Tokoh Inspirasi: Yustedjo Tarik, Legenda dan Kontroversi

CNN Indonesia
Selasa, 20 Jun 2017 13:42 WIB
Di usianya yang ke 64 tahun, legenda tenis Indonesia ini masih saja terlihat gesit. Apa saja aktivitasnya kini dan bagaimana ia memandang tenis Indonesia?
Petenis legendaris Yustedjo Tarik (Foto: UGC CNN Student/Muthia Trihandini)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berani berbuat berani bertanggung jawab, kalimat itulah yang tepat untuk melambangkan sosok mantan atlet tenis Yustedjo Tarik. Di usianya yang ke 64 tahun, ia masih saja terlihat gesit saat berlari di lapangan. Ia sekarang masih hilir mudik di lapangan sebagai guru privat tenis pengusaha besar dan pejabat di Indonesia. Sebut saja Abu Rizal Bakrie dan Ardi Bakrie yang sering beradu tenis dengannya.

“Larinya masih gesit, tapi pertandingan tadi saya yang menang kok,” ujar Ardi diikuti gelak tawa. Ketika saya temui di Elite Club Epicentrum, Yustedjo Tarik yang akrab dipanggi Tedjo sedang bermain tenis bersama Ardi Bakrie dan juga teman partnernya ketika di Asean Games yaitu Hadiman.

Setelah menyelesaikan permainan itu, ia tidak tinggal diam dan langsung bergegas untuk pindah ke lapangan lain. Ia pun berkata kepada saya, tadi main sama yang muda sekarang main lagi sama yang tua diikuti tawa oleh saya dan Tedjo. Sesampainya di lapangan ia bermain dengan teman-temannya yang usianya sudah 65 tahun ke atas.

“Pak Tedjo ini guru kami semua, meski sudah tua masih saja lincah,” kata mantan atlet voli Nilo yang bermain tenis bersama Tedjo. Dalam diri Yustedjo Tarik memang sudah mengalir jiwa olahraga yang diturunkan dari Ayahnya yang juga atlet tenis. Muhammad Yusuf Tarik dikenal sebagai petenis nasional di era 1930-an. Peninggalan lapangan orang tua di Kramat Sentiong pun menjadi langkah awal keinginan Tedjo untuk menjadi seorang atlet tenis.

Tahun 1971, ia melihat tenis dapat dijadikan lahan pencetak uang baginya, itu juga salah satu hal yang membuatnya menjadi atlet tenis. Sosok Sugiarto pelatihnya pun yang memotivasi dirinya hingga menjadi atlet tenis professional. Untuk mengejar impiannya Yustedjo Tarik hijrah dari lapangan keluarga di Kramat Sentiong menuju Senayan. Sosok pelatihnya pun tidak dapat lagi ia temukan pada pelatih atlet tenis sekarang ini. Menurut Tedjo, seorang pelatih atlet harus berpaket komplit dan memiliki kemampuan menemukan bibit-bibit unggul.

Saat menjadi pelatih, Yustedjo berhasil membawa tiga junionya yaitu, Sunu Wahyu, Anthony Tan, dan Sandy Purnomo, ke ajang kejuaraan dunia junior Davis Cup di Essen, Germany. Usaha Yustedjo tak sia-sia karena ketiga juniornya ini berhasil meraih peringkat 10 besar dunia. Namun, tahun 2003, Yustedjo memilih untuk berhenti menjadi pelatih atlet tenis dan memilih untuk mengurusi baveti saja. Ia merasakan ketidakcocokan dengan pelti yang sekarang. “Pelti yang sekarang itu tidak ada mengerti tenis. Saya bilang peltinya sangat bodoh,” kata Yustedjo dengan sarkasnya.

Yustedjo Tarik memang dikenal sebagai atlet yang kontroversial. Pada saat pertandingan, ia tidak segan membanting raket dan berkata kasar jika ada yang mengganggu konsentrasinya. Hal itu dilakukan untuk menghibur penontonnya. Ia tidak ingin jika penonton bosan menonton pertandingannya, jadi ia menambahkan sedikit bumbu entertain dari pertandingannya. Lelaki yang mengidolakan Rod Laver ini, berhenti melakukan itu ketika keluar peraturan akan didenda 100 dolar bagi atlet yang membanting raket ketika pertandingan. Hal itu pun ia tahan terus sampai sekarang.

Kontroversi lain yang dilakukan Yustedjo bahkan sampai membawa dirinya tidak diperbolehkan bermain dan menjadi pelatih tenis. Hukuman yang diterima Yustedjo berasal dari tindakannya kesal terhadap pejabat negara. “Saya dan teman saya sudah mendapatkan peringkat 1 dan 2 dunia tapi masih saja di seleksi,” kesal Yustedjo mengingat hal itu. Ia yang tidak suka dengan keputusan itu kabur ke Pataya untuk mengikuti turnamen di sana. Namun, pada saat tiba di Bandara, Yustedjo dilarang pergi karena tidak ingin membela negara.

