Bandung, CNN Indonesia -- Bukan berapa lama yang membuktikan tempat itu populer, melainkan apa yang terdapat dalam tempat itu. Hal ini dibuktikan oleh Museum Upside Down World di Dipatiukur, Bandung. Museum yang berdiri sejak Oktober 2016 telah berhasil menarik sekitar 5.000 pengunjung hingga saat ini.
Bangunan Upside Down World dari luar terlihat sederhana. Letaknya pun berjejeran dengan rumah penduduk di sekitarnya yang terletak di Jalan Haji Wasid. Namun bangunan ini memiliki plang bertuliskan Upside Down World sebagai identitasnya.
Hari Sabtu pukul 10.30 saya tiba di tempat ini. Walaupun saya mengunjunginya saat akhir pekan, bagian depan bangunan tersebut masih terlihat sepi karena baru dibuka pada pukul 10.00. Hanya ada beberapa mobil yang parkir di sana. Antrean di loket pembelian tiket masuk pun belum mengular.
Frederick adalah kepala cabang Upside Down World Bandung. Ia menjelaskan alasannya untuk membuka cabang Upside Down World adalah karena melihat potensi di Kota Bandung. “Kami melihat bahwa Bandung adalah tempat yang strategis untuk dibukanya tempat wisata ini,” katanya.
Ia menghadirkan konsep foto terbalik karena hal itu sangat unik dan mampu menarik pengunjung. “Orang-orang yang berwisata lebih suka tempat yang unik, sehingga ketika mereka berwisata, mereka bisa menghasilkan foto yang unik untuk mereka pamerkan di Instagram,” jelasnya.
Untuk masuk ke tempat ini, pengunjung yang berusia 12 tahun ke atas membeli tiket seharga Rp100.000. Sedangkan untuk anak-anak hanya Rp50.000.
Sebelum masuk, pengunjung wajib melepas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu yang tersedia. Loker pun disediakan apabila pengunjung tidak ingin repot membawa barang bawaannya selama menjelajahi museum ini.
Tirai hitam menjadi pembatas antara ruangan loker dan wahana pertama. Ruang keluarga yang bergabung dengan ruang makan merupakan wahana pertama yang disediakan di museum ini. Semua benda pendukung wahana tersebut diletakkan secara terbalik di dinding dan di langit-langit.
Setiap wahana memiliki satu orang pemandu untuk membantu pengunjung berpose dan memotret agar bisa menghasilkan foto yang pas. Mereka berperan sebagai pengarah gaya bagi pengunjung. Posisi badan, letak anggota tubuh, dan arah pandangan pun mereka atur agar menghasilkan foto yang sesuai dengan efek dunia terbalik.
Pemimpin tim pemandu tersebut adalah Ryan yang saat itu sedang bertugas sebagai kasir. Ia menjelaskan bahwa para pemandu menjadi ahli dalam mengambil gambar dan mengarahkan pose pengunjung karena mereka mengikuti pelatihan mengenai bagaimana cara mengambil gambar yang tepat. “Pelatihannya tidak lama,” ungkapnya.
Museum yang berkonsep rumah ini menyediakan wahana berupa ruang yang ada dalam suatu rumah. Selain ruang makan dan keluarga, ada juga kloset, kamar mandi, dapur, teras depan, ruang depan, ruang cuci baju dan kamar tidur dengan tiga macam dekorasi. Bahkan gudang anggur yang tak lazim ada di rumah-rumah Indonesia pun tersedia di museum ini.
“Konsep ini katanya setiap bulan akan diganti,” kata Frederick ketika ditanya mengenai penambahan konsep dalam Upside Down World. Saat ini konsep yang ada belum bisa ditambah sebab bangunan yang mereka tempati masih berupa satu lantai. Walaupun saat ini masih mengganti konsep, Frederick berharap museum ini bisa menjadi bangunan yang lebih besar dengan konsep yang lebih banyak.
Kloset adalah ruang ganti yang berisi pakaian dan asesori milik wanita. Di Upside Down World, kloset dihias dengan rak sepatu yang juga berisi tas dan manekin. Semua ornamen tersebut disusun secara terbalik.
Wahana kamar tidur di Upside Down World memiliki tiga jenis dekorasi, yaitu dekorasi biasa, Hello Kitty, dan bertema musik rock. “Wahana yang paling disukai itu kamar bernuansa Hello Kitty,” ucap Nadia, salah seorang pemandu di Upside Down World. Walaupun gudang anggur menarik sejumlah wisatawan untuk berfoto saat itu, tetap saja Hello Kitty menjadi wahana yang disenangi oleh pengunjung.
Kamar tidur bernuansa Hello Kitty dirancang sebagaimana kamar anak perempuan kecil pada umumnya. Tempat tidur dengan boneka Hello Kitty besar, dinding warna merah muda, dan meja rias yang berwarna senada. Di sebelahnya pun terdapat ruangan yang dipenuhi dengan boneka dan mainan khas anak perempuan.
Sedangkan kamar bernuansa musik rock dihias dengan ornamen kamar yang bersifat maskulin. Fooseball, meja biliar, dan sofa ada di kamar tersebut. Dindingnya dihias dengan lukisan grafitti yang bertuliskan ROCK.
Gudang anggur terletak di pojok Upside Down World, berbatasan dengan dapur di sebelah kirinya. Konsep gudang anggur ini menyediakan dua buah tong anggur dan beberapa botol anggur dalam rak. Dindingnya dihias dengan batu-bata.
Hal yang unik dari museum ini adalah mereka menggunakan barang-barang bekas untuk ornamen ruangan mereka sehingga terlihat orisinal. Ruangan dapur, contohnya, menggunakan panci bekas, kulkasnya pun diisi dengan beberapa botol dan kotak susu kosong yang sudah terpakai. Televisi dan sofa di ruang keluarga pun merupakan barang bekas yang masih bagus kualitasnya.
Wahana teras depan menggunakan konsep teras vintage yang populer di kalangan anak muda. Teras depan dihiasi dengan sepeda, kursi santai dan beberapa pot bunga yang disusun secara terbalik. Dindingnya tidak monoton dan dihias dengan jendela dan pintu. Berpose di wahana teras depan ini cukup menantang. Pemandu foto wahana tersebut pernah mengarahkan gaya saya untuk memanjat dinding agar menghasilkan kesan terbalik yang realistis.
Museum ini dilengkapi pula dengan rest area di sebelah wahana teras depan apabila pengunjung merasa penat ketika berkeliling. Rest area ini dilengkapi dengan beberapa meja dan kursi. Di sebelahnya, terdapat toko suvenir apabila ada pengunjung yang ingin membeli kenang-kenangan dari Upside Down World.
Saat saya sedang beristirahat di rest area ini, saya melihat kebanyakan pengunjung museum kala itu adalah keluarga dan anak muda. Saya jadi teringat pernyataan Frederick mengenai segmentasi museum ini. “Kami menargetkan keluarga dan anak muda sebagai segmentasi pasar kami,” paparnya.
Sampai saat ini, museum Upside Down World telah dikunjungi lebih dari 5000 orang. Para pengunjungnya tidak hanya berasal dari penjuru Jawa Barat, tetapi juga dari Jakarta dan sekitarnya. Karin adalah salah satu anak muda dari Jakarta yang saya temui di wahana gudang anggur. Ia mengaku terkesan dengan kekreativitasan perancang mendesain museum ini.
Rest area tersebut dilengkapi juga dengan tempat pencetakan foto. Pemandu siap sedia apabila ada pengunjung yang kesulitan dalam mencetak foto. Tak jauh dari situ ada tirai hitam yang menandakan berakhirnya kunjungan kita di museum yang sedang naik daun ini.