Bandung, CNN Indonesia -- Gruduk! Bagian bawah sepeda motor saya terkena bebatuan dengan ukuran sebesar buah melon. Suara tadi sempat membuat panik suasana sebab merusak sepeda motor milik orang yang tidak dikenal memang akan berabe.
Satu rekan saya saat itu ikut menumpang, menemani saya untuk menjajal kesegaran air Sendang Geulis Kahuripan. Pedal gas dan rem tangan bergantian saya kuasai tanpa henti. Kedua lengan saya mengalami gemetaran hebat, keringat mengucur cukup deras, hati tidak tenang.
Di belakang, dua rekan kami di sepeda motor lain terlihat meringis, ikut merisaukan situasi. Batu-batu dengan variasi ukuran dan bentuk itu terus mengganggu kelancaran berkendara. Rupanya ini perjuangan yang harus kami tempuh, kira-kira satu kilometer lagi untuk sampai, setidaknya ke pos gerbang tempat wisata mata air tersebut.
Sendang Geulis Kahuripan atau masyarakat sering juga menyebutnya sebagai Talaga Cikahuripan merupakan telaga yang bersumber dari aliran air Gunung Burangrang.
Sendang Geulis Kahuripan yang masih memasuki wilayah Perum Perhutani ini sendiri bermakna kolam alami yang cantik dan memberi kehidupan. Telaga ini berlokasi di Desa Ganjarsari, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, dua setengah jam waktu tempuh dari Kota Bandung.
Rute yang bisa ditempuh dari Bandung adalah melalui pasar Padalarang, lalu masuk ke wilayah Cikalong Wetan. Tak lama setelah batas kecamatan, di sebelah kanan terdapat jalan kecil dengan gapura berbentuk nanas. Masuk ke jalan tersebut dan ikuti terus jalannya.
Letaknya yang berada di kaki gunung membuat iklim di sekitarnya terasa sejuk, serta air yang tumpah dari gunung itu jika menyentuh tangan maka badan akan bergidik sejenak akibat dingin dan segarnya air tersebut.
Airnya yang sangat jernih menjadi keunikan tersendiri. Saking jernihnya, jika air sedang tidak beriak, maka akan sangat terlihat dasar kolam dengan susunan bebatuan yang diselimuti lumut tipis. Persis seperti visualisasi yang terdapat pada iklan salah satu produk air mineral.
Dari kolam itu, kemudian air turun dengan deras, membentuk sebuah air terjun setinggi kurang lebih lima meter.
Dengan biaya tiket masuk sebesar Rp10.000 per orang, pengunjung dapat menikmati keindahan alam Desa Ganjarsari dan kenikmatan serta kesegaran membasuhi tubuh dengan mata air Cikahuripan tersebut.
Selain berendam, pengunjung biasanya mengambil foto di dalam air. Tak jarang pengunjung sengaja mempersiapkan action cam, lengkap dengan aksesoris penunjangnya seperti housing agar kamera tidak kemasukan air, serta dome agar dapat membuat foto kombinasi keadaan di atas air dan di dalam air, istilah bekennya split underwater photography.
Bagi mereka yang tidak membawa atau mempunyai action cam, kamera telepon pintar pun menjadi andalan. Kantung telepon anti air khusus pun disediakan oleh pedagang di sana dengan mematok harga Rp 30.000 per kantung.
Fasilitas yang ada cukup lengkap, seperti kamar bilas, WC, surau kecil, beberapa saung untuk menyimpan barang-barang, warung, dan sebagainya.
Atas banyaknya pengunjung yang datang, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sendang Geulis Kahuripan selaku pengelola sengaja membuat kolam renang buatan pada 2008 untuk menghindari pengunjung yang terlalu membludak.
Perjalanan penuh perjuangan Akses jalan dari batas antara desa dengan hutan ke tempat wisata Sendang Geulis Kahuripan memang rusak, didominasi oleh bebatuan besar, sisanya beralaskan rumput dan tanah yang jika basah berubah menjadi lumpur.
Sebenarnya pada awal rute, terdapat jalan khusus untuk sepeda motor di sisi kiri, namun kondisinya tak jauh berbeda. Jalannya sempit, sangat licin, di sisi kiri terdapat barisan pohon dan semak liar, dan sisi kanan adalah jurang yang tidak dalam, tapi kalau jatuh tetap berurusan dengan nyawa.
Saking sempitnya, ketika berpapasan dengan sepeda motor lain, salah satunya harus mundur mengalah, mencari tepian yang cukup lega untuk menyingkir, demi kemaslahatan perjalanan.
Tak lama, jalan tersebut menyatu kembali bersama jalan utama yang berbatu, dan pengendara harus rela menempuh perjalanannya dengan konsekuensi yang diterima ialah badan yang pegal-pegal ketika sampai.
Sekitar 100 meter dari pertemuan jalur tadi, kami dihadapkan oleh genangan air bercampur lumpur dengan ketinggian yang bervariasi pula. Menggenangi jalan sepanjang 10 meter dengan bagian genangan terdalam sekitar 20 cm.
Mulanya kami ragu, namun atas rasa penasaran kami beranikan diri untuk melaluinya, dengan perasaan cemas yang cukup tinggi. Sepeda motor yang saya kendarai beberapa kali terperosok ke bagian jalan tergenang yang dalam, pun sepada motor rekan yang lain. Setelah terbebas dari genangan tersebut, saya berpikir tadi merupakan rintangan terakhir.