Kejadian kontroversi ini terulang lagi tahun 1982, saat itu bahkan nama Yustedjo Tarik hampir dicoret dari Asean Games. Lagi dan lagi, Yustedjo kembali kabur.

Kabur dari pelatnas ini ia lakukan untuk menguji coba dirinya bertanding di lapangan berumput. Asean Games kala itu akan dilakukan di India dengan lapangan berumput. Tiga minggu sebelumnya ia pun memutuskan lari ke Singapura karena kebetulan turnamen di sana menggunakan lapangan berumput juga. “Di Indonesia lapangan tenis aja tidak ada yang berumput, mau nyari sampai Papua juga nggak ada. Itu dia, pemimpinnya bodoh,” ujar Tedjo.

Keputusannya mengikuti turnamen di Singapura memang tidak berjalan baik. Saat itu, Tedjo masuk sampai final namun dikalahkan oleh pemain dari Australia. Yang ketika saat itu menjadi musuh bebuyutan Tedjo. Ketika itu, semua orang menyalahkannya dan ia pun menunjukkan kemampuan terbaiknya di Asean Games tahun 1982 itu. Yustedjo Tarik berhasil meraih dua mendali emas. “Tadinya orang-orang marah kepada saya, pas lihat saya dapat dua mendali emas, mereka semua hanya diam,” ucap Tedjo dengan bangganya.

Menurut Tedjo, pemimpin-pemimpin bidang olahraga di Indonesia tidak ada yang mengerti mengenai olahraga. Kebobrokan pemimpin Indonesia dapat dilihat pada kasus stadion Hambalang yang hanya dijadikan tempat untuk korupsi. Pemimpin Indonesia tidak punya jiwa olahraga dan jiwa sportivitasnya. Persatuan Lawn Tenis Indonesia (PELTI) semakin menurun bahkan tidak terdengar lagi namanya.

Atlet tenis yang memiliki empat medali emas ini kecewa dengan penurunan atlet tenis Indonesia. Dulu, nama atlet tenis Indonesia sangat tinggi berbeda dengan sekarang yang tidak ada suaranya lagi.

Negara-negara di luar sana seperti Taiwan, Jepang, dan Thailand terus maju sedangkan Indonesia hanya diam di tempat. Indonesia sebenarnya memiliki bibit-bibit unggul dalam bidang tenis. Namun, ia menyadari anak-anak zaman sekarang mentalnya semakin menurun, tidak kuat dalam berlatih inginnya ke mall saja. “Peltinya pun tidak bisa membawa atlet dengan bibit unggul ini untuk bertanding di luar hanya mengikuti pertandingan tingkat nasional saja,” ujar Tedjo sambil menggelengkan kepalanya.

Yustedjo Tarik yang memang terlihat tegas ketika ia memegang raketnya. Namun, ketika bersama dengan keluarganya dapat menjadi sosok ayah yang perhatian terhadap keluarganya. Ismo Yudono Tarik anak bungsunya mengatakan. Tedjo adalah sosok ayah yang baik dan tidak pernah memaksakan kehendaknya. “Ayah tidak pernah memaksa untuk saya meneruskan jejaknya untuk menjadi atlet tenis, semua keputusan di tangan saya ingin menjadi apa,” kata Ismo.

“Hal yang saya suka lakukan bersama ayah adalah olahraga bersama, ia tetap mengajak anak-akanya untuk berolahraga di tenagah kesibukan,” lanjut Ismo. Yustedjo mengatakan kesehatan adalah nomor satu. Kesehatannya masih terlihat sampai sekarang ketika melihatnya bermain mengejar bola di lapangan tenis. Meskipun pada 2011, ia mengalami kecelakaan saat hendak berkunjung ke Masjid Kubah Emas. Kejadian saat itu, ia diserempet mikrolet yang keadaan supirnya sedang mabuk. Hal itu membuatnya harus beristirahat sejenak dari rutinitasnya bermain tenis.

Di akhir obrolan saya bersama Yustedjo Tarik, ia memberikan harapan untuk kemajuan olahraga khususnya cabang tenis di Indonesia. Ia mengharapkan pemimpin yang memegang tanggung jawab di bidang olahraga, memiliki hobi pada olahraga itu sendiri. Pembangunan infrastruktur olahraga seharusnya juga dapat terus meningkat. “Jadi, mantan-mantan atlet seperti saya pun juga ikut bergairah untuk menciptakan atlet-atlet baru,” tutup Yustedjo.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER