati Ukur terletak di atas wilayah mata air Citarum dan Cikahuripan. Dengan berjalan kaki kurang lebih lima menit menyusuri jalan setapak, akhirnya saya sampai di makam pria antipenjajah ini. “Di sini ada empat makam lainnya, salah satunya ibu dari Dipati Ukur, Ibu Ningrum,” ujar Ujang.
Ternyata di makam sudah menunggu peziarah asal Banjaran, Jawa Barat yang akan berdoa di makam Dipati Ukur. “Saya baru pertama kali ke sini. Ini juga diajak sama anak,” ujar Ijul, salah satu peziarah. Ia datang bersama anak dan cucunya ingin melihat peruntungan di masa depan melalui sebuah rotan.
“Ini bukan musyrik neng, soalnya kita tetap niat berdoanya kepada Allah SWT lewat rotan ini. Kan rotan ini tanaman, sama-sama makhluk hidup," ujar Ujang sembari memotong rotan yang akan dipakai peziarah.
Peziarah merentangkan tangannya sembari memegang rotan yang dipanjangkan di depan dada. “Diukurnya sebelum berdoa, nanti setelah berdoa bisa dilihat hasilnya seperti apa,” ujarnya. Percaya tidak percaya, saya melihat “keajaiban” bahwa salah satu rotan peziarah menjadi sedikit lebih panjang dibanding sebelum berdoa.
Saya berada di Situ Cisanti kurang lebih dua jam dengan mata tertegun memandang langit siang itu. Namun, keindahan langit saat itu berbanding terbalik dengan keadaan sekitar Situ Cisanti. “Pemandangan situnya bagus sih, cuman banyak sampah yang berserakan dan eceng gondok yang membuat situ terlihat kotor,” ujar Rohman, salah satu pengunjung asal Bandung. Memang setelah saya amati, hanya terdapat tiga tempat sampah berjarak sangat jauh satu sama lain.
Setali dengan rasa kekecewaan Rohman, Ujang sebagai juru kunci juga suka merasa geram bila terdapat orang yang menyalahkan banjir Citarum akibat kiriman air dari Situ Cisanti. “Neng, mau musim hujan atau kemarau air situnya mah segini-gini aja. Kalau banjir dari Sungai Citarum itu bukan dari sini,” ujarnya.
Terdapat dua anak sungai yang bermuara di Sungai Citarum, sungai dari Kertasari dan sungai dari Ciseke. “Kedua air dari sungai itu berasal dari hutan. Hutannya itu sebagian udah gundul dan mengalami sedimentasi, jadi alirannya makin sempit,” ujar Ujang. Maka tak heran bila sungai Citarum meluap. “Kalau bukan generasi neng, siapa lagi yang akan melestarikan?” ujarnya sambil tersenyum menyimpan harapan.