Prediksi positif saya salah. Genangan lain hadir di depan mata. Kami menyerah. Saya dan satu rekan saya memilih melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, yang tersisa memilih menunggu karena sudah pesimis dengan apa yang akan terjadi di depan jalan.
Berjalan kurang lebih 300 meter, akhirnya kami sampai di pintu masuk tempat wisata. Ternyata, kami harus menuruni jalan bebatuan lagi, 200 meter lagi menuju sumber mata air yang diyakini terjernih dan tercantik se-Bandung Raya itu.
Perjalanan ini bak menyusuri etape triatlon. Bagi pengunjung, kesabaran dan stamina yang cukup merupakan hal-hal yang penting untuk dibekali ketika akan mengunjungi tempat indah ini.
Memang pemberi kehidupan “Sejak zaman sesepuh dulu, telaga ini dikunjungi orang kalau mau pinter, dapet jodoh, menyepi, wiridan. Banyak doa yang mereka sampaikan di sini,” cerita Kusnadi, bendahara LMDH Sendang Geulis Kahuripan yang saat saya kunjungi tengah berada di lokasi.
Karena banyak yang melakukan ritual di sini, Abah, sapaannya, membuka jongko, dibantu istri dan anaknya. Ia merupakan putra asli Desa Ganjarsari yang hingga saat ini mengabdi untuk menjaga dan mengelola aset yang mereka punya.
“Mata air ini dipercaya bisa memberi keberuntungan untuk siapa saja yang datang berdoa di sini,” jelasnya menggunakan bahasa Sunda dengan logat yang sangat kental. Ia memang masih sukar berbahasa Indonesia.
Pada 2002, petugas Perhutani berdiskusi dengan warga setempat dengan tujuan membuat riungan untuk mengelola tempat tersebut. Warga diminta menggali potensi tempat seperti membuat kelompok tani dan kelompok perairan. Rencana itu terealisasi hingga kini.
Kemudian pada 2004, Suhli, pihak Perhutani menggagas tempat munculnya mata air itu untuk dijadikan objek wisata. Akhirnya sampai saat ini Sendang Geulis Kahuripan terus dikembangkan menjadi objek wisata perarian.
“Dulu tiket masuknya cuma 500 rupiah, bikin karcis juga sendiri. Sekarang mah tiketnya sudah dicetak resmi dari Perhutani,” ungkap Abah.
Menurut penuturan Abah, ketika musim libur panjang, khususnya lebaran. Pengunjung akan datang membludak, sehingga dalam satu bulan, LMDH bisa menghimpun uang hasil tiket masuk sebanyak Rp 80 juta.
“Penghasilan itu kami bagi kepada desa, Perhutani, biaya perkebunan, penjual tiket, dan sisanya untuk LMDH,” terang Abah sembari berpikir keras untuk menghitung persenan setiap elemen.
Aliran dari Sendang Geulis Kahuripan ini nantinya akan memberikan “kehidupan” berumah tangga kampung-kampung di bawah Ganjarsari seperti desa Mandalamukti, Cipta Gumati dan Cipada, serta pengairan sawah-sawah di Cirata.
Sedangkan air untuk desa Ganjarsari ini didapat justru dari mata air terdahulu yakni mata air Cisaladah, satu jam dari desa Ganjarsari.
Air ini juga dahulu dimanfaatkan untuk kegiatan Perkebunan Teh Pangheotan yang kini tengah mengalami kebangkrutan.
“Ah, sudah gak tahu kabarnya perkebunan teh itu.”
Abah menyisipkan cerita tentang diincarnya Sendang Geulis Kahuripan oleh beberapa perusahaan untuk dijadikan sumber produksi air minum kemasan.
“Sempat diteliti, untung tidak benar-benar jadi,” ujar Abah sambil sedikit tertawa. “Padahal kalau musim hujan sepintas airnya jadi keruh.”
Berkeluh pada Abah Kami harus berpamitan dengan Abah, sebab langit mulai mendung dan sudah terdengar gemuruh halilintar seakan memberi peringatan untuk bergegas. Kasihan rekan kami yang harus menunggu di tengah bukit sana.
Sebelum memberi ucapan perpisahan, kami sedikit menyinggung masalah medan yang sangat sulit ditempuh untuk sampai ke telaga. Beliau pun ikut menggeleng kepala menandakan betapa sulitnya juga ia berkonsolidasi kepada pemerintah desa.
“(Masalah) ini teh sudah diajukan permohonan perbaikan jalannya ke desa. Belum ada kabar lagi,” sesalnya. “Makanya kami perbaiki seadanya saja, seperti bikin jalan motor yang ada di depan,” rujuk Abah kepada jalan licin bin sempit yang saya lewati tadi.
Kekecewaan Abah menyiratkan adanya upaya besar yang telah ia dan seluruh personel LMDH Sendang Geulis Kahuripan lakukan meski belum seberapa.
“Inshaa Allah lah ada perbaikan di tahun ini,” lanjutnya berusaha meyakinkan saya. Saya amini pernyataan Abah.
Saya berpisah dengan Abah. Sambil berjalan menuju pintu keluar, saya melihat sekumpulan anak muda gagah bertelanjang dada, sepertinya bersiap untuk membilas diri setelah puas berendam. Tak sengaja saya mendengar percakapan di antara mereka.
“Pas ke sini badan pegal, pas nyebur badan jadi segar, sih,” sahut seorang pemuda. “Tapi pulangnya pegal lagi bawa motor jalannya kayak begitu,” tampik temannya.
Mendengar hal itu rasanya saya tidak mau pulang melewati jalan yang sepantasnya jadi arena
off road itu lagi.