Bandung, CNN Indonesia -- Jurnalisme yang miskin adalah bagian dari masalah Kemiskinan.
Saat saya sedang menulis paper tentang jurnalisme kemiskinan (
poverty journalism). Saya sempat meminta saran kepada kawan junalis di Amerika Latin dan Inggris. Dia bilang:
think the poverty of journalism first before writing poverty journalism.
Jirrr terasa ditampar…tapi bener juga euy. Kualitas jurnalisme yang miskin, tak mungkin bisa membuat jurnalisme mengangkat persoalan kemiskinan.
Then she says: Ada bias struktural dalam jurnalistik.
Bias struktural media itu: struktur berita lebih banyak memuat berita-berita ekonominya industri kelas perusahaaan, bukan tentang keterbatasan kesempatan dan akses orang-orang miskin. Lebih suka berita
hit and run.
Bias struktural juga karena umumnya jurnalis itu adalah kelas menengah perkotaan. Tapi kurang menjiwai soal kemiskinan. Melihat kemiskinan tak cukup dari angka-angka statistik.
Di perkotaan, apalagi pedesaan, suka ada
hidden area.
Hidden area ini berbeda dengan
slum area.
Slum area umumnya terlihat. Tapi
hidden area ini terisolasi, meski dekat perkotaan.
Di Bandung raya misalnya, di kawasan Bandung Utara sebelah timur. Konturnya berbukit-bukit, jalannya buruk. Masyarakatnya terisolasi karena: tidak ada internet, tidak bisa menangkap siaran radio/televisi. Ongkos transport mahal. Ini
hidden area yang jarang diangkat oleh media. Kalaupun ada, hanya selintas.
Di
hidden area selalu ada
hidden variable yang sifatnya lokal dan tidak tercantum dalam teori ekonomi makro pembangunan.
Dua jenis bias struktural itu yang membuat jurnalisme jadi garing, tak membebaskan. Ini maksudanya
poor journalism atau
the poverty of journalism. Ini yang dialami kawan-kawan jurnalis di Amerika Latin. Beberapa kawan di sana merumuskan kriteria keberhasilan sebuah liputan
hidden area. Mereka memetakan opini masyarakat di
slum dan
hidden area.
Masyarakat di sini luas: warga miskin, LSM, birokrat dan last but not least… organisasi keagamaan. Di Amerika Latin, tidak mungkin mengangkat taraf hidup
slum area atau
hidden area tanpa melibatkan peran pastor/gereja Katolik. Gereja membaca media. Gereja memerintahkan rohaniawannya pada tingkat akar rumput untuk menjadi motor pembangunan lokal.
Sedikit tentang organisasi keagamaan, kenyataan di Indonesia sangat jarang media mewawancarai organisasi keagamaan di tingkat akar rumput. Media umumnya mewawancarai camat, lurah, kepala desa, atau LSM. Padahal sikap organisasi keagamaan sangat penting.
Sepertinya media juga harus menghadirkan tokoh informal seperti MUI, Ormas keagamaan lokal. Mereka harus diwawancara dan digali pandangannya tentang kemiskinan di areanya. Media harus tahu apakah organisasi-organisasi keagamaan ini mendakwahkan hal-hal relevan dengan lokalnya.
Misalnya: apakah masjid atau gereja di daerah tandus selalu menggelorakan tentang pentingnya menangkap air (hujan), merawat sumber air, dan menghemat air? Menghutankan lagi daerah gundul dan sebagainya. Ataukah masjid atau gereja malah bercerita tentang hal-hal yang di luar konteks pengentasan kemiskinan lokal, seperti misalnya banyak membahas soal khilafiyah dan lain-lain?
Pandangan tokoh informal ini harus digali oleh media. Media harus mendorong tokoh keagamaan sebagai lokomotif pengentasan kemiskinan. Jangan sampai tokoh agama malah menjadi bagian dari kepasrahan semu. (*pengalaman saya pribadi: mencoba mendorong pendidikan di
hidden area. Eh saya dituding menganut aliran Islam sekte tertentu.
Dengan menggali semua narasumber, media akan melihat mozaik pemikiran di daerah miskin itu. Syukur-syukur semua elemen masyarakat satu persepsi. Yang sulit, kalau sudah beda persepsi antara warga, pemerintah lokal dan tokoh informal, maka upaya pengentasan kemiskinan jauh lebih rumit.
Sasaran
poverty journalism (jurnalisme kemiskinan) akan tercapai manakala reportase terus menerus itu bisa merangsang inisiatif warga lokal untuk memperbaiki taraf hidupnya, menuntut akses dan kesempatan yang sama kepada negara.
Jelas bahwa
poverty journalism itu punya ukuran, sasaran dan tujuan. Bila tidak, maka jurnalisme kita masuk dalam katagori
poor journalism atau
the poverty journalism, atau jurnalisme yang miskin. Jurnalisme yang miskin bukanlah bagian dari pemecahan masalah kemiskinan. Dia adalah bagian dari masalah kemiskinan itu.
Budhiana Kartawijaya
Wartawan Senior Pikiran Rakyat