Layangan Penghantar Angan

CNN Indonesia
Kamis, 08 Jun 2017 08:28 WIB
Cerita tentang desa yang warganya sebagian besar membuat layang-layang dan lika-liku kehidupannya.
Ilustrasi bermain layang-layang. )Foto: ANTARA FOTO/Adwit B Pramono)
Sumedang, CNN Indonesia -- Matahari terhalang awan ketika saya sampai di Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Batu kerikil dan debu yang tersapu ban motor membuat saya spontan menutup hidung. Suasana di sepanjang jalan terbilang sepi, hanya ada beberapa pekerja bangunan yang sedang mengecat tembok dan membuat parit. Setelah 15 menit mencari, akhirnya saya sampai di Kantor Desa Cipacing. Namun, karena libur kantor pun tutup.

Di depan kantor yang dominan berwarna putih itu, beruntung saya bertemu dengan Apit. Pria paruh baya tersebut adalah salah seorang pegawai desa. Menurutnya, di desa ini jumlah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan masih lebih banyak jika dibandingkan dengan masyarakat menengah ke atas. “Di semua desa kemiskinan itu pasti ada. Namun, tentunya kemiskinan di sini terbagi menjadi beberapa katagori. Apakah kemiskinan bawaan atau miskin dadakan. Hal tesebut menjadi penyebab terjadinya kemiskinan tersebut,” ujarnya.

Ia menambahkan, kemiskinan tidak dapat dinilai secara kasat mata. Terkadang ada orang miskin tapi menampilan seperti orang kaya dan sebaliknya. “Sampai saat ini kami masih mengupayakan untuk mengurangi kemiskinan di desa ini,” katanya.

Menurut Apit, masyarakat desa memiliki mata pencaharian yang bervariasi. Mulai dari pengrajin, buruh pabrik, pekerja serabutan, dan pedagang. “Kalau di bidang pertanian, paling hanya jadi buruh tani. Karena semakin ke sini lahan pertanian semakin sempit, memang masih ada tapi sebagian besar sudah menjadi apartemen dan kos-kosan”.Di akhir perbincangan, ia menyarankan saya untuk menemui beberapa ketua Rukun Tetangga atau RT. “Mereka yang lebih tahu data kemasyarakatan karena mereka yang berhubungan langsung dengan masyarakatnya,” ujanya.

Tak menunggu lama, saya langsung mencari rumah salah satu RT di sana. Sekitar dua menit waktu tempuh menggunakan sepeda motor, saya sudah dapat menemukan rumah Nana, Ketua RT 03/RW 14. Di sepanjang gang, saya dapat melihat beberapa warga yang sedang membuat layangan sambil bercengkrama di teras rumah masing-masing. Di beberapa rumah lainnya terlihat kerangka layangan dan kertas yang menumpuk. Jika diperhatikan, semua rumah penduduk di RT 03 ini memiliki material layangan masing-masing.

Menurut Nana, daerah ini termasuk Desa Cibeusi. Program pemekaran desa yang dilakukan sejak 15 tahun lalu membuat Desa Cipacing dengan Desa Cibeusi terpisah. “Di desa ini ada 38 kepala keluarga. Kebanyakan bekerja sebagai pengrajin layang-layang”. Ia menceritakan, di daerah ini dulunya terdapat lahan pertanian yang luas namun seiring berjalannya waktu mulai terjadi alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan tersebut dimulai sejak 1975 silam. Terhitung pada 2010 hingga saat ini, pembangunan perumahan di Cibeusi benar-benar menggerus lahan perkebunan.

Hal ini menyebabkan masyarakat desa beralih pekerjaan ke buruh pabrik atau garmen. “Kalau pekerjaan sebagai pengrajin layangan sudah dilakukan warga sini sejak kurang lebih 50 tahun lalu, sejak saya kecil di sini memang sudah menjadi pusat pembuatan layangan”. Nana menceritakan, kegiatan pengrajin layangan sudah mendarah daging di wilayah ini. Layangan sendiri merupakan produksi rumahan, tidak ada pabrik besar yang khusus memproduksi layangan. Namun, di sana terdapat beberapa bandar layangan yang mengumpulkan semua layangan dari beberapa rumah.

Beberapa warga memiliki modal sendiri dalam membuat layangan. Sisanya menjadi buruh yang bekerja di pengepul layangan. “Sebetulnya hasil dari pembuatan layangan sangat minim. Karena tidak ada pekerjan lain, masyarakat tetap melakukan pekerjaan ini. Walau demikian, permintaan akan layangan terus ada setiap bulannya”.

Permintaan paling banyak biasanya di bulan Maret, seharusnya di bulan Februari pun banyak namun karena musim hujan, permintaan menjadi menurun. Permintaan paling sepi biasanya pada bulan Agustus. Satu rim yang jumlahnya 1000 layangan dihargai Rp. 140.000,- dalam waktu pembuatan tiga sampai empat hari. Ia mengaku bahwa penghasilan tersebut kurang, mengingat kebutuhan hidup yang tak ada habisnya.

Usai berbincang dengan Nana, saya tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang layangan. Nana mengantarkan saya ke rumah Ketua RW 14 dengan berjalan kaki. Di perjalanan saya melewati beberapa gang, seperti sebelumnya, di beberapa rumah terlihat warga yang sedang membuat layangan baik laki-laki maupun perempuan.

Saya akhirnya tiba di depan rumah Ujang Suhendi, Ketua RW. 14, Desa Cibeusi. Di dalam rumah, terlihat istrinya sedang meraut bambu untuk kerangka layangan dengan beberapa layangan yang telah jadi di sebelahnya. Ujang menuturkan, di RW yang terdiri dari 120 kepala keluarga ini memang kebanyakan penduduk bekerja sebagai pengrajin layangan. “Sekitar lebih dari 80 persen memang penduduk bekerja sebagai pengrajin layangan. Sebagian lainnya sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta,” ujarnya.

Sebagai penduduk asli Desa Cibeusi, Ujang menuturkan, usaha pengrajin layangan di desa ini adalah warisan turun temurun. Pekerjaan ini telah dilakoni nenek moyang sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Namun, seperti yang Nana katakan, Ujang pun berpendapat bahwa upah atau penghasilan dari pekerjaan tersebut sangat minim.

“Katakan kalau per-bal pengrajin membuat layangan 1000 biji dengan penghasilan Rp. 150.000,-. Dikerjakan satu keluarga minimal istri dan kepala keluarga, itu paling cepat tiga hari. Jadi 150 dibagi tiga hari 50 ribu, bagi dua istri dan suami. Jadi terhitung Rp. 25.000,- per hari jika untuk pengrajin,” ujar Ujang.

Ujang menambahkan, layangan dari desa ini telah dikirim ke Jawa, Surabaya, Madura, Sumatra, bahkan Kalimantan. Untuk bahan baku, para pengrajin biasanya dikirimi bambu dari Tanjungsari dan Rancakalong, Sumedang. Untuk kertas biasanya banyak di toko-toko. “Berbicara mengenai keahlian membuat layangan, rata-rata warga sudah bisa tanpa diberi pelatihan terlebih dahulu. Mereka memperhatikan orangtua mereka ketika sedang membuat layangan sejak kecil. Jadi mereka sudah biasa,” katanya.

Pengrajin layangan di desa ini tidak terpatok usia. Terkadang anak SD sudah mampu membuat layangan sendiri. “Jika dibanding daerah lain, desa ini anak-anaknya banyak yang memiliki penghasilan sendiri. Namun, tetap kembali pada tingkat kerajinan si anaknya,” kata Ujang.

Ujang menegaskan, kemajuan usaha layangan ini tergantung pada keterampilan pengusaha. Di desa ini ada seorang pengusaha yang sangat sukses. Dari usaha layangan ia dapat membeli rumah, mobil, tanah, dan penghasilannya sampai miliaran rupiah. Namun, kesuksesan pengusaha tersebut sedikit tidaknya berpengaruh terhadap pengusaha lain di sekitarnya. “Pengusaha lain bukan berarti lumpuh total tapi tertutupi oleh perusahaan besar tersebut. Sebetulnya usaha layangan juga tidak bisa dianggap remeh jika manajemennya baik”. Tak jarang juga perusahaan ada yang merosot atau bahkan bangkrut karena kalah saing.

“Layangan-layangan dari Cibeusi ini masih diminati karena layangan seperti ini digemari oleh berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak bahkan sampai orang tua. Harganya pun sangat murah, di daerah sini mah paling mahal 500 perak. Beda dengan layangan dari daerah lain yang memproduksi layangan hias. Biasanya layangan hias hanya dipakai dalam waktu-waktu tertentu dan harganya pun mahal,” ungkap Ujang.

Layangan Cipacing telah terkenal walau sebenarnya pusat pembuatannya ada di desa tetangganya yaitu Cibeusi. Masuknya layangan Cibeusi ke pulau-pulau lain di Indonesia tidak serta merta membuat pengrajinnya sejahtera. Ujang mengaku, warga Desa Cibeusi masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.

“Kemiskinan tidak hanya dapat dilihat dari fisik rumah. Sekarang sudah jarang rumah dengan atap jerami, di lapangan terkadang rumah sudah terlihat layak tapi kenyataanya pemilik masih belum bisa menyekolahkan anak bahkan sampai tingkat menengah pertama,” ucap Ujang. Ia melanjutkan, terkadang yang rumahnya jelek tapi memiliki tanah di mana-mana. Jadi kemiskinan tidak bisa dinilai dari fisik rumah seperti yang dikriteriakan oleh pemerintah.

Ujang sempat menyinggung tentang program pemerintah yaitu Kredit Usaha Rakyat. Menurutnya program itu bagus namun masih sulit utuk dilakukan. Ia berharap program tersebut dapat dipermudah untuk membantu usaha masyarakat menengah ke bawah khususnya orang-orang miskin. Saat ini program tersebut masih menerapkan syarat-syarat tertentu yang sulit untuk dipenuhi masyarakat. Seperti harus adanya jaminan sebelum meminjam modal. Kenyataannya, tanpa agunan para pengrajin sulit mendapatkan pinjaman modal. Tidak semudah yang pemerintah katakan.

“Bapak merasa prihatin, kadang ada warga yang meminjam ke bank keliling. Mereka meminjam uang dengan bunga yang sangat besar. Bahkan warga saya sendiri sudah ada yang tercekik gara-gara bank keliling itu. Secara pribadi saya tahu sendiri, bukan hanya di daerah ini tapi di daerah-daerah tetangga juga ada yang terjerat dengan bak seperti itu. Nah jika program pemerintah tadi tersalurkan dengan baik, tidak mungkin warga meminjam ke bank-bank keliling,” pungkas Ujang.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER